UMS, pabelan-online.com – Sudah menjadi hal yang lazim di lingkungan kampus bahwa ketika membuat sebuah laporan, diperlukan puluhan bahkan ratusan kertas yang terkadang terbuang sia-sia, belum lagi kalau laporan tersebut masih memerlukan revisi. Artinya, untuk mendapatkan laporan yang sudah final tentunya harus mengorbankan lebih banyak lagi jumlah kertas yang akan terbuang sia-sia.
Namun, seiring berkembangnya zaman, di era revolusi industri 4.0—atau juga identik dengan zaman millenial dimana pengaruh serta peran digital sangat kental di dalamnya—apakah penggunaan kertas sebagai media untuk membuat laporan dinilai masih efektif?
Pada umumnya, membuat sebuah tugas atau laporan memang dilakukan dengan tulis tangan atau dengan metode print out. Hal itu sudah tidak dipungkiri lagi bahwa setiap kampus pasti menggunakan metode yang sama. Fakultas Teknik dan Fakultas Geografi merupakan contoh dari beberapa fakultas yang terkenal dengan tugas serta pembuatan laporan yang menggunakan metode demikian.
Dimulai dari membuat konsep hingga pada tahap akhir, yaitu ketika laporan siap diserahkan ke dosen yang bersangkutan, semua menjadikan kertas sebagai pemeran utama. Ujungnya, tak jarang kertas-kertas bekas revisi itu hanya akan menjadi tumpukkan sampah karena masih terdapat catatan dari dosen.
Dewasa ini, perkembangan teknologi yang kian mudah diakses oleh setiap kalangan justru belum menyentuh ranah pendidikan begitu jauh. Metode lama yang kerap dipertahankan hingga sekarang sangat terkesan jadul apabila dibandingkan dengan perkembangan zaman yang kian pesat. Misalnya, seperti yang sering dialami oleh mahasiswa Fakultas Teknik. Dalam membuat sebuah laporan mereka masih menggunakan metode lama tersebut. Alih-alih merasa terbantu dengan perkembangan zaman, mahasiswa setuju jika mereka terbebani dengan sistem pembuatan laporan yang belum ada pembaharuan.
Beban dalam hal biaya menjadi salah satu alasannya. Sistem pembuatan laporan yang mengharuskan mahasiswa untuk mencetak laporan tersebut tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit, terlebih ketika laporan itu harus dicetak berulang kali. Selain dinilai kurang ekonomis, sistem atau metode seperti itu turut meningkatkan konsumsi terhadap kertas setiap harinya, dimana hal tersebut akan berdampak buruk pada lingkungan. Alasan kesehatan lingkungan juga membuat mahasiswa merasa terbebani dengan sistem pembuatan laporan yang masih menggunakan kertas sebagai medianya.
Shafa, selaku mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menjelaskan cara bagaimana dirinya meminimalisir penggunaan kertas dalam pembuatan laporan kepada tim Pabelan Online. Ia berpendapat, pemanfaatan kertas bekas yang masih layak digunakan dapat mereduksi penggunaan kertas yang semakin meningkat.
Baca Juga Krisis Moralitas: Sejauh Mana Kampus Islami Terapkan Norma Susila Mahasiswa?
Sistem yang Dinilai Efektif dalam Pembuatan Laporan di Era 4.0
Era revolusi industri 4.0 merupakan perkembangan dari era-era sebelumnya. Begitu pula dengan sumber daya manusia yang juga harus berkembang mengikuti zaman agar tidak tertinggal. Hal tersebut tentu saja bisa dikaitkan pada bidang pendidikan yang juga harus memiliki pembaruan dalam sistemnya. Sistem pembuatan laporan yang dahulu masih menggunakan metode tulis tangan atau print out sudah selayaknya diganti dengan metode serba digital seiring perkembangan zaman.
Mahasiswa Fakultas Teknik UMS, Haqulnafi berpendapat bahwa pembuatan laporan menggunakan kertas sebagai medianya dinilai kurang efektif karena mengharuskan untuk mencetak laporan tersebut memakai kertas yang dapat berakibat pada kerusakan lingkungan.
“Era 4.0 ini harusnya sistem pembuatan laporan menggunakan laptop atau komputer saja, nanti tinggal kirim file-nya ke dosen. Jadi tidak perlu print laporan lagi,” jelas Haqulnafi.
Meskipun memiliki dampak buruk terhadap kesehatan lingkungan, nyatanya masih ada mahasiswa yang beranggapan bahwa sistem pembuatan laporan dengan tulis tangan dinilai efektif karena menurutnya, mahasiswa dapat sambil belajar dalam proses pembuatan laporan tersebut. Hal ini disampaikan oleh Audi.
