Judul : Para Bajingan Yang Menyenangkan
Penulis : Puthut EA
Penerbit : Mojok
Cetakan : Keempat, November 2017
Jumlah halaman : VI + 178 Halaman
ISBN : 978-602-1318-44-7
Novel “Para Bajingan Yang Menyenangkan” merupakan buku ke empat karya Puthut EA yang saya baca. Setelah membaca judulnya, saya mengira buku ini menyajikan cerita-cerita yang mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintahan. Namun, setelah membaca keseluruhan bukunya ternyata buku ini merupakan kisah kelam dan lucu dari penulis sendiri beserta para sahabatnya.
Kisah ini dimulai ketika Puthut memasuki dunia perkuliahan. Ia bertemu dengan Bagor, Kunthet, Proton, Babe, dan Almarhum sahabat. Sekelompok anak muda yang merasa hampir tidak punya masa depan karena nyaris gagal dalam studi, tiba-tiba seperti menemukan sesuatu yang dianggap bisa menyelamatkan kehidupan mereka. Enam mahasiswa ini dipersatukan karena mempunyai suatu hobi yang sama dan cukup nyeleneh, mereka mempunyai hobi berjudi. Mereka menamakan kelompok mereka dengan sebutan “Jackpot Society”
Buku ini bukanlah sebuah buku yang ditujukan sebagai tips untuk menjadi bajingan. Tetapi secara garis besar buku ini menceritakan bagaimana mereka menjadikan judi sebagai sebuah tempat untuk menghilangkan segala bentuk kepusingan dari dunia perkuliahan. Bahkan mereka tidak segan untuk menghabiskan uang yang mereka miliki untuk bermain judi.
Kehilangan uang dan harta yang banyak pun tak membuat mereka jera untuk bermain judi. Judi seperti sudah menjadi agenda rutin bagi kelompok pemuda ini. Mereka juga kerap sekali mengeluarkan teori judi yang mana teori tersebut selalu membawa mereka pada kekalahan.
Selama membaca buku ini, kita akan disuguhkan cerita yang nyeleneh dan menyenangkan dari mereka. Selain mengenai perjudian, buku ini juga menceritakan bagaimana perbuatan-perbuatan konyol yang dilakukan sekelompok anak muda ini. Dianatara keenam anggota penjudi ini, Bagor adalah sosok yang paling konyol. Sering sekali ia melakukan berbagai bentuk perbuatan yang mengundang emosi sekaligus tawa bagi teman-temannya.
Salah satu bagian cerita yang sangat menggelitik adalah ketika suatu saat orang tua Bagor berkunjung kerumahnya kemudian ibunya melihat Bagor menggunakan sebuah kaos. Ibunya sangat terdecak heran sekaligus marah kepada Bagor. Pasalnya ia menggunakan kaos dengan sablon bertuliskan “iwak asu”.
Seketika sang ibu berkata, “Nak, apa di Jakarta ini enggak ada orang yang jualan kaos lebih baik dari yang sedang kamu pakai?” Mendengar ucapan itu Bagor pun dengan tergesa-gesa kembali ke kamar dan mengganti kaosnya dengan kaos lain bertuliskan “Masjidku Istanaku”. Ada juga kaos Bagor yang bertuliskan “50 Tahun Indonesia Cemas” yang merupakan plesetan dari “50 Tahun Indonesia emas”.
Buku ini menjadi salah satu buku yang harus kita baca terutama bagi mereka yang ingin kembali mengingat-ingat bermacam perilaku konyol yang telah kita lakukan semasa muda dahulu. Cerita dalam buku ini juga disajikan dengan alur yang lucu, sehingga pembaca tidak akan merasa bosan dengan cerita-cerita yang dituliskan penulis. Selain itu pula, penggunaan bahasa percakapan dalam buku ini juga dituliskan layaknya pembicaraan kita dalam kehidupan sehari hari sehingga pembaca semakin merasa dekat terhadap cerita tersebut.
Puthut EA berhasil membawa pembaca ini untuk menyelami dan berimajinasi terhadap cerita dalam buku ini. Pembaca tentunya merasa bukanlah sedang membaca sebuah cerita nyata melainkan merasa sedang membaca sebuah novel yang ceritanya dapat di atur sesuai kemauan penulis.
Kemampuan Puthut EA dalam membangun cerita dari pengalaman pribadi menjadi sebuah cerita yang menarik untuk disimak tidak perlu kita ragukan lagi. Inilah yang menjadi salah satu kelebihan dalam buku ini. Selain itu pula, walaupun cerita dalam buku ini terkesan konyol, namun penulis masih menyelipkan sebuah kritikan yang selama ini seolah tidak didengarkan oleh penguasa.
Seperti cerita Bagor dalam buku ini yang selalu menggunakan pakaian serba hitam. Ketika ditanya alasannya Bagor menjawab, “Tidak ada demokrasi di Indonesia. Maka Indonesia sedang berduka. Ini simbol rasa duka cita”, tutur Bagor berapi-api
Walaupun buku ini ditulis dengan bahasa sehari-hari yang sering sekali kita ucapkan dan membuat pembaca merasa masuk ke dalam cerita tersebut. Namun banyak sekali kata-kata yang cukup “ekstrem” yang di sematkan dalam buku ini. Ini akan berbahaya sekali jika buku ini dibaca oleh anak-anak yang masih di bawah umur.
Kemudian kekurangan dari buku ini yang saya rasakan adalah banyaknya penggunaan bahasa Jawa yang mungkin masih belum banyak orang mengerti. Terlebih penulis mencantumkan glosarium kata-kata tersebut di bagian akhir buku. Hal ini menjadi sedikit repot bagi pembaca karena harus membolak balikkan lembaran buku untuk mencari arti dari kata tersebut. Alangkah baiknya jika arti kosa kata tersebut dicantumkan di bagian bawah buku dengan menggunakan teknik catatan kaki sehingga lebih memudahkan pembaca memahami dan menikmati cerita.
Penulis : Haviv Isya Maulana
Mahasiswa Aktif Ekonomi Pembangunan Universitas Islam Indonesia
Editor : Mulyani Adi Astutiatmaja