Terjerembat di antara bebatuan sungai adalah keseharian Fahri, sungai sekarang bukan lagi tempat habitat ikan. Sungai pada akhirnya hanyalah sebagai tempat komplementer dari pembuangan akhir. Mungkin tempat pembuangan akhir yang disediakan oleh pemerintah adalah salah satu tempat yang terlalu umum untuk membuang sampah. Jika nanti sudah menumpuk di pinggiran sungai, sampah-sampah itu hanya menjadi sarang bagi binatang yang miskin, rezeki bagi binatang-binatang yang malas membuat sarangnya sendiri. Tidak terkecuali rezeki untuk Fahri. Ia memungut sampah-sampah sungai itu kemudian digaji oleh pemerintah setempat dengan bayaran lima juta rupiah per sekali bersihan. Cukup mengenaskan jika terpikirkan, hanya dengan upah lima juta rupiah Fahri harus melawan beribu-ribu virus di dalam sungai tersebut. Lebih mengenaskan lagi ketika mengetahui yang membuang sampah adalah orang-orang kampung di sekitarnya yang ketika banjir memilih beradu bibir. Dari sanalah Fahri menghidupi keluarganya, dari uang sampah. Istrinya seorang penjual makanan ‘tenongan’ atau jajanan pasar. Di umurnya yang begitu belia itu, mereka belum dikaruniai seorang anak.
“Sudah makan?” Istri Fahri menanyai suaminya yang baru saja pulang dari bantaran sungai, dan sibuk membersihkan badannya.
“Kalau kamu mau makan, makan saja dulu. Aku gampang.”
“Tadi lumayan rame jualanku, aku dapet untung lima belas ribu ini tadi.”
“Oh, alhamdulillah. Ditabung dulu aja.” Fahri tersenyum mengusap kepala istrinya dan kembali ke kamar tidur.
Setiap malam Fahri menulis sesuatu di bukunya, ia menulis beberapa artikel ataupun cerita-cerita pendek yang sering ia masukkan ke koran. Jika beruntung, ia mendapatkan uang seratus hingga dua ratus ribu rupiah. Bisa dibilang Fahri adalah seorang penulis lepas. Sayangnya, Fahri tidak pasti orang yang beruntung, sehingga kadangkala ia harus mencari penghasilan lain lagi seperti membuka jasa sol sepatu. Prinsip hidupnya yang pasti adalah ia tidak meminta dan tidak mencuri dari orang lain. Di sebuah senja ketika hiruk pikuk arus balik perkotaan terasa sesak, seseorang datang menemui Fahri dengan sepatunya yang lusuh.
“Bisa benahi ini?” Laki-laki itu berumur enam puluhan itu memberikan sepatu lusuhnya, rambut bapak itu sebagian sudah memutih dan kerutan di wajahnya sudah cukup banyak.
“Coba saya lihat,” Fahri menerima sepatu itu dan mulai mengamati kerusakannya.
“Tapi aku tidak memiliki uang untuk membayar, bagaimana jika sebuah pena?”
Fahri tersenyum, ia bingung dengan jawaban yang akan ia berikan. Jika Fahri menolak, pasti laki-laki tua itu tersinggung dan berpikir bahwa Fahri tidak mau menerima pemberiannya, namun jika menerima, Fahri sebenarnya juga masih mampu jika hanya membeli sebuah pena. Sebenarnya tidak dibayarpun juga tidak masalah jika memang bapak itu tidak memiliki uang.
“Ah… pak…” Fahri masih memutar otaknya untuk menemukan jawaban yang tepat.
“Simpan saja pena ini. Ini benar-benar berguna untukmu,” Bapak itu sepertinya cepat membaca raut muka Fahri yang kebingungan.
“Terima kasih pak…” Fahri tersenyum lebar.
Sesampainya di rumah, Fahri hanya memandangi pena itu. Tidak ada yang spesial dengan pena yang diberikan bapak itu. Bentuknya bahkan lebih mirip yang biasa di jual di toko buku dengan harga seribu rupiah. Dengan berhati-hati, Fahri mengambil sebuah buku kosong untuk menulis sebuah cerita pendek untuk dikirimkan ke media cetak. Fahri segera menutup bukunya setelah selesai.
“Mas, aku baca tulisan kamu di koran.” Keesokan paginya istri Fahri datang dengan membawa sebuah koran.
“Iya, yang itu sudah kuterima honornya.”
“Sudah banyak tulisan-tulisan mas yang dimuat, tidak menjadi wartawan saja?” Istrinya menawar.
“Penulis lepas juga sama saja.”
“Mungkin nanti pihak koran dan masyarakat bisa lebih mengenalmu mas, jadi kan nanti gajinya bisa naik.”
