Judul Buku : My Uncle’s Dream
Penulis : Fyodor Dostoevsky
Penerjemah : Sigit Djatmiko & Pitoresmi Pujiningsih
Penerbit : Octopus Publishing House
Cetakan : Pertama, 2016
Halaman : 284
ISBN : 978-602-72743-3-8
Fyodor Mikhailovich Dostoevsky mengawali karyanya yang berjudul My Uncle’s Dream dengan pembukaan yang saya fikir rada aneh. Novel dibuka dengan ceramah dari si narator tentang perjalanannya saat berada di Mordasov, di mana Marya Alexandrovna Moskaleva (si tokoh utama) tinggal. Tak hanya itu, narator di bagian awal juga menuliskan hal yang saya rasa tidak begitu diperlukan, seperti mengenalkan karakter satu per satu tokoh secara gamblang. Padahal karakter tokoh sendiri bisa diketahui oleh pembaca melalui alur cerita dan setiap dialog yang ada.
Bagi pembaca modern seperti saya, pasti gemas dan sempat nyaris bosan membaca ceramah dari si narator tersebut, lalu ingin memangkasnya untuk kemudian langsung melompat saja ke bab berikutnya. Hingga pada akhir Bab I tersebut kita akan menemui kutipan ini dari narator: Saya bermaksud menulis semacam karangan untuk memuji nyonya yang mengagumkan itu, dalam surat jenaka yang ditujukan kepada seorang kawan dari masa silam yang indah. Namun karena bakat sastra saya yang sangat terbatas, maka karangan yang saya tulis itu tetap tersimpan dalam laci meja, sebagai semacam percobaan pertama saya dalam mengarang, dan sebagai hiburan yang menyenangkan di saat-saat senggang. (Hal 9).
Eka Kurniawan melalui jurnalnya menyebutkan bahwa pembukaan semacam itu merupakan sebagai wujud belum canggihnya teknik menulis di masa-masa awal kesusastraan modern, mengingat latar belakang kapan novel tersebut dianggit. Pembukaan oleh narator (yang dipersonifikasikan sebagai si “saya”) tersebut bisa dilihat sebagai upaya sederhana untuk membuat yakin pembaca bahwa kisah dalam novel ini benar-benar terjadi.
Dalam novelnya ini, betapa Dostoevsky menunjukkan kepiawaiannya dalam mengangkat aspek psikologis kehidupan masyarakat Rusia, terkhusus di Mordasov pada masa itu. Ia berhasil menggambarkan Marya yang culas, congkak, cerdik, ambisius, pemilik gagasan gilang gemilang; dan anaknya (Zenaida Afanasyevna) yang cantik, anggun, namun gengsian; juga nyonya-nyonya kalangan atas lainnya di Mordasov yang notabene merupakan penggosip kelas kakap.
Tak hanya itu, penulis besar Rusia abad ke-19 yang pernah ditahan karena dituduh berhubungan dengan kelompok sosialis tersebut juga nicaya akan membuat pembaca gemas dengan kehadiran para tokoh lelaki yang sama-sama lemah dan tak berdaya di bawah kekuasaan dua wanita tadi. Ialah Vasya, guru miskin desa setempat yang juga merupakan pacar Zena. Ia mati sia-sia karena cintanya kandas akibat tak direstui oleh Marya. Lelaki kedua adalah Afanasy Matveich (suami Marya), yang tak punya daya apa-apa di depan istrinya sang gila hormat. Lelaki ketiga yaitu Pavel Alexandrovich Mozglyakov, yang selanjutnya lebih pantas disebut sebagai kacungnya Marya dan Zena meskipun sebenarnya ia jatuh cinta kepada putri satu-satunya Marya tersebut.
Di tengah-tengah cerita, kita akan semakin dibuat tercengang dengan komedi yang memuakkan akibat perangai Marya Alexandrovna. Kepada Zena ia katakan bahwa putrinya tersebut bisa menikah dengan Vasya: Doronglah dia, dan jika kau memang menginginkan, janjikan cintamu untuknya. Katakan kepadanya bahwa kau akan menikah dengannya setelah kau menjanda. (Hal 87). Namun, betapa bermuka dua si Marya ini. Kepada Mozglyakov justru ia katakan bahwa lelaki itu bisa menikahi putrinya saat masanya tiba: Katakan kepadaku siapa yang nantinya akan dinikahi Zena kalau bukan kau? Kau adalah saudara jauh Count, karenanya tak ada halangan bagi kalian untuk menikah. (Hal 164). Ambisi dan keculasan tak hanya membuatnya membodohi Mozglakov, ia juga mengorbankan putrinya untuk menikah dengan Count K., lelaki kaya raya namun telah uzur dan linglung.
Meskipun My Uncle’s Dream bukan magnum opus Dostoevsky (tak setenar Crime and Punishment dan The Brothers Karamazov, atau bahkan Notes from Underground yang dianggap sebagai novel eksistensialis pertama), namun kita seakan tetap diajak menyelami ke dalam jiwa manusia, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan keadaan masyarakat Rusia pada masa itu. Humornya pun tersamar, sama sekali tak bermaksud melucu, tapi demikian melimpah. Dostoevsky memang piawai dalam melakukan pengamatan yang telaten atas diri manusia. Masyarakat yang tampak baik-baik saja di luar tapi menjadi mencekam begitu ditelisik ke bagian dalam jiwa masing-masing.
Penulis: Ritmika Serenady,
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta