(Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Pabelan Pos Edisi 31 dan ditulis ulang oleh Anisa Cintya Putri)
UMS, Pabelan-Online.com – Sebagai pemimpin bangsa, tak mungkin terlepas dari teori-teori manajemen untuk menjalankan Negara. Begitu halnya dengan Soekarno, Hatta, dan Natsir, mereka memanajemen bangsa dengan meletakkan dasar sistem pemerintahan sebagai langkah awal pembangunan bangsa di masa mendatang. Orientasi pemerintah bukanlah pada masanya saja, melainkan juga bagaimana citra Indonesia kemudian hari dilihat oleh dunia.
Perlu adanya pengamatan lebih dalam mengenai manajemen Soeharto dalam menjalankan pemerintahannya selama 30 tahun silam. Memang masa Orde Baru terlihat lebih maju dari Orde Lama. Jalanan yang kian lebar serta gedung tinggi yang terbentang di angkasa. Namun, akankah kemajuan tersebut mengindikasikan keberhasilannya dalam memanajemen bangsa?
Berbicara mengenai penilaian, keberhasilan memerlukan sebuah substansi yang mengatakan jika pembangunan tersebut telah berhasil. Substansi itu adalah seberapa besar manfaat pembangunan tersebut bagi masyarakat pada umumnya dan masyarakat kecil pada khususnya. Akankah keseimbangan pertumbuhan pembangunan tersebut merata antara kelas atas dan kelas bawah?
30 tahun masa pemerintahan merupakan sebuah sorotan serius bagi tonggak manajemen pemerintahan Soeharto. Adanya indikasi pertumbuhan demokratis yang terhambat merupakan lika-liku perjalanan pada masa tersebut. Hal ini dapat dicontohkan keberadaan Dwi Fungsi ABRI, depolitisasi Partai Politik (Parpol), pengimpotesian wakil rakyat, birokrasi dan kelas menengah, monopoli kolusi dan nepotisme.
ABRI yang seharusnya menjaga pertahanan dan keamanan bangsa justru memiliki fungsi ganda yaitu menduduki kursi pemerintahan. Pada masa itu, dominasi ABRI sangatlah terlihat. Bahkan orang-orang yang berada di sekitar Presiden berasal dari ABRI. Karena dapat diketahui jika Soeharto sangat senior di kalangan ABRI dan menjadi salah satu kunci jika ABRI akan selalu ada di belakangnya.
Keadaan tersebut tentu sangat mengkhawatirkan kalangan masyarakat baik di kalangan atas ataupun bawah. Kekuatan Soeharto dan ABRI menjadi suatu kekuatan yang tak bisa ditandingi oleh pihak lain. Dominasi politik sangat tercium tajam meski pola pemerintahannya tertutup. Karena bersatunya kekuatan politik dan pertahanan akibat adanya Dwi Fungsi ABRI tersebut, segala aspek tataran fundamental negara mengalami kemerosotan. Bidang politik misalnya, terbungkamnya aspirasi rakyat terhadap tatanan politik negerinya sendiri.
Berganti pada pokok bahasan lain, bagaimanakah praktik ekonomi pada masa manajemen Soeharto? Tiriq Sadat mengatakan bahwa hutang Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan, karena perbandingan antara hutang dengan ekspor terpaut pada interval yang cukup jauh. Berdasarkan Dept Service Ratio (DSR), hutang Indonesia pada masa itu sudah mencapai 40% lebih, padahal untuk ukuran ekonomi angka DSR 20% sudah termasuk kurang baik.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, ketidakberesan di bidang pembangunan, tidak adanya transparasi serta demokratisasi di bidang politik dan ekonomi menjadi kritik pedas masyarakat terhadap manajemen pemerintahan Soeharto. Kartini Kartono, seorang pakar pendidikan dan politik di Bandung, menyarankan adanya solusi terhadap masalah manajemen Soeharto yaitu adanya koalisi antara tiga unsur yaitu, ABRI, kaum intelektual, dan rakyat. Ketiganya harus saling bahu-membahu dalam membangun bangsa, maka secara otomatis perbedaan pandangan antara mereka akan tercairkan secara proporsional menurut konteks yang ada.
Editor : Muhammad Rizal Pahleviannur