UMS, pabelan-online.com – Santer terdengar desas-desus terkait tindakan asusila yang dilakukan oknum mahasiswa Fakultas Agama Islam (FAI) beberapa waktu lalu. Dipergoki satpam yang sudah lama curiga pada kedua oknum, berita dari mulut ke mulut cepat menyebar ke seluruh penjuru fakultas. Kasus ini berakhir di dekanat dengan penyelesaian berupa skorsing terhadap kedua oknum.
Tindakan asusila merupakan bentuk kurangnya moral mahasiswa, terlebih jika itu dilakukan di lingkungan kampus. Syamsul Hidayat selaku Dekan FAI menjelaskan bahwa moralitas mahasiswa diatur menyesuaikan Peraturan Tata Tertib Mahasiswa UMS yang termaktub dalam Buku Panduan Mahasiswa.
Tercantum pada Bab XI tentang Perbuatan Asusila dan Perjudian, pasal 20 ayat 3 menjelaskan bahwa perbuatan asusila baik di dalam maupun luar kampus, akan dikenakan sanksi paling berat diberhentikan sebagai mahasiswa.
Ia juga mengungkapkan bahwa kasus asusila yang menyeruak tersebut telah diidentifikasi. Pihak dekanat melakukan identifikasi secara kolektif dari pihak satpam hingga teman-teman oknum mahasiswa terkait. Setelah melalui berbagai tahap, informasi yang terkumpul mengarah pada indikasi oknum belum sampai melakukan tindak asusila.
Namun karena hal itu dilakukan oleh eks Ketua dan Bendahara BEM FAI, pihak dekanat tetap mengeluarkan keputusan dengan memberhentikan mereka dari jabatannya. “Hanya saja tidak pantas jika tindakan tidak bermoral itu dilakukan oleh pemimpin, seharusnya menjadi contoh baik nan berakhlak,” ucap Syamsul ketika ditemui tim Pabelan Online, Selasa (01/12/2019).
Syamsul mengatakan, untuk pemberian sanksi tingkat lanjut merupakan kewenangan pihak penegak hukum universitas. Pimpinan fakultas hanya memusyawarahkan dan mengkaji perilaku asusila, lalu mengusulkan kepada penegak hukum untuk dapat memberikan keputusan.
Ia menambahkan untuk jam malam masih sesuai dengan peraturan universitas. Apabila ada kegiatan yang melebihi jam yang sudah ditetapkan, maka harus ada perizinan dan argumen yang kuat. “Supaya tetap menjaga norma agama,” tambahnya.
Baca Juga Trauma Pribadi, Seorang Dosen Tak Suka Mahasiswinya Bercadar
Norma-norma dalam Lingkungan FF
Kabar mengenai kasus ini rupanya telah menyebar hingga ke beberapa fakultas lain. Salah satunya yakni Fakultas Farmasi (FF). Dekanat FF lalu membuat beberapa aturan baru, diantaranya gedung FF harus steril pada pukul 22.00 WIB. Dengan ditetapkannya peraturan tersebut masih ada pro dan kontra antara Ormawa yang berada di naungan FF, karena aktivitas keorganisasian seperti rapat biasanya dilakukan malam hari bahkan sampai menjelang pagi.
Salah satu pengurus BEM FF Bidang Advokesma, Naufal Farras mengatakan bahwa peraturan yang ditetapkan selama ini oleh Dekanat FF sudah dapat dikatakan efektif. Bahkan selain aturan jam malam, FF sendiri amat ketat dalam mengatur kerapian berpakaian mahasiswa/i agar masih dalam batas kesopanan.
Ia juga mengungkapkan bahwa ia sangat setuju dengan peraturan mengenai busana yang harus sopan dan rapi ketika di lingkungan FF, karena penilaian awal terhadap seseorang dilihat dari busana yang dikenakan.
Peraturan itu menurutnya sangat membangun moralitas mahasiswa, sebab dengan peraturan berpakaian yang berlaku diterapkan sesuai hukum-hukum Islam. Apalagi Muhammadiyah adalah universitas yang berbasic Islami. “Menurut saya itu sangat bagus diterapkan di Fakultas Farmasi, kebetulan anak-anak Farmasi tidak ada yang pernah komplain mengenai hal itu,” tuturnya.
Untuk ke depannya, karena sekarang sudah memasuki zaman modernisasi, ia berharap peraturan-peraturan yang ditetapkan perlu penyesuaian agar tidak tertinggal. Namun tentu juga tidak meninggalkan nilai-nilai keislaman. “Kita harus bisa menyesuaikan dengan modernisasi, tapi kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai esensi dari keislaman itu sendiri,” harapnya.
Sependapat dengan Naufal Farras, Elmi Prixtinabawi sebagai Ketua Komisi 3 Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FF dan Sekretaris Bidang Hikmah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) FF, berujar bahwa sebenarnya peraturan mengenai jam malam itu bertujuan menjaga mahasiswa agar tidak pulang larut malam sebab stigmanya tidak baik. Selain itu agar waktu istirahat mahasiswa cukup.
Ia berharap untuk peraturan yang menetapkan jam malam itu agar didiskusikan terlebih dahulu dengan mahasiswa tentang untuk apa jam malam itu, dan dampak negatif, serta positif bagi mahasiswa, agar mahasiswa tidak kaget ketika peraturan itu sudah ditetapkan tanpa didiskusikan.
Baca Juga Menilik Problem Lahan Parkir UMS: Status Sewa dan Wacana Gedung Tiga Lantai
Kultur Moral Islami Bukan Hanya Tanggung Jawab Perseorangan
Dalam Buku Panduan Akademik, telah dituliskan berbagai aturan yang mengarah pada pembentukan moralitas pribadi dalam naungan perguruan tinggi Islam. Salah satunya mengenai Larangan yang tercantum dalam Bab V, pasal 9 ayat 9 disebutkan: Melakukan tindakan terlarang menurut syari’at, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia baik di dalam maupun di luar kampus. Pada bab sebelumnya juga diatur mengenai sanksi dari perbuatan yang melanggar syari’at.
Tak sampai disitu, bahkan Universitas Muhammadiyah Surakarta pun merumuskan Bab XIV tentang Etika Kepribadian pasal 23 ayat 1, 2, dan 3 yang menertibkan mahasiswa supaya berpenampilan sesuai ajaran Islam. Pada ayat ke 4, disebutkan sanksi paling berat dari pelanggaran pasal 1, 2, dan 3 tidak diusulkan sebagai calon mahasiswa berprestasi dan atau penerima beasiswa tertentu.
Baik fakultas maupun universitas telah terlihat upaya untuk menjaga kultur etika dan moral Islami ada di setiap lingkungan kampus. Namun pada kenyataannya, kembali lagi pada kepribadian masing-masing individu. Pelanggaran yang terjadi di lingkup kampus menandakan adanya celah dari peraturan itu sendiri dan datangnya kesempatan dalam kesempitan. Tak hanya satu pihak saja yang bertanggungjawab atas pelanggaran yang terjadi. Namun tanggung jawab sivitas akademika kampus pula agar norma susila dan kultur Islami tetap terjaga.
Reporter : Alvanza A. Jagaddhita, Rifqah, Widia Arum Pratiwi, dan Muhammad Ismail Hidayatulah
Penulis : Alvanza A. Jagaddhita, Widia Arum Pratiwi, dan Panji Lumintang
Editor : Annisavira Pratiwi