Ia berpendapat, pembuatan laporan menggunakan kertas masih cukup efektif untuk diterapkan, sedangkan penerapan sistem laporan yang serba digital itu sendiri belum cukup memungkinkan dan harus memerlukan uji coba terlebih dahulu. Lebih lanjut lagi, kepada tim Pabelan Online, Audi memaparkan sistem seperti apa yang seharusnya digunakan jika pembuatan laporan dilakukan dengan digital.
“Menurut saya, nanti pembuatan laporan itu via website yang bisa diakses mahasiswa, kemudian di website itu udah ada susunan laporan. Sistemnya otomatis aja,” terang Audi.
Di lain tempat, Sri Sunarjono selaku Dekan Fakultas Teknik UMS beranggapan bahwa memang sistem pembuatan laporan yang saat ini digunakan sudah tidak lagi efektif karena perkembangan zaman.
Sistem pembuatan laporan yang mengharuskan pemakaian kertas dalam jumlah cukup banyak juga menjadi faktor terbesar yang berdampak pada kerusakan bumi. Selain itu, sistem pembuatan laporan dengan metode lama dianggap memakan waktu yang banyak, dikarenakan antara mahasiswa dengan dosen harus bertatap wajah secara langsung untuk membahas laporan tersebut.
“Sistem pembuatan laporan yang efektif haruslah mengikuti perkembangan zaman, yang artinya sudah harus digital dan bersifat representatif dan komunikatif. Namun, tidak semua dapat diubah menjadi digital, oleh karenanya kita harus tepat dalam menentukan sistem seperti apa yang harus diterapkan dan efektif di era revolusi industri 4.0 saat ini,” ucap Sri.
Baca Juga Trauma Pribadi, Seorang Dosen Tak Suka Mahasiswinya Bercadar
Rencana Fakultas Menghadapi Arus Digitalisasi
Dalam memenuhi kebutuhan manusia terhadap infrastruktur, Teknik merupakan salah satu bidang yang bersinggungan langsung dengan itu. Namun setiap pembangunan selalu memiliki dampak terhadap lingkungan. Setelah mempertimbangkan kemungkinan akan timbulnya kerusakan lingkungan yang lebih masif, Sri Sunarjono telah berupaya sejak jauh hari untuk menuju sistem yang serba digital. Salah satu upaya yang telah dicoba ialah mendengungkan reduksi kertas dan mendukung program UMS tanpa plastik.
Ia pun berencana mereduksi tugas akhir yang biasanya memakan 50-100 halaman menjadi 10 halaman dalam bentuk artikel atau jurnal. Menurutnya, bila semua tugas akhir berbentuk kertas, buku, atau laporan akan sangat memakan tempat. Tapi pada realitanya, mereduksi penggunaan kertas tidak semudah yang dibayangkan. Ada tiga faktor yang menghambat: 1. Sivitas akademika masih terbiasa dengan kertas. 2. Belum semua pihak familiar dengan sistem digital. 3. Tidak semua bisa digitalisasi dan memang harus menggunakan kertas.
Salah satu penerapan konsep digitalisasi adalah dengan membuat aplikasi yang mudah digunakan, komunikatif, bisa dibagikan dan diakses banyak orang. Masih dalam konteks tugas akhir, Sri Sunarjono berangan-angan dengan adanya aplikasi ini, konsultasi proposal hingga seminar proposal bisa dilakukan tanpa tatap muka langsung alias melalui dunia maya. Oleh karena itu, diperlukan IT yang memadai, stabilitas koneksi internet, dan kesiapan sumber daya manusia (baik pengguna maupun pencipta aplikasi). Di lain sisi, ia juga tidak memungkiri bila beberapa hal memang tidak bisa dilakukan secara digital dan memerlukan kontak atau interaksi langsung.
Menurutnya, pembiasaan kultur mereduksi penggunaan kertas merupakan salah satu upaya paling konkrit. Mencoba mereduksi kertas dapat dilakukan dengan memanfaatkan kertas bekas yang masih layak pakai. Namun, hal itu tidaklah mudah dan perlu pemaksaan. “Pemaksaan tidak selalu buruk dan negatif. Dalam tertentu harus ada pemaksaan supaya kita terbiasa berperilaku baik,” ujar Sri.
Sepakat dengan Sri, Aditya Saputra selaku Dosen Praktikum SIG Fakultas Geografi UMS juga mengimbau mahasiswanya agar konsisten memanfaatkan kertas bekas setiap kali revisi. Namun kebanyakan mahasiswa masih menggunakan kertas yang baru jika bimbingan. “Padahal kami merasa tidak masalah jika menggunakan kertas bekas,” ujar Aditya.
Di zaman serba digital ini, fokus Fakultas Geografi bukan serta merta menjadikan semua sistem online. Diawali dengan langkah paperless secara serius, baru memunculkan wacana sistem praktikum online. Praktikum online tentu saja membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, seperti pengembangan laboratorium dan penambahan ruang.
