pabelan-online.com – Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Universitas Negeri Semarang (UNNES) sempat ramai diperbincangkan usai mengunggah postingan di akun Instagram dengan konten kritik dan pemberian julukan untuk pejabat negara. Setelah postingan tersebut diunggah, pihak BEM KM UNNES mendapat respon yang berlebihan dari pimpinan universitas.
Mahasiswa sebagai agent of change harus peduli dan ikut andil terhadap persoalan yang terjadi di negara. Ketika mahasiswa memberikan kritikan, sudah sepatutnya disikapi dengan bijak dan menjadikan kritik tersebut sebagai bahan untuk mengoreksi diri. Namun realitanya, ketika mahasiswa mencoba untuk menyuarakan pendapatnya, justru terdapat pihak yang melakukan intimidasi.
Baru-baru ini BEM KM UNNES melakukan kritikan kepada petinggi negara. Kritikan tersebut menyebut Presiden Joko Widodo dengan julukan The King of Lip Service, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin dengan sebutan The King of Silent, serta Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Puan Maharani dengan The Queen of Ghosting.
Menurut BEM KM UNNES, terdapat beberapa hal yang menjadi dasar untuk mengungah kritikan tersebut. Dilansir dari news.detik.com, menjelaskan bahwa sejumlah mahasiswa menganggap Presiden Jokowi kurang becus dalam melaksanakan tugas dan beberapa kali mengingkari janji politiknya
Dasar kritikan untuk Ma’ruf Amin selaku Wapres yakni sering terlihat absen dalam ruang publik dan tidak memberikan jawaban yang lugas dalam menanggapi problem multidimensional bangsa dan negara, khususnya di masa pandemi. Sedangkan kritikan untuk Puan sebagai Ketua DPR RI, berkaitan dengan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.
Pasca mengunggah kritikan terhadap petinggi negara tersebut, BEM KM UNNES mendapatkan reaksi yang berlebihan dari pimpinan universitas. Bahkan, kabar terbarunya akun Instagram BEM KM UNNES dinonaktifkan. Wahyu Suryono Pratama, selaku Presiden Mahasiswa BEM KM UNNES mengaku mendapat pesan WhatsApp dari pimpinan UNNES setelah mengunggah kritikan tersebut.
Dilansir dari nasional.tempo.co, Wahyu mengungkapkan pada pukul 10.01 WIB mendapatkan pesan WhatsApp dari Wakil Dekan 3 Fakultas Teknik. Wakil Dekan tersebut menghubungi wahyu dan mengajak bertemu. “Mohon siang ini ketemu saya, jangan sampai berhadapan masa PDI, mohon ditarik dulu,” tulisnya dalam pesan WhatsApp.
Pada pukul 10.29 WIB, Pembina BEM UNNES, Rusyanto menghubungi Wahyu. Rusyanto mengingatkan Wahyu untuk berhati hati dalam bermedia sosial. Setelah itu, pada pukul 10.39 WIB Rektor UNNES juga menghubungi Wahyu, meminta unggahan tersebut dihapus karena bernuansa penghinaan dan pelecehan agama.
Wahyu menyebut, bahwa respon para petinggi kampus atas kritikan tersebut terlalu berlebihan. Menurutnya, langkah yang diambil BEM UNNES termasuk kebebasan berekspresi dan akademik yang dilindungi oleh undang-undang. “Kritikan itu bersifat sangat wajar dalam tradisi negara demokrasi,” tutur Wahyu, mengutip dari nasional.tempo.co.
Kritikan yang diunggah oleh BEM KM UNNES juga mengundang perhatian dari kalangan partai politik. Dilansir dari suara.com, Ketua Departemen Politik Dewan Pengurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera (DPP PKS), Nabil Ahmad Fauzi menilai masih ada tindakan intimidasi terhadap mahasiswa karena mengkritik pemerintah. Fauzi mengatakan bahwa kritikan dari mahasiswa terhadap situasi politik bangsa adalah penting untuk memotret dinamika demokrasi Indonesia.
“Jangan ada intimidasi dan pemanggilan terhadap kelompok kritis, apalagi itu datang dari mahasiswa sebagai kekuatan moral bangsa. Jangan sampai tindakan-tindakan yang berlebihan dalam menangani kritik ini semakin mengonfirmasi betapa kehidupan demokrasi kita semakin cacat,” ungkap Fauzi, mengutip dari suara.com, Kamis (8/7/2021).
Reporter : Jannah Arruum Sari
Editor : Mulyani Adi Astutiatmaja