Pabelan-online.com – Dosen Sastra Inggris Universitas Jember (UJ) diketahui telah melakukan kekerasan seksual pada beberapa mahasiswinya, korban bernama Ruri (nama samaran) adalah salah satu korban yang mau angkat bicara.
Belakangan ini tengah marak terjadi kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Dikutip dari tirto.id, mengenai kumpulan testimoni kasus kekerasan seksual yang dinamai dengan tagar #NamaBaikKampus, tercatat kini ada 174 penyintas yang tersebar di 79 kampus.
Yang baru terjadi akhir-akhir ini kekerasan seksual di Universitas Jember. Dilansir dari ideas.id, 14 April 2018, Ruri angkat bicara tentang kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen laki-laki yang berinisial HS terhadap dirinya. Ruri bercerita kepada dua dosen perempuannya secara runtut.
Kemudian dosen tersebut bermaksud untuk melaporkan kasus ini kepada kepala jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember.
Pada awal Mei 2018, Kepala Jurusan Sastra Inggris, Supik, memanggil Ruri untuk datang ke ruang sidang dan menceritakan kembali tentang kasus yang dialaminya. Dari kesaksian Ruri yang ia sampaikan di ruang sidang, ternyata ada korban lain selain Ruri yang juga mengalami pelecehan seksual dari HS.
Namun sejauh ini hanya kasus Ruri yang dapat diproses karena mahasiswi yang menjadi korban lainnya tidak berkenan untuk melapor.
Mengenai kasus ini, pihak rektorat justru saling lempar. Wakil Rektor II menganggap bahwa kasus ini hanya perlu pembinaan saja. Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) UJ, Agung Purwanto mengungkapkan bahwa skorsing yang diberikan pada HS merupakan suatu hukuman yang cukup.
Agung menyimpulkan bahwa seorang mahasiswi atau perempuan yang memakai baju ketat termasuk dalam pornoaksi dan dapat mengundang terjadinya suatu pelecehan seksual. Agung berpendapat bahwa dia memiliki hak untuk tidak mendapatkan pemandangan buruk.
Sampai pada 5 Maret 2019, kasus Ruri tetap tidak menemukan titik terang, tidak ada keputusan yang jelas terkait hukuman yang akan HS terima. Biro II bahkan tidak tahu apa-apa mengenai kasus ini.
Ruri, salah satu korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosennya bahkan mengalami ketakutan dan tekanan yang berat karena harus berulang kali menceritakan kisahnya kepada orang yang berbeda-beda dan berakhir tidak adil.
Baca Juga Belum Genap Dua Tahun Beroperasi, Atap Masjid Sudalmiyah Rais Bocor
Saat ditemui tim Pabelan Online, Henrico Fajar selaku anggota Divisi Kesehatan Masyarakat di Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo, menuturkan tanggapannya mengenai kasus kekerasan seksual yang sering terjadi khususnya di lingkungan kampus.
“Tentunya saya prihatin ya dengan kondisi di zaman sekarang, di sisi lain kan banyak media kampanye supaya tidak terjadi kekerasan tapi di sisi lain media-media sosial itu bisa juga justru malah mengajarkan orang untuk melakukan kekerasan seksual,” ujar Henrico, Selasa (14/05/2019).
Ia kemudian menjelaskan tentang beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyikapi kasus kekerasan seksual terutama di kampus, yakni yang pertama, harus melek aturan. “Kita harus mengerti apa hukuman yang telah ditetapkan untuk suatu kasus yang seperti apa,” terangnya.
Yang kedua, menurutnya, kesetaraan gender harus digiatkan di kampus agar tidak lagi terjadi pelecehan terhadap perempuan yang notabene lebih lemah dibanding laki-laki.
Ketiga, membangun relasi yang saling menghargai. “Harusnya pelaku dihukum semaksimal mungkin supaya ada efek jera. Misal dipenjara dengan durasi yang lama,” tambah Henrico, ketika ditanya tentang hukuman apa yang pantas diberikan untuk pelaku kekerasan seksual, mengingat di Indonesia sendiri belum ada hukuman dan aturan yang tegas dan jelas mengenai pelaku kekerasan seksual.
Menurut Henrico, SPEK-HAM tengah berupaya agar UU Kekerasan Seksual di Indonesia segera disahkan, dengan harapan tidak bertambah lagi Ruri-Ruri yang lain. “Di SPEK-HAM, tertuju pada isu-isu perempuan, pencegahan, penanganan, dan pendampingan untuk keluarga perempuan, pemberdayaan secara ekonomi, serta kesehatan reproduksi,” pungkasnya.
Reporter : Salsabila Bazighoh Zahron
Editor : Annisavira Pratiwi