Sebagai mahasiswa prodi HES, penulis beberapa waktu lalu sempat merenungi nasib pemerintahan kampus UMS yang sampai hari ini belum jelas masa depannya seperti apa.
Masyarakat kampus seperti saya ini, ingin sekali rasanya merasakan kehadiran pemerintahan di ranah kemahasiswaan. Adapun tingkat pemerintahan di dalam kampus yaitu ada Badan Eksekutif Mahasiswa UMS yang biasa disingkat (BEM-U), kemudian di bawahnya ada BEM Fakultas (BEM-F) yang tersebar di setiap fakultas.
Sempat Merasakan Kehadiran BEM-U
Pada tahun 2018 ketika penulis baru masuk ke UMS, ternyata ketika itu pemerintahan kampus tingkat Universitas sedang mengalami kevakuman. Karena dua calon saat itu saling tidak mengakui yang menang siapa sehingga kemudian Bagian Kemahasiswaan UMS (BAGMAWA UMS) mengambil alih keputusan, pada akhirnya diambil sebuah keputusan bahwa BEM-U pada periode 2018-2019 dibekukan.
Kemudian pada tahun 2019 kembali hidup BEM-U tersebut dengan keluarnya surat keputusan dari pihak Rektorat agar dibentuk lagi kepengurusan baru BEM-U masa jabatan 2019-2020.
Danang Maulana sebagai Presiden BEM-U periode 2019-2020 yang dipilih langsung oleh Wakil Rektor III UMS sedikit memberi kontribusi kepada mahasiswa dengan adanya agenda-agenda strategis yang dilakukan oleh BEM-U. Salah satu agenda yang sempat saya nikmati dari periode Danang yaitu Bedah Buku yang diselenggarakan di Auditorium Mohamad Djazman, dengan pembicara luar biasa.
Sekalipun pemerintahan saat itu memiliki banyak agenda strategis untuk menunjang keintelektualan dan kreatifitas mahasiswa. Tentu masih ada beberapa kekurangan yang perlu ditanggulangi pada periode selanjutnya, diantaranya yang paling substansial dan harus menjadi fokus kajian yaitu kebanyakan mahasiswa masih belum merasakan kehadiran BEM-U dalam pemerintahannya. Artinya bahwa rakyatnya masih enggan dan cenderung tidak membutuhkan lagi kehadiran BEM-U sebagai satu pemerintah kampus di ranah mahasiswa.
Padahal kampus itu adalah miniatur negara yang di dalamnya ada pemerintahan dalam hal ini BEM dan ada legislatif dalam hal ini Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan juga ada masyarakatnya. Namun, yang menjadi kekhawatiran serta tidak elok ketika kemudian masyarakatnya sendiri tidak mengakui pemerintahan itu sendiri, sudah tidak ada daya tarik lagi bagi mereka sebagai rakyat melihat BEM-U sebagai payung besar mereka dalam satu pemerintahan.
Solusi Atas Masalah BEM
Untuk menanggapi masalah yang terjadi seperti di atas, tentu dengan melakukan pengkajian internal dalam tubuh BEM-U itu sendiri. Presiden harus memperjelas dan mengkongkritkan gagasan besar apa yang kemudian ingin dijalankan dalam satu periode masa jabatan.
Kedua, presiden beserta menteri kabinetnya mau tidak mau harus tenggelam bersama rakyatnya. Dalam artian, bahwa apa yang diinginkan oleh mahasiswa maka BEM-U harus mengawal aspirasi mereka agar tercipta hubungan yang baik antara pemerintah dengan rakyatnya.
Jikalau kedua alternatif-strategis tersebut di atas diabaikan, saya rasa nasib BEM-U tidak akan panjang dalam percaturan dialektika kampus. Maka mahasiswa makin tidak percaya dengan kelembagaan terbesar di tataran mahasiswa tersebut.
BEM-U hanya akan menjadi sebuah lembaga formalitas yang kerjanya hanya buat kegiatan tahunan belaka, yah formalisme. Saya khawatir jatuhnya akan menjadi pragmatisme bagi mereka yang menduduki jabatan di pemerintahan tersebut.
Mahasiswa seperti saya sangat mengharapkan betul agar BEM-U maupun BEM-F memaksimalkan posisi pemerintahan tersebut dengan sebaik mungkin. Maksimalkan ide gagasan dan tenaga untuk membawa UMS yang lebih terarah dan jelas manfaatnya bagi dunia kemahasiswaan.
Mahasiswa menanti kehadiran BEM-U yang pro terhadap mereka. Ingat, bahwa kampus UMS memiliki tagline “Wacana Keilmuan dan Keislaman” yang terpampang jelas di gapura kampus satu UMS yang selalu dibaca oleh mahasiswa setiap kali melewati jalan tersebut.
Saya rasa ketika BEM-U memiliki wacana progresif dalam setiap periodenya maka BEM-U sebagai lembaga besar akan lebih jelas arahnya. Kalau presidennya sudah berpikir maju, maka saya rasa keoptimisan dalam melaksanakan tugas yang diemban juga akan baik ke depannya.
Tetapi perlu digaris bawahi pula, struktural kabinet menteri juga harus memiliki kapasitas di bidangnya, tidak serta merta menduduki sebuah jabatan karena mungkin berasal dari satu golongan, misalnya dari fakultas yang sama, berasal dari UKM yang sama atau dari OKP dan oraganisasi, semisalnya yang saya rasa ini adalah perbudakan organisasi yang perlu diputus mata rantainya.
BEM-U harus diisi oleh orang-orang yang fasih di bidangnya, harus dituntut untuk bekerja secara professional, bukan kerja atas dasar kepentingan pragmatis belaka, mengambil keuntungan dari kegiatan yang ada.
Tentu ini sangat memalukan dan jauh dari ajaran-ajaran Kemuhammadiyahan yang menuntut untuk bekerja secara professional, jujur dan adil. Jangan sampai bekerja untuk kepentingan golongan dan dirinya sendiri. Penulis rasa inilah yang perlu dicatat para elit BEM-U maupun BEM-F.
Penulis: Rahmat Rusma Pratama
Mahasiswa Aktif Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
Editor: Rio Novianto