“Apa kamu terlalu malu memiliki suami sepertiku?”
“Maksudnya? Ya, kita kan hidup butuh banyak uang mas.”
“Aku menikahimu tidak untuk memberimu banyak uang, aku menikahimu karena aku bisa mencukupimu, bukan memberimu harta yang bergelimangan.”
Perkataan itu sontak membuat istri Fahri terkesiap. Selama ini pekerjaan Fahri memang pas-pasan dan hanya untuk hidup mereka yang cukup. Uang sampah, uang sol sepatu, honor menulis, dan jajanan tenongan adalah sumber penghidupan terbesar bagi mereka. Semuanya menutup kebutuhan, tetapi sangat tidak menutup keinginan mereka. Mereka perlu kerja lebih keras jika menginginkan sesuatu yang tidak masuk ke dalam prioritas kebutuhan mereka. Itulah yang membuat istri Fahri sedikit marah dengan kehidupannya.
Di sebuah senja, setelah Fahri mengirimkan cerpennya ke sebuah koran, ia pulang menyusuri jalan dan melihat seseorang berdiri di tepi sungai. Seorang pemuda membawa sebuah kantong plastik. Ketika pemuda itu melemparkan kantong plastik, Fahri langsung berteriak sekuat tenaga.
“Berhenti!!!” Pemuda itu terkejut dan tidak jadi membuang plastiknya.
“Apa?!”
“Maaf, tapi aku yang membersihkannya. Lebih baik kamu membuangnya ke tempat sampah.”
“Tidak…aku tidak ingin membuangnya ke tempat sampah,” Keringat dingin memenuhi jidatnya, Fahri semakin curiga karena pemuda itu menyembunyikan plastik itu di belakang tubuhnya.
“Berikan padaku!” Fahri menatap matanya dan berkata dengan tegas. Pemuda itu mundur selangkah demi selangkah. Ia ketakutan, namun Fahri membuatnya terpaku selama beberapa detik.
“Tidak!” Pemuda itu lari dengan sangat kencang, hingga ia tidak sadar kantong plastiknya mengeluarkan cairan berwarna merah dengan bau amis yang cukup menyengat. Semakin curiga, Fahri mengejarnya hingga akhirnya plastik itu berada di tangan Fahri. Fahri dengan hati-hati membuka kantong plastik itu dan tertegun.
“Apa yang telah kamu lakukan?”
Kejadian itu membuat Fahri ketakutan setengah mati, ia segera mencuci tangannya dan berbaring di ranjangnya dengan wajah pucat pasi. Di rumah sedang tidak ada orang, karena istrinya sibuk menjajakan makanan. Ia membuka cerpen yang ia buat semalam dengan hati yang sangat takut. Bagaimana mungkin yang dituliskan semalam dapat menjadi kenyataan di keesokan paginya? Fahri segera menelepon polisi dalam keadaan ketakutan. Istrinya yang baru saja pulang melihatnya gemetar mengangkat gagang telepon.
“Apa yang terjadi?!” Istrinya berlari ke dapur untuk membuatkan teh hangat, didudukkanlah Fahri ke sebuah kursi kayu.
“Aku baru saja bertemu dengan pembunuh.” Fahri mengumpulkan nyawa dan menenangkan jiwanya hanya untuk mengatakan satu kalimat tersebut tanpa terbata-bata.
Fahri dan istrinya berlari menuju rumah itu sekejap setelah Fahri bercerita singkat, mobil polisi telah memenuhi tempat itu. Pemuda itu diborgol, dan saat dimasukkan dalam mobil, mata Fahri bertemu. Ia menatap dengan tajam seakan berkata “aku akan kembali”.
Cerpen Fahri sudah dimuat dan diterbitkan, Fahri sempat merasakan bersalah setelah itu. Terjadi traumatis yang cukup lama dengan tulisan hingga akhirnya ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Fahri memutuskan untuk menulis kembali beberapa artikel yang tidak membahayakan orang lain. Sesaat kemudian apa yang dituliskannya benar-benar terjadi. Fahri mencoba menulis yang lain kemudian terjadi kembali. Lama kelamaan hal ini membuat Fahri terbiasa. Ia mulai mengarang agar terjadi. Tentu pihak koran sangat senang dengan berita yang hangat. Honornya semakin banyak dan ia mulai meninggalkan pekerjaannya membuka jasa sol sepatu dan membersihkan bantaran sungai. Hingga di suatu siang yang sangat terik, Fahri duduk di bawah pohon dengan membawa buku dan penanya. Di sampingnya terduduk seorang bapak dengan kacamata hitam.
“Aku tahu kamu akan menyukai pena itu.” Mendengar suara familiar itu, pupil Fahri membesar, ia mengingat bapak yang memberinya pena itu.
