Snowdrop satu-satunya bunga yang mampu bertahan dari cekikan rasa dingin dimusim dingin. Bunga snowdrop seringkali diartikan sebagai bentuk pengharapan, ketulusan serta rasa welas asih.
Bunga yang terlihat begitu rapuh namun juga berusaha untuk tetap tegar bertahan hidup dari cengkraman hawa dingin yang mencekik. Bunga yang sangat identik dengan kehidupanku yang kosong, namun masih tetap ada sedikit celah pengharapan akan akhir yang baik.
Dengan bunga snowdrop di tanganku ini, aku masih tetap berharap sebagai seorang yang telah putus asa, setidaknya biarkan aku meraih kembali hal yang dapat kusyukuri atas hidup ini.
Sinar mentari menembus celah tirai kamarku, seakan menggelitik indra penglihatanku agar segera terbuka. Alarm mulai ikut mengganggu tidurku yang tentu saja membuatku mau tak mau harus bangkit dari pembaringanku.
Aku menengok kalender yang tepat berada di samping tempat tidurku, tanda merah melingkar menandai hari ini.
“Ah, hari ini telah tiba,” pikirku.
Aku segera bersiap untuk hari yang besar, ini adalah hari yang selalu terasa spesial bagiku. Memakai setelan kasual dan menata rambutku serapi mungkin. Ini adalah hari yang besar, maka aku harus tampil spesial bukan?
Segera menyantap sarapan ala kadarnya, lalu menjalankan ritualku setiap pagi; menatap foto ‘itu’ dan mengecupnya.
“Selamat pagi sayang,” ucapku.
Aku tau, mungkin aku akan terlihat gila karena berbicara dengan sebuah potret. Tapi, kurasa hal-hal kecil seperti ini yang tetap mempertahankan kewarasanku. Hal-hal sederhana yang membuatku berpikir bahwa aku tidaklah sendirian.
Tidak ingin terlarut dengan suasana yang entah sejak kapan berubah menjadi kelam, aku segera menyambar kunci mobilku dan memilih untuk segera meninggalkan rumah.
Kegiatan pertama yang harus kulakukan hari ini adalah membeli sebuket bunga snowdrop yang beberapa tahun ini menjadi bunga favoritku.
Bunga snowdrop yang memiliki makna pengharapan, murni serta ketulusan seakan membawa harapan baru bagiku setiap hari ini datang.
Aku menghentikan laju mobilku di pinggir toko bunga, terdiam sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalamnya.
“Pagi pak Jaka,” sapaku ketika indra mataku melihat sosok pria paruh baya yang sibuk menyusun bunga dengan apik.
“Wah, pagi neng Ara. Satu buket snowdrop kan?” tebak Pak Jaka.
Seakan sudah hafal betul, Pak Jaka segera bergegas melayani diriku dan meninggalkan pekerjaan yang sedari tadi menyita perhatiannya.
“Iya pak, sudah hafal betul bapak ini,” Selorohku sembari tanpa mengalihkan pandanganku dari pria itu.
Pak Jaka terkekeh pelan menanggapi ucapanku, dengan gestur khas miliknya ia menjawab,
“Tentu saja neng, sudah tiga tahun neng Ara rutin membeli buket snowdrop, setiap tanggal 26 Januari,” tatapannya lembut, guratan senyum jelas tercetak di wajahnya.
“Dia pasti senang ya neng,” ucap Pak Jaka.
Satu kalimat yang terlontar itu membawa hantaman keras di sudut relung hatiku. Aku membalas ucapannya dengan senyuman yang aku sendiri tidak yakin apakah senyumku ini terlihat ‘baik-baik saja’.
Tak lama setelah itu, Pak Jaka segera menyerahkan sebuket bunga yang kupesan. Aku segera menyerahkan beberapa lembar uang dan berpamitan.
Aku memutuskan untuk berjalan di sekitar jalanan kota Semarang yang ramai, sembari mencari toko kue terdekat. Langkah kakiku menyusuri jalanan dengan tenang sambil menatap langit bulan Januari, yang entah mengapa terasa suram bagiku.
Kutemukan sebuah toko kue kecil yang berjarak kurang dari 10 meter di depanku, aku segera masuk ke toko kecil itu dan mulai memilih-milih kue yang tepat.
“Hmmm, dia suka kue yang mana ya?” Gumamku bingung menentukan kue coklat dan kue red velvet di depanku.
“Selamat pagi nona, sedang mencari kue untuk apa? Mungkin saya bisa membantu,” seorang wanita yang kutebak berusia sekitar 40 tahunan menghampiriku dengan ramah.
“Ah, tolong carikan kue untuk anak berusia 9 tahun.”
Wanita itu menyunggingkan seutas senyum, “Ah untuk adiknya ya?,” celetuknya yang lantas membuatku terkekeh pelan.
“Ah bukan, untuk putri saya.”
Aku tidak mengerti, apakah wajahku yang tak berubah atau memang karena faktor tubuhku yang relatif pendek membuatku nampak masih seperti remaja diusiaku yang hampir menyentuh kepala tiga, tahun ini.
“Wah, anda terlihat masih sangat muda, maafkan saya,” wanita itu dengan canggung tertawa pelan sembari tetap menyarankan beberapa kue.
Tatapanku terhenti pada kue coklat dengan hiasan karakter Tinkerbell di atasnya, aku menyunggingkan senyum tipis dan segera memutuskan mengambil kue itu.
“Semoga kamu senang ya,” harapnya.
Tak ingin lebih lama membuang waktu, aku segera kembali ke mobilku yang terparkir di depan toko bunga pak Jaka. Aku tidak ingin terlambat lagi tahun ini.
