Hujan deras yang berlangsung seharian menyebabkan longsor dan beberapa pohon tumbang. Rimba terlihat panik bersembunyi di ketiak ibunya. Sementara ibunya juga tak kalah paniknya. Seumur hidupnya baru kali ini melihat kemarahan alam sengeri ini. Mengingat sebelumnya tidak pernah terjadi hal semacam ini.
Ia kembali mengingat waktu itu hutan tempat mereka tinggal begitu indah, lebat, asri, dan bersahabat. Namun sejak mesin-mesin dari kota datang untuk menghancurkan hutan, semuanya telah berubah seketika. Dalam ketakutan sesekali Rimba menyesap dada ibunya yang kering, sambil berharap menemukan sesuatu untuk dapat menenangkan perutnya yang terus memberontak sejak kemarin.
“Ibu aku lapar,” ujarnya lirih hampir tak terdengar.
“Rimba, anak Ibu sayang, jika hujan sudah berhenti nanti kita teruskan berjalan ke Selatan. Setelah semua yang kita punya telah dirampas, sekarang hanya harapan dan doa yang tersisa. Mudah-mudahan masih ada makanan di sana untuk kita.”
“Tapi aku lapar sekali, sudah dua hari Rimba belum makan,” protes Rimba tidak puas mendengar jawaban ibunya.
“Ya, Ibu juga lapar dan sangat lelah. Tapi Tuhan Maha Pemurah. Tidak seperti hamba-Nya yang maha pemarah. Pasti ada makanan untuk kita.”
“Bu, kenapa monster itu jahat sama kita? Membunuh Ayah dan membunuh teman-teman Rimba.”
Cukup lama ibunya terdiam mendengar pertanyaan anaknya yang polos itu. Terlihat kesedihan mengembang di roman mukanya. Kembali ia harus memamah kepedihan tak terperi. Kini matanya merah bagai nyala api. Barang kali anaknya tidak mengetahui, bahwa bentuk kehidupan begitu ngeri, ganas dan kejam.
“Ceritakan kenapa monster itu jahat sama kita, Bu,” lagi-lagi Rimba memprotes ibunya yang hanya membisu. Sementara di langit suara petir masih sahut menyahut.
“Ibu…”
“Baiklah sayang,” balasnya. “Mungkin dengan mendongeng anaknya akan lupa urusan perutnya,” pikirnya.
Akan tetapi, lebih dari itu anaknya harus tahu, bahwa dalam hidup persaingan milik semua yang bernyawa. Setelah melepaskan napasnya yang berat karena kata-kata bagai duri yang menyangkut di tenggorokan.
“Monster itu bernama manusia,” kata ibunya memulai ceritanya. “Mereka serekah dan jahat karena urusan perut. Mereka kelaparan sama seperti kita, Nak. Lapar membuat mereka menjadi beringas. Segalanya akan dilakukan demi hasratnya itu. Menebang pohon dan membakar hutan untuk membuka lahan ialah salah satunya. Semua itu dilakukan untuk mengenyangkan perutnya sendiri. Makhluk lain tidak boleh memakannya. Akibatnya kita diburu, dibunuh, dan diusir seperti keadaan kita sekarang ini. Makanan manusia adalah bumi dan air minumnya adalah laut.”
“Oh, jadi monster itu bernama manusia. Apakah itu sebabnya Ayah dibunuh?”
Ibunya kembali terdiam.
“Perut mereka kecil, kenapa makannya banyak sekali, Bu?”
“Itulah watak manusia. Mereka serekah, rakus, dan tak pernah puas. Jika langit bisa mereka sentuh, tentu mereka akan saling berebut untuk menguasainya. Semua yang menghalanginya akan dibunuh. Mereka tidak segan untuk saling membunuh.”
“Rimba takut sama monster manusia, Bu.”
“Jangan takut sayang, kan ada Ibu.”
“Nanti kalau monster manusia melihat kita, apakah kita akan dibunuh?” mendengar kecemasan anaknya itu, ibunya hanya mematung. Yang terdengar hanya guntur petir. Dalam pikirannya timbul berbagai tanya. Apakah hendak melanjutkan perjalanan menuju kampung di area kebun sawit atau membatalkannya? Pertanyaan anaknya menghantam nyalinya. Ibunya tahu risiko yang harus ditanggung jika ditangkap oleh manusia.
