UMS, pabelan-online.com – Bagi kelompok pendukung RUU P-KS, undang-undang ini dipandang akan menjadi solusi. Namun bagi kelompok yang menolak, undang-undang ini dianggap sebagai solusi yang bermasalah.
Usai perspektif aktivis dipaparkan Wijaya, peserta diskusi publik BEM Psikologi UMS semakin riuh dan bersemangat mendengarkan perspektif lain dari pembicara yang lain pula. Perspektif hukum diwakili Bambang Sukoco selaku Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Bambang tak memungkiri bahwa dalam suatu rancangan UU, pasti ada kepentingan-kepentingan, baik itu tersembunyi maupun terang-terangan. Dalam pembicaraannya, ia menuturkan, semua pihak sepakat mengatakan perlindungan perempuan merupakan hal yang sejalan dengan tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah.
Setiap bentuk kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan yang menyalahi hak asasi setiap manusia. Terbebas dari segala bentuk kekerasan seksual, Bambang menyatakan perlunya perlindungan hukum oleh negara kepada setiap korban kekerasan seksual. “Memang perlu korban kekerasan seksual harus dilindungi negara,” tegasnya.
Namun Bambang menganggap sistem struktur dalam RUU P-KS cukup kacau, banyak terjadi tumpang tindih, baik secara istilah maupun substansi. Banyak pasal-pasal dalam RUU P-KS tersebut telah diicantumkan dalam UU Perkawinan, UU KDRT, serta UU Pornografi.
Baca Juga Menilik Pro dan Kontra RUU P-KS Melalui Perspektif Aktivis
“Seolah-olah RUU P-KS ini tidak sejalan dengan semangat kita untuk mengkodifikasi aturan hukum pidana menjadi satu KUHP,” tuturnya, Senin (23/09/2019).
Bambang melihat tidak adanya nilai-nilai agama dan budaya Indonesia yang dimasukan ke dalam rancangan undang-undang tersebut, terutama nilai-nilai agama. Padahal sila pertama dalam pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa, dimana nilai agama merupakan kristalisasi dari budaya bangsa Indonesia.
Ia pun menganggap banyak sekali pasal-pasal yang implikasinya dapat menyebabkan kehebohan. “Asas yang digunakan dalam RUU P-KS, bisa dikatakan sudah cacat sejak dalam kandungan,” pungkasnya, Senin (23/09/2019).
Taufik Kasturi selaku Dosen Fakultas Psikologi UMS, mendapat giliran berbicara mengenai perspektif psikologi terhadap RUU P-KS. Sama seperti Bambang, ia mempertanyakan alasan RUU P-KS tak memasukkan norma keagamaan didalamnya. “Semua harusnya me-refer ke sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa,” ungkap Taufik, Senin (23/09/2019)
Baca Juga Di Fakultas Ini, Ambil SKS Bisa Lebih Meski IPK Tak Cukup
Taufik juga menambahkan, saat ini sedang terjadi fenomena ghazwul fikri (perang pemikiran–red), yang didalamnya terdapat muatan-muatan kepentingan. Ia menitikberatkan beberapa pasal yang dianggap kontradiktif dan ambigu. Bagi kelompok pendukung RUU P-KS, undang-undang ini dipandang akan menjadi solusi.
Namun bagi kelompok yang menolak, undang-undang ini dianggap sebagai solusi yang bermasalah. Ia mengatakan, setiap manusia yang terlahir, mestinya memiliki sifat politis dan membawa tujuan hidupnya sendiri. “Kita pun punya visi misi yang sesuai dengan ajaran nabi, yaitu misi dakwah dalam segala hal,” tandasnya.
Reporter : Ani Sariski
Editor : Alvanza Adikara Jagaddhita