Pada sore hari itu, telah aku kumpulkan niat untuk melakukan sesuatu. Tak kunjung bergerak, ibu menghampiriku dengan langkahnya yang tegak. Melihat itu, tanpa ba bi bu, aku segera beranjak. Bukan maksud hati menunggu ibu sesore ini. Aku hanya tak pernah bisa menyukai rutinitas harianku yang dilakukan setelah menuntut ilmu. Atau mungkin belum.
Aku mengerti, ini sebuah pembelajaran yang ibu lakukan sebagai bentuk tanggungjawab terhadap anak gadis semata wayangnya. Tibalah di sebuah ruangan yang bagiku baunya saja sudah tak sedap. Sebanyak apapun pengharum ruangan disemprotkan, secantik apapun desain interior-nya, dan serapih bagaimanapun perabotan yang diletakkan. Aku tak menyukai ruangan ini, bahkan untuk mendengar namanya saja.
Sialnya, aku hafal detail apapun yangberkaitan dengan ruangan ini: warnanya, posisi perabotan, perabotannya, ukurannya, bahkan sejarahnya. Ku dudukkan diri di atas kursi goyang. Dari semua yang aku benci di ruangan ini, hanya kursi goyanglah yang aku sukai. Sampai-sampai ku beri nama “Hani”, sebagai bentuk panggilan sayangku terhadapnya yang diadaptasi dari bahasa Inggris.
Tanganku segera meraih hakpen dan bulky. Aku menarik ujung bulky itu, lalu ku mainkan hakpen menjelujur melewati benang demi benang di setiap inci. Tanganku bergerak lincah, kali ini aku membuat topi. “Nah, gitu dong. Anak gadis itu harus rajin, harus mau belajar banyak. Biar nanti besok bisa mandiri, cari uang sendiri, itung-itung bantu suami,” suara ibu memecah konsentrasiku.
Entah sudah keberapa kali ibu berbicara demikian. Rutinitasku merajut di sore hari adalah untuk melatih kemandirian. Meski aku skeptis akan hal itu, buktinya aku mau. Aku konsisten melakukan itu.
Kejadian tujuh tahun yang lalu itu muncul sekelebat kala tanganku memegang hakpen. Pada senja yang megah ini, Hani sudah dipindahkan di selasar rumah. Dan sudah bertumpu aku di atasnya. Semburat jingga di atas langit sana mengantarkan matahari ke peraduannya.
Tba-tiba, cairan bening lahir dari kedua mataku secara bersamaan, menetes lewat ujung bagian dalam, basah dan merembes di pori-pori pipi. Belum terlalu lama, isak tangis pun pecah begitu saja. Aku segera menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Aku lupa kemana perginya hakpen yang sedari tadi ku pegang.
Kala aku menikmati ketidakteraturan emosiku itu, sesosok bayangan muncul di sana, di penglihatanku yang slide tiap kejadiannya terputar sendiri dalam kepala. Entah siapa yang memainkannya, entah otak yang berkompromi dengan memori, atau melibatkan organ dan elemen lainnya.
“Kau tahu, La? Engkau satu-satunya gadis yang aku pikirkan setiap malam. Ketika diri ini ku rebahkan, wajahmulah yang selalu muncul di langit-langit kamar. Suaramu selalu terngiang. Di saat aku memejamkan mata, senyum merekah dari bibir ranummu begitu terlihat indah. Perasaanku membuncah. Beberapa detik kemudian, aku mendudukkan diri lagi, mengingat detail wajahmu yang selalu bisa memunculkan kegembiraan. Bisa kau bayangkan, La, tiap hari aku memikirkanmu!” kalimat yang diucapkannya selalu terputar kala aku sendiri di senja hari.
Lelaki itu, lelaki berkulit legam yang ku temui di Terminal Harjamukti itu mengubah hidupku menjadi berarti. Mungkin berarti di sini merupakan konotasi yang buruk. Karena pada kenyataannya, aku menjadi bergantung padanya. Kemandirian yang selalu ibu ajarkan dan tanamkan padaku sejak dulu, menguap begitu saja tatkala hari-hariku terisi dengan membagi cerita pada lelaki ini.
