Kelompok elemen minoritas dalam masyarakat bangsa yang masih muda dan belajar, tetapi mereka memainkan peran etika profetik. Peran mereka bagaikan Nabi dan bukan kiai atau pendeta yang terjebak rutinitas. Hingga Newfield menyebutkan kelompok elit itu adalah mahasiswa sebagai a prophetic minorty. Mereka adalah “Nabi” secara kolektif yang mencela kebobrokan dan membela kebenaran.
Sorotan tajam sering ditujukan kepada mahasiswa disaat realitas sedang tidak baik-baik saja. Persoalan dampak pandemi ternyata belum menemukan titik temu, sakit di setiap sektor itu belum pulih. Mahasiswa yang digadang-gadang sebagai agent of change untuk menelurkan ide dan gagasan guna mengentaskan persoalan yang ada, akan tetapi masih terbelenggu dan terjerat dengan biaya SPP yang sampai hari ini masih belum turun dengan semestinya.
Tidak sedikit yang kemudian susah bernapas karena urat lehernya tercekik dengan masih melambungnya biaya tersebut. Tak pelak, beberapa mahasiswa memilih cuti sampai berakhirnya musibah dan keadaan normal seperti umumnya.
Baru-baru ini saya tersadar bahwa kita sedang tidak baik-baik saja, mengapa kawan-kawan mahasiswa tidak berjuang bersama-sama dengan aksi sesuai tupoksinya masing-masing dalam satu suara. Alih-alih untuk bersatu malah ironi yang terjadi, cemoohan buzzer di media sosial yang tidak percaya fungsi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan juga Lembaga Pers Mahasiswa (LPM).
Serta paling parah adalah sikap apatis mahasiswa yang ditambah dengan sikap hedonisme, namun di sisi lain ada kawan kita yang terancam putus kuliah. Fenomena tersebut bisa kita lihat dan renungkan bersama. Bahwa berjuang secara kolektif ibarat gelombang air yang besar, gelombang itu bisa meluluh lantakkan bangunan apapun.
Perlu dimaknai kembali dan direnungkan bersama bahwa gerakan mahasiswa lahir dari keresahan organik yang kemudian dikaji dan didiskusikan secara akademis. Penulis yakin kawan-kawan mahasiswa mengetahui itu dan ruang-ruang menumpahkan keresahan organik bisa dilakukan kapan saja dan di tempat manapun, dalam artian bisa dilakukan secara dalam jaringan (daring). Keberanian pun perlu dipupuk dan disiram dalam gerakan mahasiswa, supaya berkembang dan tak ada pikiran takut untuk memperjuangkan tujuan bersama yang ingin diraih dari gerakan mahasiswa.
Jika pada ranah internal kampus saja gerakan mahasiswa begitu lembek dan tak punya keberanian, bagaimana gerakan mahasiswa dalam memperjuangkan rakyat yang tertindas dan menohok pemerintah yang tiran? Mungkin benar kata Yusuf Maulana dalam bukunya “Aktivis Bingung Eksis” bahwa gerakan mahasiswa terjerat dalam korporatisme kuasa, entah korporasi pemerintah atau korporasi kampus. Sebetulnya bukan fenomena baru sebuah relasi antara pemerintah dan aktivisme mahasiswa, akan tetapi akibat korporatisme menjadikan upaya aktivisme mahasiswa sebagai gerakan oposisi terkendala.
Korporatisme memecah aktivis mahasiswa ke dalam konfigurasi pragmatis. Fragmentasi antar aktivis atau antar gerakan mahasiswa kini tidak lagi disebabkan perbedaan ideologi, namun lebih dominan disebabkan perebutan kepentingan berelasi dengan kekuasaan. Sehingga tak heran jika di media sosial ada buzzer yang mencemooh secara masif akan fungsi BEM dan DPM yang sampai hari ini belum mengakomodir gerakan mahasiswa secara kolektif.
Ternyata korporatisme inklusif ditawarkan kepada mahasiswa melalui program-program peningkatan mutu akademis yang bertujuan untuk menyibukkan mahasiswa pada wilayah barunya ini, sehingga tidak mengganggu agenda liberalisasi pendidikan. Lebih jauh lagi, pihak kampus memiliki program agar mahasiswa lebih antusias menyambungkan dirinya dengan segi-segi pragmatis globalisasi.
Akibat hadirnya korporatisme pihak kampus, satu sisi memang memarakkan kelompok-kelompok diskusi keilmuan. Namun di sisi lain, sebagian kelompok diskusi ini lebih merefleksikan perpanjangan cara berpikir pihak kampus mengenai keakademisian yang dijadikam orientasi utama meninggalkan peran sosial mahasiswa. Tegasnya, pragmatisme dan individualisme menjadi hasil korporatisme kampus, mengabaikan peran mahasiswa sebagai pembela aspirasi masyarakat.
Tidak mengherankan bila reputasi mahasiswa yang altruistis, kini berganti wajah narsis. Seperti terlihat dari menggejalanya perilaku hedonisme-konsumerisme mahasiswa dengan ekonomi menengah ke atas sebagai gaya hidup. Maka dari itu, mari kita kembali kepada khittah perjuangan gerakan mahasiswa secara kolektif dalam problematika dan keresahan organik di ranah manapun, baik di dalam dan di luar kampus.
Penulis : Izzul Khaq
Mahasiswa Fakultas Agama Islam
Editor : Ahmad Hafiz Imaddudien
Baca Juga: Apa Kabar Wakil Mahasiswa?