UMS, pabelan-online.com – Unit Seni dan Film (USF) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) lewat Subunit Teater Kidung menggelar pementasan monolog secara daring. Terdapat dua naskah pementasan, yakni adaptasi novel “Perempuan di Titik Nol” dan naskah “Mulut”.
Pementasan pertama oleh Cahaya Berlani Putri berjudul “Perempuan di Titik Nol” yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama, karya Nawal El Saadawi. Cerita ini mengisahkan seorang pelacur kelas atas yang divonis hukuman mati karena telah membunuh laki-laki terpandang.
Cahaya dalam perannya menceritakan kehidupan awalnya yang tidak mudah. Dibesarkan oleh pamannya, tetapi perlu membayar dengan melayani setiap keinginannya. Kemudian dijual kepada seorang lelaki dalam bentuk pernikahan. “Lelaki memaksa perempuan untuk menjual tubuhnya dengan harga tertentu, dan tubuh yang paling murah adalah milik sang istri,” ungkapnya, Minggu (27/06/2021).
Lebih lanjut, Cahaya menceritakan saat sosok pelacur diminta untuk melayani seorang lelaki keluarga kerajaan. Ia menunjukkan kemurkaannya dengan membentak dan merobek uang di tangan lelaki itu menjadi serpihan kecil, bahkan menusukkan sebuah pisau ke lehernya untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar dapat membunuh sosok yang lebih rendah dari serangga.
“Apa yang ia perbuat hanya menghabiskan uang beribu-ribu yang ia ambil dari rakyatnya yang mati kelaparan, untuk ia berikan kepada seorang pelacur,” jabarnya dengan penuh emosional.
Pementasan kedua, dimainkan oleh Amanda Nur Fitriyani berjudul “Mulut” yang merupakan karya Putu Wijaya. Mengisahkan tentang suatu kabar telah lahirnya seorang wanita tidak bermulut di Puskesmas. Para warga berebut melihat hingga kaca pintu puskesmas pecah, karena semua berlomba ingin memandanginya dari dekat. Ada yang mengatakan wanita tanpa mulut itu cantik, tetapi tak urung ada juga yang mengatakan aib dan menakutkan.
“Semolek apapun mata dan potongan wajah, seputih dan sesempurna apapun paras yang terlontar dari wajah itu. Tanpa mulut ia adalah mahkluk yang cacat,” tutur Amanda dalam monolognya, Minggu (27/06/2021).
Selanjutnya, saat datang tentara dari pusat yang memerintahkan menangkap dan memutuskan mengamankannya, seluruh warga keberatan karena mengangap suatu ketidakadilan karena mengangkap orang yang tidak bersalah. Ketika wanita itu pulang dengan keadaan sudah punya mulut, ia kembali diperintahkan untuk ditangkap karena terlalu banyak bicara.
“Apa kalian mempergunakannya untuk menekan kami. Kamikan wakil yang kalian pilih. Percaya dong,” pungkasnya, Minggu (27/06/2021).
Setiap kali ingin membantu perempuan tidak bermulut itu, selalu ada halangan yang mengalihkan para warga. Hingga akhirnya perempuan itu memilih bunuh diri tanpa menjelaskan segala kejadian berat yang dialami. “Seperti biasa, ketika dibutuhkan. Para aparatnya absen,” kata Amanda sebagai penutup monolognya.
Azima Rahma Istifada, mahasiswa Ilmu Komunikasi UMS memberikan tanggapannya terkait monolog tersebut. Menurutnya, pemain kedua monolog membawakan kisah dengan baik. Ia menangkap cerita tersebut untuk memberikan kritik terhadap suatu pihak, seperti pada cerita kedua yang menuntut keadilan dan demokrasi dari pemerintah.
“Di situ bercerita tentang kenaikan BBM, adanya permainan orang dalam dan lainnya,” ujarnya, Kamis (01/07/2021).
Reporter : Sarah Dwi Ardiningrum
Editor : Mulyani Adi Astutiatmaja