Ada adagium yang cukup familiar dalam pola kepemimpinan di lingkungan patrilineal: “Di balik lelaki yang sukses ada perempuan yang hebat”. Sungguh, kalimat itu memiliki makna yang sangat mendalam, menempatkan perempuan sebagai peran sentral bagi kesuksesan laki-laki.
Di satu sisi, makna ini menempatkan perempuan dalam posisi yang terhormat. Tetapi disisi lain, ini seperti menunjukkan bahwa yang berhak tampil dalam kesuksesan adalah laki-laki, sedangkan perempuan hanya sebatas bayang-bayang saja. Tak bisa dipungkiri, dalam konsep patrilineal atau yang kita kenal dengan budaya patriarki, pola kepemimpinan lebih didominasi oleh laki-laki.
Konsep ini tidak hanya masuk di ruang keluarga. Di ruang publik, konsep ini sering memunculkan perdebatan yang tak berujung, dan bermuara pada “Pantaskah Perempuan Menjadi Pemimpin?” Akhir diskusi tentu bisa ditebak, wacana feminisme dan maskulinisme menjadi kajian yang tidak bisa terhindar lagi.
Di Indonesia sendiri, beberapa lembaga politik sudah melibatkan perempuan. Ada persentase keterlibatan perempuan di dalam DPR, MPR, DPD, pemerintahan, dan lainnya. Hanya saja persentasenya masih lebih banyak laki-laki. Inilah yang menjadi soal, perlu ada alasan yang kuat dari pemangku kebijakan mengenai hal itu.
Apa yang menjadi alasan persentase perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki? Jika mayoritas penduduknya memang didominasi kelompok moderat, paling tidak, idealnya ada keberimbangan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pasal 28D ayat (3) UUD 1945 (amandemen II), menunjukkan bahwa baik laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam hal pemerintahan.
Namun, di era reformasi sekarang ini keterlibatan perempuan dalam hal pemerintahan masih sangat minim. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan perempuan dalam kursi DPR yang hanya mencapai 97 dari 560 total kursi yang ada di DPR di tahun 2014-2019. Ini berarti peran laki-laki masih sangat mendominasi dalam struktur pemerintahan.
Keterlibatan perempuan dalam bidang politik adalah sebagai penguat jalannya pemerintahan serta penyeimbang hak laki-laki dan perempuan dalam pemerintah.
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, “Partai politik berfungsi sebagai sarana rekrutmen dalam hal pengisian jabatan politik yang memperhatikan kesetaraan gender”. Kesetaraan gender yang dimaksud adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan laki-laki.
Baik dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, maupun penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan. Dengan demikian gender tersebut bukanlah hak asasi kodrati. Namun merupakan asasi yang diberikan kepada individu oleh hukum.
Penuntutan kesamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan terus bergulir sejak muculnya buku R.A Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kesempatan ini kemudian mendapat sambutan yang luar biasa dari kaum perempuan, yang selama ini hanya menjadi sebuah bayangan bagi kesuksesan laki-laki.
Kesamaan ini menuntut adanya kebolehan bagi perempuan untuk mendapatkan atau melakukan sesuatu yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Baik dalam pendidikan, pekerjaan, tanggungjawab, maupun peran sosial. Selanjutnya pemikiran ini terus berkembang hingga mencapai taraf menuntut kesetaraan gender.
Selain dalam ranah politik pemerintahan Indonesia, konsep patrilineal ini masih menghiasi dalam lingkungan kemahasiswaan. Masih banyak ditemukan posisi sentral yang berada dalam stuktur organisasi kampus ternyata didominasi oleh laki-laki. Hal ini bisa tergambar dalam teori kebungkaman (Muted Group Theory). Teori ini menjelaskan dimana wanita sebagai kelompok marjinal, dalam menyampaikan ide-ide tidak bisa sebebas laki-laki.
Kesimpulannya adalah, laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk menjadi pemimpin. Hal ini bisa menjadi sebuah perisai bagi perempuan untuk terus berada dalam kiprah pemerintahan di Indonesia.
Salah satu ayat Al-Quran yang dapat dijadikan sebagai acuan selanjutnya adalah Surat At-Taubah ayat 71. Bila dikaji lebih jauh: Allah menetapkan bagi perempuan beriman hak mutlak memerintah sebagaimana laki-laki, termasuk didalamnya memerintah dalam urusan politik atau untuk kepentingan publik.
Penulis: Alfrisa Renuat
Mahasiswa Aktif Fakultas Komunikasi dan Informatika