Judul : Pasar
Pengarang : Kuntowijoyo
Penerbit : Diva Press dan Mata Angin
Cetakan : Cetakan Pertama, 2017
Halaman : i-iv + 378 Halaman
Beberapa bulan lalu, saya mengkhatamkan novel “Pasar” ini dan baru menyempatkan untuk membuat resensinya. Cerita yang dikemas dalam “Pasar” menceritakan tentang aktivitas kehidupan manusia di dalamnya. Terdapat perseteruan antara kelas priayi, wong cilik, dan kapitalis dalam eksistensinya di pasar.
Sebutlah tokoh utamanya, Pak Mantri Pasar, seorang priayi yang dengan kuat, memegang nilai yang njawani hingga ia sangat dihormati oleh warga pasar. Ia juga memiliki seorang karyawan yang bernama Paijo, yang selain membantu Pak Mantri, ia juga bekerja sebagai tukang karcis di pasar itu. Paijo digambarkan sebagai ‘wong cilik’ yang nasibnya selalu sial.
Cerita “Pasar” dibangun melalui problematika antara Pak Mantri dengan Kasan Ngali, seorang pedagang kapitalis di “Pasar” tersebut. Kasan Ngali ialah gambaran orang kaya yang menggunakan kekayaannya untuk hal-hal yang ia inginkan. Di titik inilah, alur cerita “Pasar” dimulai. Kasan Ngali seorang pedagang kelas kapitalis yang tidak lagi memegang nilai-nilai Jawa. Kasan Ngali suka menimbun barang untuk kemudian dijual dengan harga yang melambung saat musim paceklik.
Tak pelak, Pak Mantri Pasar akan memperjuangkan pasar yang ia kelola. Peraturan pasar sangat ia junjung tinggi demi mencapai kemajuan bagi pasar yang ia kelola supaya nyaman dan sejahtera, termasuk menggalangkan penarikan karcis bagi setiap pedagang yang berjualan di pasar. Selain itu, ia juga memiliki peliharaan burung dara yang setiap hari ia rawat dengan penuh kasih. Baginya, hak makhluk hidup untuk hidup sangat penting.
Konflik berawal dari para pedagang yang tidak mau lagi membayar karcis. Mereka merasa dirugikan oleh tingkah burung milik Pak Mantri yang sering kali mengganggu para pedagang. Burung itu buang kotoran di mana-manalah, memakan barang daganganlah, intinya, para pedagang merasa dirugikan akan keberadaan burung-burung itu. Sampai-sampai, mereka mengancam akan membunuh semua burung-burung itu. Sontak Pak Mantri merasa sakit hatinya.
Rasa sakitnya bertambah ketika Zaitun, perempuan yang sangat dipedulikannya pun ikut membenci burung-burung miliknya. Zaitun beranggapan bahwa burung tersebut pulalah yang menjadikan bank yang ia kelola menjadi sepi penabung.
Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh Kasan Ngali dengan cara membuka pasar baru yang berada di pekarangan rumahnya yang luas. Keadaan tersebut menjadikan Pak Mantri merasa sangat terpukul. Orang-orang mulai menjauhinya, membencinya. Pak Mantri mulai melakukan tindakan perlawanan untuk mencegah agar pasar yang ia kelola tidak ditutup begitu saja. Ia melaporkan tindak pembangkangan para pedagang kepada petinggi-petinggi kecamatan.
Termasuk kepada Kepala Polisi, ia juga melaporkan perbuatan Kasan Ngali yang dianggap tidak mendukung kemajuan pasar negara dengan cara membuka pasar ilegal dan menyuruh para pedagang untuk pergi dari pasar yang dikelola Pak Mantri. Usaha Pak Mantri tidak sia-sia. Petinggi kecamatan meresponnya dengan baik. Kemenangan berada dipihak Pak Mantri Pasar dan anak buahnya, Paijo. Ia pun tak lagi berselisih dengan Zaitun.
Sebagai orang yang bertanggungjawab di Pasar, Pak Mantri merasa terganggu oleh kelakuan Kasan Ngali. Mulanya Kasan Ngali menggoda Siti Zaitun, pegawai bank di pasar tersebut, kemudian mendirikan Pasar Baru di halaman rumahnya yang luas hingga mendirikan Bank Kredit untuk menandingi Bank milik Siti Zaitun.
Akhirnya, Siti Zaitun memilih mutasi dari pasar dan menginginkan sesegera mungkin sebab rasanya sudah risih dengan segala yang ada di pasar. Kasan ngali akhirnya memilih mencoba wanita dari lakon ketoprak yang menaikkan syahwat penonton saat berperan. Alih-alih, ada persyaratan yang membuat Kasan Ngali tidak bisa mempersuntingnya. Kasan ngali di akhir cerita, hartanya terkuras sebab terlalu boros dan defisit.
Penulis : Izzul Khaq
Mahasiswa Aktif Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor : Akhdan Muhammad Alfawwaz
Baca Juga: BEM UI Dipanggil Rektorat Usai Kritik Presiden Jokowi