“Ah… bapak.. Terima kasih.”
“Jangan senang dengan apa yang kuberikan padamu. Itu adalah sebuah konsekuensi yang besar untuk memutuskan menggunakannya atau tidak. Berhati-hatilah dalam tulisanmu. Kekuatan ramalan bukan berada dalam pena itu, tetapi apa yang kamu tuliskan.” Beberapa saat kemudian laki-laki tua itu pergi. Fahri masih terduduk dengan mengernyitkan dahi, berpikir tentang pembicaraan bapak tua itu.
Bagaimanapun Fahri tidak bisa berhenti menulis, beberapa kali ia telah mencoba pun tetap tidak bisa. Ia mulai ketergantungan dengan menulis. Beberapa bulan berlalu dan Fahri masih menekuni dirinya sebagai seorang wartawan lepas. Perekonomiannya mulai membaik dan Fahri sudah mampu membeli yang dia inginkan. Bagaimanapun sebuah rahasia pastilah terungkap. Tidak memungkinkan bagi Fahri untuk menyimpan sesuatu tentang penanya yang begitu ajaib ataupun tulisannya yang begitu mampu meramalkan masa depan. Fahri menulis sesuatu yang cukup kontroversial untuk dijadikan suatu karya sastra. Seketika tulisan tersebut menjadi terkenal, dan hal itu menjadikan Fahri dijebloskan ke penjara. Ia meninggalkan penanya dan terpaksa tidak membawa apapun ke penjara kecuali rasa malu.
“Kamu tahu, hal itu sangat tabu. Mengapa masih menuliskannya? Eksistensi tulisanmu cukup tinggi.”
“Di luar kesengajaanku.”
“Kamu bertindak bodoh lagi.”
Pasangan suami-istri muda itu beradu mulut di depan penjara, Fahri masih menatap istrinya dengan penuh penyesalan. Selama seminggu Fahri sendirian di dalam teralis penjara itu. Tidak ada yang mempedulikannya. Ia teringat sesuatu tentang perkataan bapak tua yang memberikan pena itu kepada Fahri.
“Oh jadi ini yang bapak maksudkan…” Fahri bergumam.
Malam itu, Fahri meminta sebuah jarum kepada penjaga penjara. Penjaga itu memberikannya tanpa berpikir panjang. Fahri melukai jarinya untuk menulis sebuah karya sastra di dinding-dinding penjara. Setiap inci dinding dipenuhinya dengan sangat darah. Ketika separuh dinding terpenuhi, seorang pejaga penjara datang kepadanya.
“Untuk apa kamu menulis semua itu?”
“Menghitung umurku,” Penjaga itu tidak begitu paham dengan maksud dari Fahri. “Suatu saat, jika istriku di sini untuk menjengukku aku meminta tolong kepadamu, biarkan dia berdiri di bagian sudut kanan ruangan ini di waktu senja.”
Penjaga itu terdiam, ia menatap Fahri dengan pandangan aneh dan tidak peduli. Hingga di sebuah waktu menjelang senja, semua seisi penjara di kalutkan oleh meninggalnya Fahri yang tidak wajar. Ia meninggal setelah memenuhi seluruh isi dinding penjara itu dengan tulisan menggunakan darahnya. Semua yang dituliskan Fahri ternyata adalah sebuah kejadian yang akan terjadi. Ia meramalkan hingga sepuluh tahun ke depan menggunakan karya sastranya. Beberapa orang yang melihatnya berniat untuk mengabadikan ruang tersebut. Istri Fahri yang masih terisak, ditemui oleh penjaga penjara itu.
“Kamu istri Fahri?”
“Ya,,,”
“Fahri berpesan kepadaku, bisakah kamu menunggu di tempat ini hingga senja tiba?”
Istri Fahri menunggu di luar ruangan itu sambil menangis, matanya memancarkan harapan yang pupus. Ketika senja tiba, ia segera kembali ke penjara itu. Sebuah sajak cukup singkat tertulis di sana. Sajak tersebut hanya mampu terlihat jika ada cahaya semburat merah senja. Ketika cahaya senja mengenai dinding bagian sudut kanan itu, maka tulisan dari darah Fahri itu terlihat sangat kontras dengan elegi cahaya senjanya. Istri Fahri seketika menangis kembali setelah membacanya.
“Aku tidak pernah tahu dia sangat mencintaiku. Dia mengorbankan jiwanya untuk menulis ini.”
Selama sepuluh tahun ke depan, semua yang dituliskan Fahri benar-benar terjadi. Tidak pernah ada yang menyangka, bahkan ramalan itu masih berjalan hingga sekarang.
Penulis : Akhirul Insan Nur Rokhmah
Penulis merupakan peraih juara I dalam perlombaan Milad LPM Pabelan ke-41