Tak butuh waktu lama hingga aku sampai di destinasi terakhirku hari ini, dengan langkah ringan dan senyum mengembang, aku melangkah masuk ke dalam rumah sakit yang tak lagi nampak asing bagiku selama beberapa tahun belakangan ini.
“Wah, pagi bu Ara,” Sapa beberapa suster yang berpapasan denganku, menyapaku dengan ramah.
Karena beberapa tahun belakangan selalu kemari, nampaknya tak heran lagi jika beberapa staf rumah sakit familier denganku.
Langkahku terhenti sejenak di depan pintu kamar. Aku menghela napas sebelum membuka kenop pintu itu.
Ruangan serba putih yang remang dengan tirai yang menutup rapat menyambut indra penglihatanku.
“Selamat pagi sayangku,” tak ada respons sama sekali. Hanya angin yang berdesis menjawab sapaan kosongku.
Aku membuka tirai ruangan sembari kembali berceloteh.
“Sepertinya hari ini suster terlambat berkunjung keruanganmu ya nak, untung saja hari ini mama tidak terlambat,” ucapku sembari kulirik bunga snowdrop yang telah layu di samping tempat tidurnya.
Dengan seutas senyum lirih, aku gapai bunga layu itu dan ku ganti dengan bunga yang baru saja ku beli.
“Harapan baru untuk tahun yang baru, bukan begitu?” Aku menatap ke wajahnya yang damai. Seorang gadis kecil yang masih asyik tenggelam di mimpinya.
Aku menarik bangku yang terletak di sebelah tempat pembaringannya, memperhatikan wajah yang begitu kurindukan.
“Kamu enggak kangen Mama nak?” Aku mulai membuka suara lagi, kini dengan nada tercekat sambil ku belai lembut rambutnya yang mulai memanjang.
“Hari ini kamu ulang tahun, yuk bangun sebentar,” masih tak menyerah, aku kembali melontarkan kalimat-kalimat kosong yang tak berarti.
Ini adalah tahun ketiga, sejak putri cantikku memilih untuk tenggelam di mimpinya. Kecelakaan pada Desember, tiga tahun lalu telah berhasil merenggut seluruh harapanku dengan sekejap.
“Kamu di dalam mimpi lagi main sama Papa ya? Kalo iya…….”
Aku tak mampu melanjutkan ucapanku, dengan kurang ajarnya air mataku luruh. Menghancurkan sisa-sisa pertahananku yang berusaha ku bangun sedemikian kuatnya.
Kepingan hatiku yang terakhir kembali terkoyak, napasku sesak akan isakan yang berusaha ku redam. Ini teramat menyakitkan.
“Sampaikan ke Papa, Mama rindu sekali dengan Papa.”
Isakanku kembali terdengar, seakan menggema di seluruh ruangan. Aku meraih tangan mungilnya yang pucat, menempelkan tangan dingin itu ke pipiku sembari menatap lekat dirinya yang masih berjuang untuk hidupnya.
“Nak, asyik banget ya mimpinya? Udahan dong, mama kangen kamu.”
Aku mengecup tangan kurus itu berulang kali, berharap akan ada sedikit gerakan di tangan lemah itu. Aku lelah menangis, aku lelah hancur seperti ini. Terkadang aku masih selalu menyalahkan takdir yang begitu kejam pada diriku.
“Mama bawain kamu kue coklat, ada karakter favorit kamu.”
Aku menyusun lilin di kue mungil itu dengan tangan yang gemetar. Aku tidak memiliki tenaga, nampaknya telah tenggelam ke dalam jurang kesedihan yang tak mampu kugapai. Aku terjebak.
Aku menutup mataku, membiarkan air mataku semakin luruh, terdiam sejenak dan berdoa.
“Aku ikhlas dengan takdir yang telah Engkau berikan pada pasanganku, tapi jika aku boleh sedikit egois. Biarkan putriku kembali membuka matanya. Demi Allah, aku rindu suaranya memanggil namaku.”
Pandanganku kabur oleh air mata yang tertahan. Kembali ku kecup kening peri kecilku, sembari berkata,
“Jangan biarkan mama menjadi Tinkerbell nak, jangan pergi menjauh dari mama. Mama mohon.”
Masih segar diingatan, kala dokter mulai putus asa dan menawarkan opsi melepas penopang hidupnya. Aku tidak bisa membiarkan itu, aku yakin putriku masih ingin berjuang, dia hanya…
Dia hanya terlalu asyik dengan dunia mimpinya.
Selama tiga tahun aku selalu memiliki harapan baru, seiring dengan bunga snowdrop yang senantiasa menemani. Selama tiga tahun juga aku selalu menantikan suara rengekanmu yang meminta permen.
Seiring dengan harapan yang tak henti-hentinya aku tanamkan ke dalam hatiku yang telah hancur, seiring dengan bunga snowdrop yang selalu memberikan makna pengharapan baru untukku. Aku akan tetap di sini, menggenggam tanganmu dan berbisik mengenai betapa aku mencintaimu.
Bahkan jika hari ini berakhir begitu saja dengan dirimu yang masih enggan untuk tersadar, aku akan tetap di sini, duduk tepat di sampingmu sembari memanjatkan doa dengan penuh sisa-sisa harapan yang aku miliki.
Aku mengusap air mataku, masih dengan tangan yang menggenggam tangannya, aku berbisik lirih.
“Kumohon jangan menghilang.”
Penulis : Aprilia Aryani Dewi K
Mahasiswa aktif Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor : Rifqah