UMS, pabelan-online.com – Mengenai RUU P-KS dari sudut pandang aktivis menganalisis pihak pro maupun kontra. Kedua pihak sepakat kejahatan seksual harus diperangi bersama. Namun polemik tak bisa dihindari dari perbedaan pandangan keduanya.
Tengah hangat akhir-akhir ini beberapa RUU yang dicanangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat di akhir masa jabatannya. Topik ini pun diangkat BEM Psikologi UMS dalam diskusi publiknya yang bertajuk “Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), Solusi atau Masalah?” dan membedah RUU P-KS dari tiga perspektif, yaitu aktivis, psikologi, dan hukum.
RUU P-KS telah muncul sejak lima tahun yang lalu dari hasil penelitian Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Didalamnya menyebutkan, kekerasan seksual pada perempuan semakin meningkat tiap tahunnya.
“Kasus kekerasan secara fakta itu ada, jelas, dan dia tidak memandang dari budaya manapun atau agama manapun,” ucap Wijaya Paputungan. Wijaya berbicara sebagai aktivis dan pegiat Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
Dari hasil analisisnya selama menjadi aktivis, ia menemukan kesamaan antara pihak pro dan kontra RUU P-KS. Kedua pihak sependapat bahwa kejahatan seksual adalah kejahatan yang harus diperangi bersama. Namun, polemik muncul dari perbedaan pandangan mengenai judul dan beberapa poin dalam pasal RUU P-KS.
Pihak kontra menganggap, judul kekerasan seksual menimbulkan multitafsir dan memengaruhi substansi undang-undang terkait. Pasal lain yang juga diperdebatkan ialah mengenai pemaksaan aborsi. Mereka yang kontra RUU PKS menganggap hal ini berarti pelegalan aborsi oleh korban apabila tidak terdapat paksaan.
Pihak kontra tak ingin memisahkan agama dan budaya dari urusan politik, lantaran dalam formulasi perundang-undangan, norma agama dan nilai-nilai budaya harus dimasukkan. “Jadi ini seperti pertengkaran intelektual antara kelompok liberalisme dan sekularisme dengan kelompok islam,” ungkap Wijaya, Senin (23/09/2019).
Disamping mengutarakan analisisnya, Wijaya juga mengamati identitas pihak yang terkait. Menurutnya kelompok kontra identik dengan Islam dan agamis, sedangkan pihak pro identik dengan paham liberalisme dan sekularisme yang memisahkan agama dan budaya dari urusan politik.
Wijaya juga menambahkan alasan hilangnya nilai-nilai budaya dan agama dari pembentukan RUU P-KS, yakni paham mengenai teori liberalisme dan feminisme menjadikan pihak pro tak menghendaki moralitas dan agama masuk dalam cara berpikir mereka.
“Mereka tidak memasukkan itu karena memang pahamnya begitu, namun ketika itu masuk ke Indonesia, maka itu akan berbenturan dengan Pancasila yang asas dalam pembentukan perundang-undangannya harus berlandaskan dengan norma agama dan kesejahteraan umum di masyarakat,” ujarnya.
RUU P-KS Bisa Jadi Payung Hukum Kuat
Pembahasan RUU P-KS yang telah menginjak lima tahun namun tak kunjung disahkan, membuat pihak pro kecewa. Seperti dikutip dari katadata.co.id, DPR malah lebih dulu mengesahkan RUU KPK dalam waktu kurang dari 14 hari dan malah terkesan mengesampingkan RUU P-KS. Padahal di tengah maraknya korban kekerasan seksual, RUU P-KS dianggap mampu jadi payung hukum yang memihak korban.
“RUU PKS ini pro-korban dan bisa menjadi payung hukum yang kuat,” kata juru bicara Koalisi Ruang Publik Aman Rika Rosviati saat berorasi di depan Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Selasa (17/9/2019), seperti dikutip dari Antara.
Pihak pro mendesak RUU P-KS segera disahkan agar tidak lagi banyak korban kejahatan seksual berjatuhan. Sebab selain memihak korban, RUU P-KS pun bertujuan agar pelaku jera dan tak lagi ingin melakukan kekerasan seksual di masa mendatang.
Menanggapi tudingan dari kelompok kontra, Rika menganggap kelompok tersebut tak membaca draft secara menyeluruh. “Sebetulnya kalau dibaca dokumennya itu, tidak ada satu pasal yang menyebut LGBT,” kata Rika. Rika pun menyangkal tudingan RUU P-KS tidak berdasarkan Pancasila, karena yang terjadi ada satu pasal dalam RUU yang menyebutkan sila kedua Pancasila.
Penundaan RUU P-KS bagi aktivis perempuan dianggap menyakiti perasaan korban kekerasan seksual. Seolah-olah sekelompok orang di Indonesia yang berkuasa ingin mempertahankan budaya perkosaan dan membuat rantai kejahatan seksual terus berlangsung. “Sama sekali tidak berempati pada korban,” tutur akademisi dan pegiat perempuan, Yulianti.
Sebagian Poin RUU P-KS Dinilai Rancu
Dalam upaya DPR dan pemerintah merespon darurat kejahatan seksual yang marak akhir-akhir ini, Aliansi Cinta Keluarga (AILA) mengapresiasi kesigapan keduanya. Namun AILA menghendaki RUU P-KS agar dikaji dengan penuh kehati-hatian dan mendalam. AILA mengharapkan RUU P-KS tak menimbulkan kerancuan sehingga bisa jadi solusi bagi masalah yang timbul di masyarakat.
Dikutip dari Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU P-KS yang diterbitkan AILA, AILA mengkritisi beberapa poin yang dianggap rancu dalam RUU P-KS. Salah satunya penggunaan terminologi kata “kekerasan seksual” yang dinilai multitafsir jika menjadi judul rancangan undang-undang.
Selain itu, delik pemaksaan aborsi. Apakah aborsi yang tidak dipaksakan menjadi legal? Menurut AILA, prinsip aborsi adalah hal dilarang karena termasuk pembunuhan janin, namun dapat dilakukan pada kondisi medis tertentu. Adanya norma dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d RUU P-KS tidak jelas mengenai batasan-batasan larangan aborsi tersebut.
Poin lain yang dianggap rancu oleh AILA yakni definisi bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang menurutnya sangat bias. RUU ini justru mengafirmasi perilaku LGBT karena naskah akademik RUU P-KS dengan jelas memasukkan agenda Kekerasan Seksual atas dasar pilihan Orientasi Seksual Berbeda, yakni Kekerasan Seksual tak cuma berbasis gender namun juga pada orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender.
Seperti yang dikatakan Wijaya dalam pemaparannya, AILA sebagai salah satu pihak yang mengkritisi RUU P-KS, menitikberatkan agar RUU P-KS perlu dianalisis secara logis sesuai nilai Pancasila dan UUD 1945 yang berlandaskan pada norma agama dan kesejahteraan umum di masyarakat.
Reporter : Ani Sariski
Editor : Alvanza Adikara Jagaddhita dan Annisavira Pratiwi