“Mahasiswa dari Perguruan Tinggi X Penyebar Video Senonoh Dibekuk Polisi”
Sebuah tajuk berita menghiasi lini masa pagi itu. “Ada yang tahu nama cewek ini siapa? Share link dong, Gan!” cuit sebuah akun anonymous dengan swafoto mahasiswi sebagai pemanis.
Sontak, cuitan singkat tersebut membuat geger netizen Indonesia. Hal ini bukan barang baru, mengingat label “mahasiswa” punya banyak makna yang berbeda bagi setiap orang di pojok pencarian ponsel.
Namun, muncul sebuah pertanyaan mengapa kita – tidak terkecuali, mungkin, kalangan mahasiswa justru lebih senang menanggapi hal receh yang dinilai sebagai “pemersatu bangsa”?
Bagaimana dengan isu validitas penemuan obat kanker dari tanaman Bajakah? Penolakan konsep wisata halal di Sumatera Utara? Atau hukuman kebiri kimia terhadap pedofilia? Apakah isu-isu ini tidak lebih penting dari pemenuhan “koleksi pribadi”?
Memang, “koleksi pribadi” adalah kepunyaan masing-masing. Tetapi, embel-embel “mahasiswa” sendiri pada dasarnya tidak se-receh itu, lho.
Mahasiswa adalah bagian dari kalangan akademisi yang memiliki fungsi sebagai penentu masa depan negara. Sebagaimana Tri Dharma Perguruan Tinggi melekat pada identitas mahasiswa yang berisi 3 poin utama, antara lain:
- Pendidikan dan pengajaran
- Penelitian dan pengembangan
- Pengabdian pada masyarakat
Sifat idealisme ala mahasiswa tidak melulu beraksi dengan demonstrasi turun ke jalan di depan gedung pemerintahan seperti yang terjadi pada tahun-tahun perjuangan pada 1998. Tetapi, juga dapat menyumbangkan ide kritis dan kreatif dalam menanggapi sebuah peristiwa lewat menulis.
Banyak yang sudah membuktikan kesaktian menulis. Minke, salah satunya! Seorang pemuda yang cinta pada pembaharuan dan menyuarakan pikirannya melalui pena dan media masa. Senada dengan quotes Pram, “Menulis adalah sebuah keberanian.”
Seorang mahasiswa pun seharusnya memiliki semangat serupa dalam menulis, salah satunya adalah jurnal ilmiah. Namun, sepertinya hal itu belum menjadi perbincangan yang menarik bagi kalangan mahasiswa. Apalagi jika masalah baca-membaca atau tulis-menulis. Fenomena ini dapat pula dimaknai sebagai pelaksanaan terhadap poin kedua Tri Dharma Perguruan Tinggi kurang terlaksana dengan baik.
Kendalanya terletak pada kegemaran mahasiswa dalam membahas isu-isu yang solusinya sudah banyak dipublikasikan, riset yang memakan waktu lama, kepiawaian pembimbing dalam melakukan riset, serta referensi primer mahasiswa terbatas.
Hal tersebut juga berdampak pada rendahnya jurnal ilmiah internasional mahasiswa pada triwulan pertama tahun 2018 di tingkat ASEAN. Diterimanya sebuah jurnal internasional bagi seorang mahasiswa merupakan kepuasan tersendiri dalam berkontribusi di dunia perkuliahan.
Hal yang sama berlaku kepada pembimbing sebuah penelitian. Dan menjadi tanggungan mahasiswa untuk senantiasa berpikir kritis dan mencintai pembaharuan ilmu pengetahuan. Tentu saja dukungan dari pemerintah diperlukan, seperti hibah untuk penelitian serta memudahkan akses buku maupun jurnal internasional dan nasional.
Sebab mahasiswa merupakan agent of change yang tidak cukup dimaknai dengan fenomena skandal maupun stok sumber daya manusia yang baru, tapi lebih dari itu. Perubahan selalu menanti pembaharuan dan merupakan salah satu tugas mahasiswa dalam merealisasikannya.
Penulis: Lufti Yassiva Aulia
Mahasiswa Aktif Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran