Peluh sebesar biji-biji jagung menetes perlahan dipelipis dan dahi Zainab. Kerudung hitam yang dikenakannya menambah panas dan gerah akibat warnanya yang menyerap sinar matahari. Siang itu matahari tepat di atas ubun-ubun ketika ia meninggalkan sekolah tempatnya mengajar, SD Negeri Manggir yang berada terpencil di tepi hutan.
Pepohonan sawit sepanjang mata memandang, tidak nampak tempat untuk bernaung di belantara kebun tersebut. Sehingga guru muda tersebut harus terus mengayuh sepedanya lantaran tidak ada jalan lain. Jalan putih batuan kapur yang dilaluinya itu sendiri sudah merupakan kemajuan, karena beberapa bulan yang lalu masih berupa jalan setapak yang rimbun semak belukar. Matanya teguh menatap ke depan, mencari-cari jalan pertigaan di mana nantinya ia harus berbelok memilih jalur kanan untuk sampai ke desa terdekat, menuju rumah dinasnya yang sederhana disebuah kampung tepi hutan.
Kesunyian perkebunan mengantar lamunan gadis 20-an tahun itu yang kadang menyaksikan keputusan dirinya untuk menjadi guru. Apalagi harus menyeberangi pulau dan mengabdi di daerah terpencil dengan gaji honorer yang tak seberapa. Ia masih menunggu-nunggu adanya peluang untuk mengikuti tes CPNS agar dapat mengangkat ekonomi keluarganya. Bibirnya tersenyum getir teringat jumlah gajinya yang kian menipis di akhir bulan.
“Jadi guru itu tidak boleh pamrih nak, guru menjadi besar jasanya karena dia ikhlas dalam mengajar, mendidik calon generasi bangsa demi kemajuan negara. Soal gaji itu urusan ke sekian,” ia teringat nasihat ayahnya yang seorang petani kecil di Pulau Jawa sana. Saat-saat sulit begini, ia merasa membutuhkan sosok ayahnya sebagai pelindung dan penguatnya, pun ia juga merindukan keluarganya nun jauh diseberang lautan.
“Ah, kesulitanku ini tak ada secuilpun dari usaha orangtuaku banting tulang demi sekolahku dulu, alangkah indahnya jika aku dapat meraupkan kebanggakan diwajah mereka kelak, ” batin Zainab menghibur diri.
Namun menjadi guru meski honorer, sesungguhnya tidaklah hanya dipenuhi dengan kesengsaraan ekonomi belaka. Bila teringat akan kebahagiaannya ketika mengajar murid-murid, rasanya Zainab merasa tidak perlu bersusah hati. Nurul yang takut akan matematika, Soleh yang jail namun tekun belajar, Amir yang pandai melukis, Ina yang jenaka dan apa adanya, serta banyak murid lain dengan karakter uniknya, membuat pekerjaan mengajarnya tidak menjemukan.
Zainab tersenyum, mengingat wajah polos murid-muridnya yang menjadi ceria ketika berhasil memahami pelajaran yang diberikannya atau wajah kecewa mereka saat mendapati jawaban mereka ternyata salah. Ia tidak merasa kesal akan hal itu karena itulah tugasnya sebagai guru, membimbing proses pembelajaran mereka agar dapat menjadi murid yang pandai dan sukses kelak nanti.
Perutnya mulai berderuk karena seharian belum bertemu nasi, tadi pagi Zainab hanya sempat menyantap ubi rebus yang dibelinya pada kedai pinggir jalan dan segelas air karena tak sempat memasak. Ia masih merasa kesulitan dalam mengelola keuangannya meski sudah tiga bulan ini tinggal mandiri di rumah dinasnya.
Selain itu, tinggal di kampung sebenarnya memerlukan banyak pengeluaran lebih, entah untuk sumbangan sosial, kondangan, bahkan kenduri dan menjenguk tetangga yang sakit memakan biaya yang cukup banyak terlebih bagi guru honorer dengan gaji minim sepertinya. “Barangkali aku harus berkebun sayur mayur untuk menghemat ongkos makan.” pikirnya.
Tiba memasuki wilayah perkampungannya, Zainab disambut suasana perkampungan yang permai. Beberapa wanita tampak menampi beras dihalaman, sedangkan lainnya bercengkrama di beranda sambil mengunyah sirih. Sapa hangat beberapa anak kampung muridnya dan warga kampung yang ramah bak menyapu rasa letihnya.
Tiba-tiba tampak seorang wanita paruh baya memanggilnya untuk berberhenti. “Bu Guru!” teriaknya sambil melambai. Zainab membelokkan sepedanya kepekarangan sebuah rumah panggung.
“Iya, Mak siti ada apa ?” Ujarnya setelah berdiri disamping sepedanya.
“Bu guru, apakah sudah makan? ini ada sedikit nasi acara kenduri untuk Bu guru,” kata wanita yang dipanggil Mak Siti tersebut dengan ramah.
“Alhamdulilaah, terima kasih banyak Mak!”
Zainab hampir menangis mendapati berkah disore itu. Dia yakin rezeki tidak hanya berupa uang, namun juga berupa orang-orang baik yang didatangkan tuhan dihidupnya. Kini Zainab tidak terlalu risau akan masa depannya, doa dan harapannya tentu akan tetap mengalir, tapi yang penting baginya adalah berusaha dan menjalani hidup sebaik-baiknya dengan penuh harapan.
Baca Juga:Â Urgensi Regulasi Pencegahan Kekerasan Seksual di Ranah Kampus
Penulis                       : Aliffia Khoirinnisa
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor             : Mulyani Adi Astutiatmaja