Hal yang selama ini aku yakini terhadap lelaki: semua lelaki itu buaya, aku tak boleh percaya padanya; sirna sudah. Aku tak melihat indikasi apapun bahwa lelaki ini berbahaya. Pertahanan soal kemandirian yang sudah ku bangun dengan susah payah seketika pecah. Keyakinan baru yang muncul dan akhirnya aku perlihatkan di permukaan adalah, membagi cerita pada lelaki ini wajib hukumnya.
Dia menjadi prioritasku sejak saat itu, menggantikan posisi rajut yang aku sukai. Meski awalnya tak betah, buktinya sudah satu windu aku menjamah tiap benangnya.
“Lalu sekarang kau mau apa?! Menikah? Bukannya aku tak sudi melihatmu berbahagia dengannya, Lila. Tapi ini mendadak sekali, padahal baru kemarin kau bercerita soal mimpi dan target yang harus kau penuhi. Kau bilang, kau ingin menjajaki tangga demi tangga agar meraih prestasi. Prestasi yang kau damba-dambakan untuk menjadi perajut profesional, membuat brand sendiri dan berambisi menjadi terkenal. Rajut kini menjadi hidupmu. Seperti engkau adalah hidupku. Bayangkan, Lila! Apakah kau bisa hidup tanpa merajut, padahal kebutuhan hidupmu terpenuhi berkat bergelut dengannya? Tekun belajar tiap senja bersama ibumu yang kini sudah sepuh itu. Maksudku, bisa kau bayangkan bagaimana jadinya hidupku tanpamu?”
Kulihat pipinya merah dan kedua telapak tangan kurusnya mengepal.
“Lalu aku harus bagaimana ini? Harus melihatmu berkemas menuju rumah barumu? Apakah aku harus berdiam diri sementara kau enak-enakan beranak pinak? Apa kau sudah tidak bisa menahan hasratmu untuk…”
PLAK! Sudah tak tahan aku mendengar ocehannya yang semakin ngawur saja. Dia menyeringai. Tiga detik kemudian, aku tersadar. Aku meminta maaf, tanganku begitu ringan dilayangkan. Aku begitu takut, pikiranku kalut.
“Tak apa, Lila. Kau begitu cantik. Sudah ku pikirkan jauh-jauh hari bahwa di antara bunga yang indah, kumbang selalu berebut untuk merasakan madu dari bunga yang paling indah. Kau tak perlu meminta maaf. Setidaknya sekarang aku tahu, bagaimana rasanya pernah dicintai gadis berambut coklat yang begitu cantik sepertimu. Dan setidaknya aku tahu, perpisahan yang kau niatkan secara baik-baik, ternodai karena tamparanmu di pipi kiri. Aku akan selalu mengingat ini, Lila, sebagai tanda kau tidak bisa menahan emosi dan baik-baik dalam mengakhiri,” sahutnya.
Aku tak bisa melihat apa-apa lagi. Aku tak begitu mengikuti alur kejadian ini. Ketika aku sadar, lelaki ini raib dari pandanganku. If you let me, here’s what I’ll do I’ll take care of you. I’ve loved and I’ve lost. Lagu Drake feat Rihana terputar begitu saja seolah menjadi soundtrack dari apa yang aku rasakan.
Di tengah kegundahan yang melanda, sayup-sayup terdengar suara langkah kaki menghampiri. Slide demi slide yang tertampil kemudian hancur berantakan, aku membuka mata perlahan. Berusaha sekuat tenaga, aku berkedip berulang kali karena memang pandanganku buram. Sosok itu semakin dekat menghampiri, dan aku tercengang ketika hanya berjarak puluhan inci.
Hatiku bersorak sorai mengetahui siapa gerangan di hadapanku ini. Seperti Queen yang dianggap sebagai grup band paling fenomenal dan terbaik sepanjang zaman berkat lagu-lagunya, dia pun menjadi orang terbaik berkat kebaikannya. Tentu saja berkat “ketidakwarasan”-nya karena begitu dalam mencintaiku. Sayangnya dia lebih cocok menjadi king, bukan queen.
