UMS, pabelan-online.com – Pada situasi pandemi Covid-19 berpotensi memperburuk kondisi kerja dan kerentanan perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Melalui Diskusi Publik, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Terbuka Pekjar Hongkong bahas tuntas tentang perlindungan Perempuan Pekerja Migran (PPM) secara daring.
Perempuan pekerja migran merupakan kelompok yang rentan mendapatkan kekerasan baik fisik, verbal ataupun mental. Implementasi pelindungan hukum terhadap kelompok perempuan pekerja migran sampai saat ini pun masih dianggap belum maksimal.
Salah satu konsep yang muncul dalam studi feminisme terkait migrasi dan pekerja migran adalah konsep feminisasi migrasi. Selain terancam kehilangan pekerjaan, mereka (PPM-red) juga berisiko mengalami kekerasan berbasis gender.
Terkait persoalan yang dihadapi perempuan pekerja migran di masa pendemi, Eni Lestari selaku Ketua International Migrant Alliance menyampaikan bahwa keadaan PMI yang bekerja di Hongkong cukup kritis. Namun, di lain sisi pekerja migran juga memiliki kelebihan yakni diperbolehkannya dalam berorganisasi.
Ekspoitasi dan kekerasan oleh majikan, maupun penipuan oleh agen pemberi kerja, masih merupakan persoalan-persoalan klasik yang dihadapi oleh perempuan pekerja migran. Kejahatan lintas negara dan kejahatan internasional terorganisir juga mengancam perempuan pekerja migran.
“Secara umum, masalah PMI terdiri atas masalah penting yang telah ada sebelum pandemi dan masalah urgent ketika pandemi,” ujarnya, Minggu (28/3/2021).
Ia menjelaskan, bahwa masalah urgent di masa pandemi yakni berkaitan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tidak adanya fleksibilitas waktu dalam pergantian majikan, sehingga terancam dideportasi dengan hanya diberi waktu selama dua minggu.
Selain itu, akibat pandemi Covid-19, banyak dari PMI yang mengalami stress fisik, psikologis, maupun stress keuangan. Dikarenakan harus membeli alat pelindung diri berupa masker, handsanitizer, dan makanan sehat untuk menjaga tubuh agar tetap sehat di masa pandemi.
“Pihak konsulat Indonesia harus segera ambil sikap terkait masalah ini, jika perlu harus diadakan dialog-dialog untuk membahas masalah ini,” tambah Eni, Minggu (28/3/2021).
Untuk saat ini, Komnas Perempuan sudah bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait dan ormas-ormas setempat untuk menangani permasalahan ini. Periode 2020/2021 ini, Komnas Perempuan memiliki unit tim mandiri perempuan pekerja yang turut membahas masalah pekerja migran.
“Kami banyak mendapat laporan dari para PMI terkait masalah yang mereka hadapi selama pandemi,” ungkapnya, Minggu (28/3/2021).
Membahas tentang langkah dan upaya pemerintah dalam perlindungan perempuan pekerja migran di masa pandemi. Essie Marsianti, selaku Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler KJRI Hongkong mengungkapkan, bahwa untuk dapat melindungi diri khususnya PMI adalah dengan mengetahui hak-hak dan kewajibannya sebagai PMI.
“Pihak tim KJRI telah berusaha membagikan masker, handsanitizer, dan buku pintar untuk panduan PMI ke kota-kota di Hongkong. Hingga saat ini kami masih membantu pemulangan PMI di Macau,mohon dukungannya agar para PMI dapat pulang ke tanah air dengan selamat,” tuturnya, Minggu (28/3/2021).
Salah satu peserta diskusi, Ariesta Milanti mahasiswa The Chinese University of Hong Kong menyampaikan tanggapannya terkait diskusi tersebut. Menurutnya, diskusi tersebut terorganisasi dengan baik dan pamateri yang dihadirkan sangat berkompeten.
Selain itu, Ariesta merasa isu tersebut cukup relevan dengan kondisi saat ini untuk refleksi permasalahan yang berkembang selama pandemi. “Saya berharap ada webinar-webinar yang lain dengan topik up to date dan pembicara yang mumpuni juga,” tambahnya, Minggu (28/3/2021).
Reporter : Aliffia Khoirunnisa
Editor : Mulyani Adi Astutiatmaja