Sementara, hal ini belum dapat terlaksana di Fakultas Geografi sebab baru sampai tahap pengkajian untuk lanjut ke arah sana. Sejauh ini, Fakultas Geografi baru menerapkan paperless untuk modul praktikum SIG yang diberikan dalam bentuk soft file.
Baca Juga PR Muhammadiyah: Benahi Sistem Pendidikan Akhlak
Implementasi Wacana Paperless dan Praktikum Online
Sebelum praktikum online diuji coba, laporan praktikum mahasiswa yang telah dikumpulkan kerap hilang entah ke mana. Ini berhasil diminimalisir saat praktikum online dimulai pada mahasiswa semester III dan V. Asisten dan praktikan dipermudah dan tak perlu boros uang dan waktu, bahkan menghemat penggunaan kertas. Paperless dengan praktikum online ialah dua hal yang berbeda. Dengan paperless, asisten lebih detail dalam mengoreksi laporan. Namun, jika sistem online yang masih berbentuk form, koreksi hanya bisa dilakukan melalui komentar, tidak seleluasa saat mengoreksi lewat paperless.
Menurut Asisten Dosen Praktikum SIG 2, Aditia Syaifudin, kelemahan sistem praktikum online ialah koneksi internet yang tak stabil ketika mahasiswa hendak mengumpulkan laporan. Apalagi jika ada mahasiswa yang submit lebih dari sekali, berakibat database cepat penuh.
Mengenai dampaknya terhadap lingkungan, praktikum online jelas minim sampah, hemat kertas, dan membantu pengurangan limbah. Namun, tidak semua praktikum serba terkomputerisasi, agaknya mustahil sebab masih ada beberapa yang harus ditulis tangan. Ia tak menutup kemungkinan UMS bisa beralih ke praktikum online seluruhnya, tapi tetap harus menyesuaikan karena tidak semua cocok diterapkan ke sistem online.
Di era yang digaungkan dengan embel-embel digitalisasinya ini, sejumlah pihak mendukung implementasinya agar langsung terjun ke arah sana. Beberapa waktu lalu santer terdengar kasus mahasiswa UNS yang dipanggil Dekanat Fakultas Pertanian (FP) lantaran mengkritik laporan praktikum yang dikerjakan dengan tulis tangan. Dalam bentuk meme, mahasiswa bernama Galuh Fadwa mengkolase adegan dalam film Joker dan menulis caption berupa, “Namanya juga FP (Fakultas Primitive). Agaknya tidak mengenal RI 4.0.”
Berkat meme itu, Galuh mendapat surat pemanggilan dari Dekanat Fakultas untuk mengklarifikasi apa yang telah dia lakukan. Dilansir dari tempo.co, menurut Agung Wibowo selaku Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Alumni FP UNS, persoalan laporan praktikum tidak layak dibawa ke ranah publik. Beberapa praktikum memang masih mewajibkan mahasiswa menulis tangan, tetapi ada juga yang diketik. Ia beranggapan bahkan sampai era 5.0 pun akan tetap ada praktikum yang wajib ditulis tangan dan tak bisa dengan sistem digital.
Samanhudi selaku Dekan FP UNS juga mengakui hal yang sama. Laporan tulis tangan dimaksudkan agar mahasiswa tidak copy-paste. Namun kritik dari Galuh menjadi masukan juga untuk FP UNS agar lebih melek pemanfaatan teknologi, misalnya dengan menemukan solusi teknologi yang bisa mendeteksi copy-paste ketika mengirim laporan dalam bentuk soft file. Belum ada kabar lebih lanjut tentang Galuh setelah kasus ini.
Jika ditilik dari permasalahan-permasalahan yang ada di tiap fakultas, rata-rata masih menganggap bahwa ada laporan yang tidak bisa diketik sehingga harus tulis tangan dan makin menambah penggunaan kertas. Lagi-lagi hal ini bermuara pada kebelumsiapan sumber daya manusia untuk melaksanakan sistem yang lebih baik dalam menyesuaikan tren zaman yang kian berkembang.
Revolusi industri 4.0 yang selama ini selalu digadang-gadangkan sebagai era digital oleh pemerintah, dibahas di seminar manapun serupa topik terkini yang tak ada habisnya dibahas, ternyata dalam perwujudannya pun belum sepenuhnya mampu mengikuti digital.
Terkait kasus mahasiswa UNS, gara-gara kritikannya soal RI 4.0, mungkin perlu disikapi dengan perspektif yang netral. Agaknya, memang laporan tulis tangan menjadi suatu hal yang seolah tampak ketinggalan zaman mengingat ini sudah memasuki era digitalisasi. Namun, kembali lagi, belum semua pihak siap menghadapinya.
Reporter : Novali Panji Nugroho, Wahyu Aji Pangestu
Penulis : Novali Panji Nugroho, Annisavira Pratiwi
Editor : Akhdan Muhammad Alfawwaz