“Apa kabar, Lila?”
“A.. aku.. baik, Irfan.”
“Tak perlu gugup seperti itu ditemui orang yang tampan seperti ini,” dia terkekeh. “Alhamdulillah ku lihat kau semakin baik, dan tentunya cantik, terlebih dengan kerudung biru yang sedang dipakaimu itu. Maaf aku ke sini tanpa izin terlebih dahulu. Setelah satu tahun semenjak hari itu, aku menyadari bahwa perihal jodoh tak usah ditangisi, karena memang ada campur tangan semesta yang bekerja. Lila, aku ingin pamit. Aku ingin mencari pengalaman baru di tanah rantau.”
Mendengar itu, sontak saja aku kaget. Pasalnya kehadirannya membawa angin segar dalam hatiku yang sedari tadi gundah. Iya, setelah satu tahun berlalu semenjak hari itu, acap kali ku temukan diri ini menangis tersedu teringat kejadian itu. Tapi semesta malah mengiriminya ke sini hanya untuk berpamitan, atau dengan kata lain mengulang perpisahan seperti satu tahun yang lalu tanpa persiapan.
Tanpa sempat menjawab, Irfan tersenyum mengakhiri pertemuan singkat ini. “Selain mencari pengalaman untuk bekerja karena aku baru saja lulus kuliah, aku juga ingin melupakanmu. Semoga kau baik-baik di sini. Entah dengan cara apa aku resetting otakku yang sesak dipenuhi segala tentangmu,” lanjutnya, terkekeh lagi. Dia segera pergi. Badannya yang tak sekurus dulu itu semakin mengecil saja, kemudian hilang.
Aku terdiam. Mataku melihat ke bawah, menerawang tiap kenangan.
‘Jangan nangis lagi, ku mohon…’ pintaku pada diri ini.
Jangan biarkan diri ini terseret lagi pada cinta yang tak berkesudahan, hanya janji-janji yang disampaikan, lalu aku menelannya mentah-mentah. Sudah cukup. Meski dia berarti, dan mengubah hidupku menjadi berarti, namun bukan berarti dia yang menjadi prioritas lagi. Cukup sudah, Lilaa… aku memohon lagi pada diri.
“Dek, abang pulang,” suara berat ini mampu membuat kepalaku menoleh ke kiri. Aku segera berdiri dan mencium tangannya. Dia merangkulku mesra. “Kamu habis nangis lagi?” Aku hanya mengangguk.
“Kenapa?” tanyanya lagi menyelidik. Aku tak menjawab. Aku memang tak mau menjawab. Karena aku tahu ada perasaan yang harus aku jaga, termasuk orang yang ada di hadapanku ini –seseorang yang menggantikan posisi ayahku, yang menafkahiku, yang bertanggungjawab akan keberlangsungan hidupku dan dia tentu saja-.
Ada perasaan yang harus aku sembunyikan terhadap lelaki lain yang bahkan tak pernah punya niatan merancang masa depan. Meski aku harus menikam hatiku begitu dalam, begitu tajam, aku harus terus berjuang sendiri mempertahankan prinsip hidup. Aku harus belajar sepenuhnya mencintai orang yang selalu baik di hadapanku ini, harus. Karena bersama dialah aku menjadi mandiri lagi.
Karena dengan bantuannyalah, aku bisa memasarkan produk rajutanku ke banyak tempat. Untuk menjadi berprestasi, ternyata menikah bukan halangan. Buktinya aku bisa. Terutama, karena dialah prinsip hidupku bisa diwujudkan. Dan bersama dia, aku bisa merajut prinsip hidup yang lain. Karena hanya dia yang mau mewujudkan prinsip hidup bersama, tanpa banyak kata dan alasan.
Penulis : Inayah Nurfadilah
Mahasiswi Aktif Fakultas Komunikasi dan Informatika UMS
Editor : Annisavira Pratiwi
Tulisan ini telah diperbarui pada Kamis, 28/11/2019 pukul 05.51 WIB