ma.ha.sis.wa
n orang yang belajar di perguruan tinggi
Setidaknya itu yang menjadi definisi mahasiswa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. Namun jika diselisik lebih jauh, akan ditemukan makna yang lebih luas dari sekadar ‘orang yang belajar di perguruan tinggi’. Mahasiswa, dengan tambahan afiks maha- yang memiliki arti ‘sangat, amat, besar’ seolah memberikan penekanan kata siswa yang mengikutinya. Jadi, secara kasat mata dapat diketahui bahwa istilah mahasiswa merujuk pada strata atau tingkatan tertinggi dari siswa. Jika apa yang dilakukan oleh siswa selama ini identik dengan aktivitas belajar, maka mahasiswa selazimnya identik dengan aktivitas yang ‘lebih’ dari sekadar belajar.
Perguruan tinggi bukanlah sembarang tempat belajar. Melansir dari UU No. 2 Tahun 1989 Pasal 16 Ayat 1, hakikat perguruan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Dari definisi itu sudah bisa memunculkan gambaran, bahwa output dan outcome dari perguruan tinggi tidaklah main-main. Lembaga itu diharapkan mampu mencetak akademisi yang profesional dan siap terjun mengambil peran di tengah masyarakat.
Namun, harapan hanyalah sekadar harapan jika tanpa ada realisasi yang dilakukan. Fakta terkini menunjukkan perguruan tinggi mulai kehilangan arah tujuan, sebagaimana tercantum pada konstitusi. Berbagai polemik mengintai kehidupan kampus saat ini. Mulai dari beban UKT yang tiap tahun mengalami kenaikan signifikan, kasus korupsi pengadaan inventaris pembelajaran yang melibatkan dosen/tenaga pendidik (tendik), hingga pembatasan aktivitas organisasi mahasiswa.
Dengan problematika kampus yang variatif ini tentu dibutuhkan segera penyelesaian. Permasalahannya adalah, siapakah subjek utama yang sejatinya harus memiliki andil untuk mencari solusi berbagai persoalan kampus? Rektor? Dosen? Tendik? Atau mahasiswa? Rektor, dosen, ataupun tendik, mereka adalah legislator dan eksekutor dalam tatanan birokrasi perguruan tinggi. Mahasiswalah yang sejatinya memiliki kedudukan untuk menjadi pelopor dan motor penggerak perubahan di kampus. Berbekal karakter mahasiswa yang aktif, kreatif, mandiri, kritis, serta inovatif, sudah selaiknya mahasiswa turut andil dan ambil peran demi terciptanya kehidupan perguruan tinggi yang lebih baik.
Sayangnya sebagian mahasiswa saat ini kehilangan taringnya. Sebagian dari mereka saat ini kehilangan daya berpikir kritis. Sebagian dari mereka tumbuh menjadi individu yang apatis, apolitis, dan pragmatis. Mereka yang kutu buku disibukkan oleh tumpukan literatur dan jejeran tugas yang tidak kunjung habis. Mereka yang korban kehidupan metropolis nyaman menjadi pribadi hedonis dan hobi sekali nongkis (sebuah akronim untuk nongkrong tipis). Mereka yang mengaku aktivis, ciut nyali dikekang rezim dan hanya sedikit yang benar-benar berani melakukan aksi.
Padahal, apakah mahasiswa sepatutnya menjadi sosok yang seperti itu? Tentu tidak! Idealnya mahasiswa adalah seseorang yang memiliki potensi dalam memahami perubahan dan perkembangan di dunia pendidikan dan lingkungan masyarakat. Mereka memikul posisi dan peran sebagai agent of change, social control, dan iron stock.
Mahasiswa sebagai agent of change, sesuai dengan artinya yakni agen perubahan, mahasiswa dituntut memiliki kapabilitas untuk menciptakan perubahan positif bagi lingkungan di sekitarnya. Selain itu, mereka sebagai social control hendaknya senantiasa melakukan controlling atas berbagai kebijakan publik maupun birokrasi yang diberlakukan, sehingga bila ada cacat dalam implementasinya, mereka bisa berpikir kritis dan memberikan koreksi serta solusi atas kekeliruan yang terjadi. Mahasiswa sebagai iron stock diharapkan menjadi manusia-manusia yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia, sebab berperan juga sebagai pengganti generasi-generasi sebelumnya, yaitu menjadi cikal bakal penerus peradaban.
Beratkah menjadi mahasiswa? Mungkin sisi pragmatis mahasiswa masa kini akan memandang ketiga peran tersebut terkesan idealis dan teoretis belaka. Apakah mungkin bagi mahasiswa untuk menjalankan semua peran itu, sementara mereka juga seorang akademisi yang harus aktif dalam ranah akademik? Jawabannya adalah mungkin. Sudah dibuktikan bahwa pergerakan mahasiswa turut menghiasi tinta emas sejarah panjang bangsa ini.
Dimulai dari tahun 1908, perkumpulan mahasiswa STOVIA mendirikan wadah pergerakan nasional pertama, yaitu Boedi Oetomo. Kemudian tahun 1928, mereka menghasilkan Kongres Sumpah Pemuda yang menjadi titik tolak pergerakan mahasiswa dan pemuda nasional. Tahun 1945, mahasiswa turut andil dalam upaya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Momentum paling fenomenal adalah aksi dan gerakan mahasiswa tahun 1998 yang menandai munculnya revolusi bagi pergerakan mahasiswa. Dan yang ditunggu-tunggu, adakah aksi heroik dari pergerakan mahasiswa masa kini?
Mungkin ada, meskipun hanya sekian persen dari total jumlah mahasiswa seluruh Indonesia. Patut disyukuri masih ada beberapa mahasiswa yang memiliki concern terhadap apa yang terjadi di sekitar. Sebagian melakukan aksi ketika mereka rasa kemanusiaan dan keadilan diciderai, sebagian lain mengulas isu terkini untuk diopinikan kepada publik. Sebagian belajar dengan tekun meraih medali kejuaraan akademik, sebagian lain memilih mengabdikan diri di tengah masyarakat yang belum tersentuh teknologi.
Ada banyak upaya yang bisa dilakukan mahasiswa untuk berkontribusi sesuai ranah masing-masing. Sepantasnya kita saling bermuhasabah, apa yang sudah kita berikan untuk masyarakat yang menanti sumbangsih kita. Mari pertanggungjawabkan gelar maha- yang kita pikul di bahu, mari pertanggungjawabkan sumpah mahasiswa yang (kadang) kita ikrarkan dalam lisan. Sebab itulah jati diri yang seharusnya kita, sebagai mahasiswa, camkan dalam jiwa.
Penulis : Rosalia Ayuning Wulansari
Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Editor : Annisavira Pratiwi