Malam itu bulan tidak ragu menampakkan kecantikannya, bulat utuh menggantung bercahaya di angkasa, orang biasa menyebutnya bulan purnama. Udara riuh yang mulai bertiup menjadikan hawa dingin menusuk ke tulang. Namun dinginnya hembusan angin tidak berhasil menghalau Mabela keluar dari kehangatan rumahnya.
Berbeda dengan purnama yang cerah menggelora, wajah gadis yang akan berusia 17 tahun itu tampak muram. Pada sebuah bangku tak jauh dari rumahnya gadis yang baru lulus sekolah menengah atas itu merenung. Ia teringat kata-kata terakhir bapaknya pada malam yang serupa, malam dimana bulan juga turut bersinar menemani mereka.
“Bela harus punya cita-cita yang besar. Cita-cita yang juga mengayomi warga kita agar kita warga Papua tidak mudah ditindas lagi. Nah untuk bisa gapai cita-cita kau itu nak, kau harus sekolah tinggi ya. Biar Bela dapat jadi orang yang berilmu, nanti biar tidak mudah ditipu seperti paman Andreas.” Pesan bapak Mabela sembari mengelus lembut rambut keritingnya.
Saat itu Mabela hanya bisa mengangguk dan merengkuh lengan bapak yang kekar. Mabela tidak sepenuhnya mengerti maksud ucapan bapak, namun dia ingat pesan ibu guru disekolahnya yang selalu berpesan untuk patuh terhadap ucapan orangtua.
Pesan itu menjadi sangat berkesan karena beberapa hari berikutnya kemalangan datang pada bapak yang protes pada pihak perusahaan. Hal ini disebabkan pihak perusahaaan membabat habis kebun pisangnya diperbatasan area perusahaan sawit, bapak terlibat adu mulut dan dipukul oleh aparat keamanan.
Bapak tiba dirumah dalam kondisi lebam dan tak lama meninggal akibat serangan jantung beberapa hari kemudian.Bulir bening menetes dari kedua belah mata Mabela.Telah hampir sebulan sejak kepergian bapak, Ia mulai sering merenung sendirian pada malam hari.Ia masih amat berduka dan tak bisa menerima kepergian bapak.
Tiba-tiba Ia menjadi sangat kesal pada paman Andreas. Dialah yang mempengaruhi para kepala suku agar merelakan hutan adat mereka untuk digarap perusahaan asing dari luar negeri. Paman Andreas mengaku diimingi oleh berbagai fasilitas listrik, akses air sumur yang bersih, dan akses jalan raya yang memadai.
Tentu penawaran itu membuatnya tergiur, apalagi itu belum termasuk uang untuk lahan hutan adat sebesar satu juta perhektar. Para tetua suku tak segan melepas hutan adat, semua itu dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat juga. Namun janji tinggalah janji, ternyata semua iming-iming manis itu tak dicantumkan dalam surat perjanjian pembelian itu.
Akibatnya uang yang diterimapun hanya seratus ribu rupiah perhektar. Ketika paman Andreas mengetahui hal itu dan berniat melapor, ternyata pihak perusahaan sudah berkoordinasi dengan keamanan setempat. Maka paman Andreas itupun mati kutulah, ia menyesal telah berpura-pura dapat membaca surat perjanjian itu dan segera teken nama dengan penuh percaya diri.
Untuk mengobati rasa kecewa warga sekitar, uang yang tak seberapa itu kemudian disumbangkan untuk proyek penggalian sumur air bersih. Itu pun pihak perusahaan masih sering bentrok dengan warga sekitar akibat aktivitas pembakaran lahan yang membawa asap polusi kekampung pemungkiman warga sekitar. Begitu juga masalah bentrok yang dialami bapak Mabela. Andai saja perusahaan asing itu tidak pernah menginjak tanah airku, mengapa bukan putra bangsa saja yang mengolah kekayaan alam bangsa kami? batinnya pedih.
“Masih diluar nona,?’’Mabela menoleh ketika merasakan sentuhan lembut pada bahunya. Rupanya mama yang tengah berada disebelahnya, menegurnya dengan suara lembut.
“Belum mengantuk mama.” Jawab Mabela sambil tersenyum. Dahi mama tampak mengernyit.
“Ini sudah larut malam Bela, lagipula kau harus pergi ikut keluarga paman Frans ke Jakarta dinihari besok.Sudah kau kemaskah baju dan kebutuhanmu?”Tanya mama menatapnya heran.
“Sudah mama, tenang saja saya sudah siap merantau besok pagi,”kata Mabela menenangkan. Namun tak dapat disembunyikan raut wajahnya yang mulai muram.
“Baguslah, jangan kau sedih-sedih begitu Bela.Nona manis mama, sini mama peluk dulu,”kata mama dengan kedua tangan mengembang. Air mata Mabela mulai menggenang disudut matanya, dilihatnya sosok mama yang mulai menua. Kinipun mama akan sendiri setelah aku merantau, batinnya.Mabela segera masuk kedekapan mama, tangisnya mulai terisak.
“Ada apa anak mama, mengapa menangis?” Tanya mama seraya membelai rambut gadis semata wayangnya.
“Nanti kalo saya pergi, mama siapa yang jaga? Bapak sudah tiada lagi.” kata Mabela disela isak tangisnya. Mabela teringat bahwa ia adalah anak satu-satunya milik mama.
“Tak perlu risaukan mama nak, mama ini orang dewasa yang tahu jaga diri. Di sini pun banyak kerabat kita yang saling menjaga. Hah..harusnya mama yang cemaskan kau. Anak gadis mama satu-satunya sudah beranjak dewasa, sudah akan merantau pula.” Hibur mama dengan senyum keibuan, tangannya menepuk-nepuk lengan gadis semata wayangnya dengan lembut.
“Bela dulu pernah janjikan akan selalu patuh dengan bapakkan? Ingatkan dulu, bapak ingin Bela jadi anak pandai, jadi orang berilmu agar dapat membangun daerah kita ini. Bela harus tabah ya nak, di jakarta nanti kau fokuslah kuliah saja. Nanti disanapun ada sepupumu, Maria dan Grace, ada paman Frans dan bibi. Tidak usah risaukan mama, mama tahu jaga diri dan lagi banyak kerabat kita disini yang akan jaga mama.” Kata mama lagi.
Mabela menatap mama dan berusaha tersenyum. Ya, Semua ini demi memenuhi pesan bapak, kata hatinya berusaha tegar. Angin kian berembus kencang, sudah hampir lewat tengah malam. Bulan pun perlahan mulai tertutupi kabut dan asap polusi pabrik pengolahan yang tak jauh dari area tempat tinggal Mabela.
Pemandangan yang tak elok lagi untuk dipandang, Mabela mulai merasakan hawa dingin. Mama melepas pelukannya dan menggapai Mabela masuk ke rumah.
“Ayo masuk nona, udaranya dingin sekali ini, kau harus cukup tidur malam ini,”tegur mama.
Sebelum mengikuti mama, Mabela menengadah dilihatnya bulan untuk terakhir kalinya. Bulan purnama masih memancarkan sinarnya, seakan menyemangati dan meyakinkan Mabela akan adanya hari esok yang lebih baik. Tunggulah bapak, nona kecilmu ini akan mengejar ilmu dan impianmu, batinnya dengan seulas senyum dibibir.
Penulis : Aliffia Khoirinnisa
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor : Wike Tri Wulandari
Baca Juga : Terpilihnya 3 Nominator dalam Pilmapres UMS 2021