(Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Pabelan Pos edisi 42 dan ditulis ulang oleh Rifqah)
Dalam suatu institusi, rasanya mustahil tanpa birokrasi. Bagaimana tidak, birokrasi-lah yang mengatur tata aturan dan tetek bengeknya. Kini, bagaimana keadaan birokrasi di UMS?
Ruwetnya Sentralisasi Birokrasi di UMS
Birokrasi (susunan pekerjaan yang banyak lika-liku –red) di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) setidaknya harus dipilah-pilah terlebih dahulu. Sehingga, ketika ada permasalahan yang terjadi di fakultas, nantinya tidak perlu dibawa-bawa ke Universitas. Jika fakultas diberi kepercayaan untuk mengatur administrasinya sendiri, dengan begitu akan mengurangi beban di pusat karena tidak semuanya dikerjakan oleh pusat.
Hal seperti itulah yang mempengaruhi sentralisasi (pemusatan –red) yang ada di UMS, dan akhirnya berdampak pada tidak praktisnya peraturan yang ada. Sebagai contoh, GOR UMS yang sering dipakai oleh lembaga untuk kegiatan ini harus mendapat izin terlebih dahulu, tetapi izinnya tidak langsung dari petugas GOR. Mereka harus melalui beberapa tahapan, yakni yang pertama membuat surat ke Badan Administrasi Umum (BAU) terlebih dahulu, kemudian dari BAU nanti diserahkan kepada petugas yang mengurusi tempat umum, baru setelah itu disampaikan pada petugas GOR. Hal seperti itu kurang efektif, dan akan lebih efektif lagi, jika petugas GOR bisa langsung mengetahuinya tanpa harus melalui tahapan-tahapan diatas. Dan juga, akan lebih memudahkan untuk teman-teman lembaga, karena tidak perlu repot untuk bolak-balik mencari tanda tangan, yang belum pasti orang yeng bersangkutan bisa ditemui.
Sangat penting adanya otonomi luas, karena dibutuhkan untuk penyelesaian efisiensi birokrasi kampus UMS. Seperti, dirubahnya pola kerja sentralisasi agar lebih efektif lagi, untuk GOR atau Audit sebaiknya diberi petugas atau staff yang bisa mengurusi administrasi, agar permasalahan yang seperti diatas cepat teratasi. Dan terakhir, memberikan kepercayaan pada setiap fakultas untuk mengembangkan kreatifitas dalam membuat problem solving dari persoalan-persoalan yang ada.
Nur Fathonie
 ̀¶  Mantan Ketua KMTM
Â
Solusi Ruwetnya Birokrasi
Birokrasi yang baik tidak harus bertele-tele, salah satu indikator sistem yang birokrasinya baik adalah efisiensi. Apabila birokrasi dalam suatu sistem efektif, maka efektiflah sistem tersebut. Birokrasi merupakan representasi dari sistem yang ada, dan berfungsi untuk mengamankan aset organisasi serta memberi pelayanan yang baik dan efektif.
Sedangkan di Biro Administrasi Akademis Kemahasiswaan (BAAK), Human error merupakan masalah yang sulit dilepaskan karena sistem yang kurang efektif.
Komputerisasi dan profesionalisme, keduanya merupakan solusi dari ruwetnya birokrasi yang ada. Komputerisasi sendiri menggunakan penerapan sistem Local Area Network (LAN), yang akan sangat membantu dalam penyelesaian masalah nilai hasil ujian. Dari LAN tersebut, dosen bisa langsung melaporkan hasil ujian mahasiswa ke BAAK melalui kantor atau rumahnya tanpa harus merepotkan karyawan tata usaha di fakultas yang memang sudah repot. Dan setiap dosen diberi minimal satu software untuk mengolah nilai-nilai yang masuk.
Profesionalisme, merupakan alternatif solusi selain komputerisasi. Mahasiswa harus mempunyai jiwa profesionalisme agar sistem yang ada mudah dipahami dan dikontrol demi kebaikan bersama. Jadi, tidak hanya pimpinan, dosen, atau karyawan saja yang punya jiwa profesionalisme.
