UMS, pabelan-online.com – Melihat Banyaknya pers mahasiswa yang tertimpa kasus kekerasan, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) gelar Diskusi Advokasi yang bertajuk “Payung Hukum dan Hak-hak Pers Mahasiswa” secara daring pada 28 April 2021. Diskusi tersebut membahas tuntas tentang perlindungan Undang-Undang (UU) pers.
Diskusi yang juga disiarkan secara langsung di kanal Youtube PPMI tersebut, dihadiri berbagai Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di seluruh Indonesia. Adapun pembicara yang mengisi diskusi yakni Abdul Manan selaku Majelis Etik Nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Ika Ningtyas selaku Sekjen Aji Indonesia.
Bicara tentang perlindungan, pers memiliki kebebasan yang telah dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Akan tetapi, masih banyak jurnalis mahasiswa yang menjadi korban kekerasan karena minimnya perlindungan terhadap pers mahasiswa.
Meskipun tidak dijamin secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Pers mahasiswa memiliki perlindungan secara konstitusional, maupun perundang-undangan dengan pendeketan kebebasan akademik seperti UU Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012.
Abdul Manan selaku pembicara pertama menyampaikan, bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak warga negara. UU pers dapat menjadi payung bagi pers mahasiswa, karena sama-sama memiliki hak untuk menyampaikan informasi.
“Setiap orang diberi hak untuk menyampaikan informasi dan hak tersebut berhak dijamin oleh negara serbagai bentuk kebebasan berekspresi,” jelasnya, Rabu (28/4/2021).
Lebih lanjut, Abdul Manan mengungkapkan bahwa, pers mahasiswa dalam menjalankan tugas-tugasnya dapat mengalami kekerasan. Kekerasan atau ancaman pers dalam menjalankan tugas yaitu kekerasan fisik, kekerasan non fisik, serangan digital, dan gugatan hukum.
“Identifikasi fisik seperti kartu identitas yang baik dan rompi pers merupakan salah satu perlindungan yang paling sederhana, walaupun tidak sepenuhnya melindungi,” ujarnya, Rabu (28/4/2021).
Baca Juga: Tablig Akbar: Cara Mengekspresikan Diri di Era Pandemi
Dalam hal ini, jika kartu identitas yang tidak jelas, akan memiliki potensi kekerasan fisik maupun non fisik yang lebih besar. Dibandingkan dengan jurnalis yang memiliki kartu identitas yang jelas. Kekerasan tersebut dapat berupa diusir, dimaki-maki, dan lainnya.
“Serangan digital lebih tidak diskriminatif, walaupun kasus yang dihadapi masih tidak terlalu banyak,” tuturnya, Rabu (28/4/2021).
Selanjutnya, Ika Ningtyas selaku pembicara kedua menyampaikan bahwa pers mahasiswa memiliki hak kebabasan berkespresi yang menjadi pondasi yang harus dijamin oleh setiap negara. Pers mahasiswa harus mendapatkan perlindungan baik sebagai warga negara maupun sebagai kerja jurnalisme.
Terkait advokasi pers mahasiswa, Ika menjelaskan, bahwa peningkatan kapasitas tentang advokasi harus dipersiapkan oleh jurnalis mahasiswa ketika menghadapi tekanan dari berbagai pihak. “Ketika mengalami tekanan dari kampus, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) harus mampu mengadvokasi,” katanya, Rabu (28/4/2021).
Salah satu peserta dalam diskusi tersebut, Haniffudin Musa mengungkapkan bahwa ia mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan sangat membantu terhadap Lembaga Pers Mahasiswa. Ia berharap, PPMI Nasional selalu mengadakan diskusi-diskusi yang berkaitan dengan kondisi LPM.
Ia juga menyampaikan alasannya mengikuti diskusi tersebut, ia mengaku bahwa saat ini pers kampus sudah tidak seindah apa yang dibayangkan. Sehingga menbuat pers kampus ketakutan dalam mengungkapkan realitas
“Di kampus saya sendiri wartawan kampus jika mengungkap fakta kampus sering dipanggil dan dipaksa untuk menurunkan beritanya. LPM saya masih belum begitu bebas dalam meliput kegiatan kampus,” ujarnya, Jumat (30/4/2021).
Reporter : Vaneza Benedista
Editor : Mulyani Adi Astutiatmaja