UMS, pabelan-online.com – Menolak lupa dengan Karhutla yang masih terjadi hingga hari ini, pemerintah dikritik kurang tegas dalam penegakan hukum pada pelaku pembakaran. Terutama yang berkaitan dengan korporasi pemegang tanda tangan khusus.
Selain Iqbal, tanggapan lain juga diberikan oleh Rizka selaku dosen Fakultas Hukum di universitas yang sama. Ia menuturkan bahwa karhutla bukan bencana baru di Indonesia. Ia menyayangkan penanganan yang dilakukan pemerintah karena belum bisa menyelesaikan permasalahan ini.
Menurutnya, dari segi hukum, dapat dikatakan pemerintah belum bisa melindungi rakyatnya dari kebakaran hutan. Sebab hukum yang mengatur hal tersebut belum tegas dilaksanakan, termasuk dari segi penegakan hukum itu sendiri. Misalnya ketika ada pengumuman terkait perusahaan atau korporasi yang berhasil ditindak, tetapi dari masyarakat malah belum mengetahui sanksi atau ganti rugi yang ditanggung perusahaan atau korporasi tersebut.
Hal lain yang mungkin menjadi rahasia umum yaitu adanya permainan korporasi. Menurutnya, itu memang disengaja, dengan cara melobi secara langsung kepada orang-orang yang memiliki jabatan tinggi sebelum berurusan dengan izin dari pemerintah. “Peraturan ada, tetapi ketika penegak hukumnya takut dengan tanda tangan dari atas, mau bagaimana?” ujarnya.
Baca Juga Kabut Asap Karhutla Riau dan Upaya Penanggulangan Geografisnya
Ia juga menganggap bahwa pelaku kejahatan kerah putih seperti ini seperti sulit terdeteksi, karena adanya “pemain” di belakang layar sebagai penyokong sekaligus pengaman. Untuk itu, Rizka juga menambahkan bahwa seharusnya yang ditangkap atau diberikan sanksi bukan orang yang membakar, melainkan para pemilik perusahaan.
“Mereka (Pembakar-red) itu kan suruhan. Jadi seharusnya yang ditangkap adalah yang menyuruh. Kalau perlu dicabut izin perusahaan yang bersangkutan,” sambungnya.
Padahal, pemanfaatan dan perlindungan hutan itu sudah diatur dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945, UU No.5 tahun 1990, UU No. 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 1985, dan beberapa Keputusan Menteri Kehutanan. Namun, pelanggaran terhadap hutan masih terus berlangsung, seperti eksploitasi sumber daya yang ada di dalamnya.
Di lain sisi, Indonesia bahkan sudah ikut menandatangani perjanjian dengan Singapura dan Malaysia bahwa Indonesia tidak akan menimbulkan polusi ke negara-negara tetangga. “Kalau mereka menuntut kan berat ya, karena sudah ada perjanjian tersebut,” tukasnya.
Dosen yang juga mengampu mata kuliah Ekonomi Industri itu pun membeberkan bahwa korporasi memang banyak melanggar. Misalnya ketika dilakukan analisis menggunakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan hasilnya tak layak, mereka mengandalkan orang-orang besar di belakang layar untuk menekan pejabat setempat agar mengeluarkan izin.
Padahal sebenarnya tidak layak. Ia memberi contoh kasus pembangunan pabrik semen yang dibangun berdekatan dengan pemukiman penduduk. “Masyarakat tidak akan mau tanda tangan, ya, lama (prosesnya-red). tapi akhirnya mereka (korporasi-red) pakai jalan pintas, pakai tanda tangan petinggi,” pungkasnya, Selasa (17/09/2019).
Reporter : Rika Tri Amalia
Penulis : Akhdan Muhammad Alfawwaz
Editor : Inayah Nurfadilah