Walaupun di UMS sudah menggunakan sistem campuran, manual, dan komputerisasi, tetapi tidak menutup kemungkinan jika karyawan mengalami kejenuhan, kepayahan, atau kesalahan dalam membaca huruf yang kurang jelas.
Bahkan bisa juga menimbulkan kriminalitas nilai; nilai asli dari dosen dapat dirubah oleh petugas pengantar nilai hasil ujian ke BAAK karena ancaman mahasiswa yang tidak benar.
Abdul Kharis, SE. Akt.
  ̀¶ Staf Pengajar Fakultas Ekonomi
Â
Lemahnya Birokrasi Kampus
Birokrasi merupakan sebuah mekanisme yang melalui proses atau tahap-tahap tertentu yang sangat formal dan berbelit-belit, sehingga diperlukan pelicin untuk mempermudah urusan.
Birokrasi kampus tidak lepas dari kontrol atau pengawasan kritis komunitas mahasiswa. Untuk itu, birokrat sebaiknya merubah pola-pola kerjanya, itu pun jika mereka ingin mendapat kepercayaan oleh masyarakat kampus.
Potret birokrasi tingkat fakultas sendiri sampai saat ini belum ada perubahan yang serius, dan masih terkesan biasa-biasa saja. Mereka terlihat sibuk bekerja hanya pada momen-momen tertentu saja, seperti penerimaan mahasiswa baru (PMB), waktu menjelang ujian, konsultasi, atau registrasi.
Pelayanan –pelayanan keperluan mahasiswa terpaksa diundur karena ketika waktu sudah menunjukan pukul 14.00 WIB, kantor sudah mulai sepi. Hal seperti itu tidak jauh beda dari universitas (pimpinan rektorat dan karyawan kampus –red), yang dimana juga hampir sama permasalahannya. Nuansa humanisnya masih sangat kurang, malah karyawan-karyawan perpustakaan saja yang terlihat kesibukannya.
Dari kelemahan-kelemahan itu seharusnya cepat dibenahi agar tidak berkepanjangan, seperti memperhatikan fungsi birokrasi dalam sudut pandang pelakunya sebagai mitra kerja yang profesional. Dan juga harus memprioritaskan sikap-sikap yang menunjukan jujur serta masalah waktu untuk kedisiplinan kerja.
Suyanto
 ̀¶  Ketua Korkom IMM UMS
Â
Perlunya Persamaan Persepsi Dalam Birokrasi
Birokrasi memang diperlukan dalam suatu lembaga, karena berfungsi mengatur dan menertibkan jalannya sistem yang ada di lembaga tersebut. Tetapi terkadang, birokrasi menyebabkan keruwetan dan ketidakefisienan. Memang, birokrasi yang ada selama ini terkesan bertele-tele karena kurang adanya persamaan persepsi. Contohnya, pada peminjaman akomodasi terutama pada peminjaman bus kampus, jika unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang meminjam pasti tidak akan mudah atau bisa dibilang, tergolong cukup sulit.
Mereka baru boleh memakai, jika pada kegiatan tersebut benar-benar kegiatan ilmiah. Dari pihak yang bersangkutan selalu akan menilai dulu, apakah kegiatan tersebut benar-benar ilmiah atau tidak, ditambah lagi mereka tidak menjelaskan tentang batasan kegiatan ilmiah tersebut. Hal yang seperti itu tentunya akan menimbulkan kesan yang negatif, karena tidak ada kejelasan sedikitpun dari pihak yang bersangkutan.
Tak ketinggalan, dalam pengaturan laboratorium komputer Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) juga terdapat perbedaan persepsi, ada yang mengatakan jika laboratorium itu hanya untuk beberapa jurusan saja, tapi ada juga yang mengatakan jika itu untuk seluruh mahasiswa FKIP. Hal seperti diatas, jelas sekali hampir tidak ada persamaan persepsi maupun saling pengertian.
Perbedaan persepsi dalam birokrasi seperti contoh diatas, bisa diatasi dengan menjadikan birokrasi lebih efisien. Agar lebih efisien bagaimana? Yakni perlu adanya transparansi dan kejelasan peraturan, agar terwujud persamaan persepsi dalam menerjemahkan peraturan yang ada.
Neni Wijayanti
  ̀¶Â  Sekretaris Umum Campus
Â
Editor: Annisavira P