Semakin dalam mereka mengenyam pendidikan, semakin kejam kami mengenal kesepian. Petinggi negeri ini nampak unik, mereka yang terlihat loyal, mereka dari rakyat oleh rakyat, dan untuk rakyat, katanya! Ya, itu yang saya tonton di radio gelap sebuah ruangan situs pembodohan menggila sosial. Penggalan bait puisi tersebut adalah sebuah karya dari Alief Veraldhi. Isi kritik puisi itu sangat jelas apa yang ingin disuarakan, tentang mahasiwa, perguruan tinggi, dan pejabat negeri ini. Perguruan tinggi adalah tempat di mana manusia-manusia menasbihkan dirinya sebagai orang yang istimewa, orang yang bisa merasakan bersua dengan seorang profesor, guru besar, dan berbagai manusia dengan keahlian luar biasa lainnya.
Di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan dan tempat tertinggal, mahasiwa sangat dibangga-banggakan karena menjadi satu dari banyak orang di sana yang bisa melanjutkan pendidikan tinggi. Masyarakat banyak menaruh harapan kepada mereka untuk membawa ilmu agar bisa dibagi dan diterapkan di daerahnya. Sekarang orang yang biasa disebut mahasiswa juga merasa mereka bukan siapa-siapa. Salah satu hal yang perlu dimiliki seorang pelajar tingkat lanjut adalah daya berpikir luas, karena dengan pikirannya tersebut dia bisa memberikan banyak pengaruh ke lingkungan, kota, bahkan negaranya. Namun sekarang, masyarakat disuguhkan dengan banyaknya mahasiswa yang depresi karena skripsi, sarjana bingung mau kerja di mana, dan mahasiswa yang meninggalkan bidang kuliahnya dalam mencari kerja.
Tridharma perguruan tinggi menunjukkan bahwa peran perguruan tinggi dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian ke masyarakat sangat besar diharapkan bisa diterapkan dalam masyarakat luas. Memang, program itu khususnya untuk dijalankan oleh sivitas akademika kampus, tetapi sebelum turun jauh ke masyarakat, kita tengok dahulu bagaimana keadaaan mahasiswa dalam penerapan pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Apakah mahasiswa sudah menikmati ilmu yang dimiliki dosen tersebut atau belum. Secara disadari atau tidak, suatu saat nanti yang lebih banyak turun berinterakasi dengan masyarakat adalah yang sekarang menjadi mahasiswa.
Sebagai seorang terpelajar, mahasiswa diharapkan mampu memberikan dampak positif kepada khalayak umum mulai dari teman kelas hingga masyarakat sekitar. Mahasiswa memiliki tanggung jawab untuk ikut menebarkan ilmunya sebisa yang dia jangkau. Tetapi sebelum itu, mahasiswa harus memenuhi salah satu syarat penting, yaitu memiliki pemikiran kritis, karena dengan memiliki pemikiran tersebut mahasiswa bisa mengetahui apa yang dibutuhkan, apa yang menjadi permasalahan, dan apa yang akan diperbuat untuk mengubah sebuah lingkungan yang kurang baik menjadi cukup bahkan bisa menjadi maju.
Kabar buruk memang sering melintas di negara Indonesia, kabar yang tidak mengenakkan juga tidak luput dari pendidikan Indonesia. Pada tahun 2019, survei kualitas pendidikan Indonesia yang dikeluarkan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan ranking kualitas pendidikan Indonesia di nomor 72 dari 77 negara yang disurvei atau enam terbawah. Hal tersebut membuat miris orang yang melihatnya, namun ada juga yang merasa angka itu tepat diberikan kepada bangsa Indonesia, karena bobroknya sistem, kualitas pengajar, dan sumber daya yang ada. Kondisi pandemi, semakin memperparah keadaan pendidikan di negeri ini. Satu tahun lebih siswa-siswi dan mahasiswa belajar tanpa tatap muka di kelas, mereka hanya
memandangi layar ponsel atau laptop. Bosan, jenuh, malas pasti banyak dirasakan oleh mereka yang mengikuti pembelajaran secara daring, bahkan mereka masih dibebani tugas yang sehari bisa tiga hingga empat tugas dari dosen berbeda. Mahasiswa dengan kondisi seperti itu semakin sulit untuk mengembangkan daya pikir kritis mereka, pemikiran-pemikiran kritis yang saat-saat ini sedang banyak diperlukan, malah semakin sulit untuk dikembangkannya.
Perguruan tinggi yang memiliki peran dalam perputaran wawasan ilmu kepada mahasiswa harus mau mengambil kebijakan yang tegas. Perguruan tinggi yang didiami oleh para ahli, profesor, doktor harus memiliki kebijakan yang bisa membuat mahasiswa kehilangan bosan dan jenuhnya dalam belajar. Kampus berani membuat kebijakan pembelajaran dua konsep, daring dan luring khusus untuk mahasiswa yang berdomisili dekat kampus. Jika keadaan masih seperti ini hingga tahun-tahun berikutnya, bukan tidak mungkin mahasiwa tidak menyentuh buku sama sekali, padahal buku adalah salah satu alat untuk memupuk agar otak berkembang dengan baik.
Mahasiswa juga harus memiliki kreativitas yang besar untuk melalui kondisi seperti ini, mahasiswa tidak boleh hanya berpangku tangan kepada peraturan yang dibuat kampus, mahasiwa harus menyadari bahwa kampus adalah sebuah komponen kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika kementerian tidak memberikan kebijakan sesuai keinginan. Dengan perangkat-perangkat yang semakin maju dan mudah diakses, dan dengan banyaknya waktu di rumah. Seorang pelajar tingkat lanjut harus bisa memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk lebih intim bersama buku dan ilmu-ilmu yang bisa dipelajari.
Masyarakat yang tidak seberuntung mahasiswa, sulit untuk memiliki peluang membentuk kebijakan-kebijakan strategis. Mahasiswa-mahasiswa itulah yang akan meneruskan dewan-dewan yang sekarang. Maka dari itu, mahasiswa patut untuk mengasah daya pikir kritis mereka untuk masa depannya. Mereka baiknya memiliki pemikiran-pemikiran yang bisa digunakan untuk melihat keadaan sekitarnya, kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan orang lain bisa dikritisi dan suatu saat mereka coba untuk merubah dengan tangan, lisan, atau setidaknya dengan tulisan.
Penulis           : Ahmad Hafiz Imaddudien
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Â
Editor            : Rio Novianto
Baca Juga :Â Mendagri BEM UMS Buka Suara Terkait Beberapa Isu yang Meresahkan Belakangan Ini