Kembali ibunya teringat kebengisan manusia. Mula-mula manusia datang dengan bara api, membakar hutan. Barulah mesin-mesin besar datang menghancurkan keindahan surga kecil yang ada di bumi itu. Tidak itu saja kekejian manusia, mereka yang kuat akan menginjak yang lemah, yang pintar memanipulasi yang bodoh, mengadu domba satu sama lain.
Kerakusan lainnya dari manusia yakni gemar memburu binatang, seperti macan, buaya, gajah, burung dan semuanya jika perlu. Dengan matanya ia melihat sendiri bagaimana manusia membunuh kawanannya dengan biadab.
Namun, ia tak sampai hati melihat anaknya mati dalam pelukan setelah berhari-hari tak ada sesuatu yang dapat dimakan. Para monster telah merusak tempat tinggalnya dan menghancurkan segalanya. Tidak ada yang tersisa kecuali gelak tawa para monster dan raut kesedihan bagi mereka yang terusir. Mengertilah ia kini, bahwa iblis telah memenangkan pertempuran melawan malaikat di hati manusia.
Malaikat tidak berdaya menghadapi kolongmerasi perusahaan raksasa yang membumihanguskan hutan Rimba tempat tinggal. Sampai di sini, bukan hanya ia yang menangis, melainkan juga mereka sesama manusia, tetapi bernasib sial. Kelembutan dan kebersihan hati penghuni rimba diringkus siasat busuk monster dari kota. Modernitas telah mengajari bagaimana seharusnya menjadi manusia bahagia yang tolak ukurnya ialah materiil: kekayaan dan kekuasaan.
Hari mulai gelap. Malam mengundang sepi. Dengan sigap ibunya memetik daun dan menyodorkan ke mulut anaknya. Hanya air tawar dari langit yang mereka peroleh untuk memenuhi perutnya dalam beberapa hari ini. Setelah memantapkan niatnya dengan satu gerakan cepat ibunya langsung menggendong anaknya dan bergegas menyusuri jalan becek sambil sesekali mengendap dan meloncat, dari satu pohon ke batang pohon lainnya.
Setelah sepanjang malam berjalan tanpa henti melawan arus dingin, gelap, dan serangan rasa lapar akhirnya mereka telah tiba di perkampungan kebun sawit. Tidak mudah sampai di tempat itu mengingat ia harus menempuh perjalanan puluhan kilometer jauhnya.
Napas ibunya masih naik turun saat membangunkan anaknya yang terlelap. Rasa lelah dan lapar telah menyerangnya sehingga rasanya tak kuat lagi untuk melangkah. Namun, rasa lapar dan lelah hilang seketika saat melihat wajah anaknya yang manis, dari matanya melahirkan mentari yang hangat.
“Rimba bangun kita sudah sampai. Lihat ada makanan kesukaanmu.”
Mula-mula Rimba mengucek matanya karena sengatan cahaya mentari pagi yang terbit di Timur Papua. Setelah itu betapa girangnya Rimba saat melihat pisang di depan keningnya.
“Ibu, Rimba mau si kuning,” pintanya merengek.
“Tunggu di sini, Ibu akan memetiknya.”
“Hati-hati, Bu.”
Setelah mengumpulkan tenaganya dengan perlahan-lahan ibunya meloncat untuk memetik pisang. Rimba tersenyum puas melihat ibunya berhasil menggondolnya. Sambil tersenyum lebar ia berujar, “Cepat Ibu Rimba sangat lapar.”
Mendengar seruan anaknya ibunya hanya tersenyum melihat kegembiraan di wajahnya. Tiba-tiba sesuatu telah terjadi dengan cepat. Dari arah belakang terdengar bunyi letupan senapan. Dor. Dor. Dor.
Beberapa monster melepaskan peluru dari senapannya. Mereka sudah menduga akan kedatangan makhluk yang paling dicarinya itu. Naas satu di antara peluru yang dilepaskan berhasil mengenai punggung ibu Rimba. Seketika itu juga ia tersungkur ke tanah. Dengan sisa tenaga yang dipunyainya ia berusaha meloncat untuk melarikan diri. Tepat di langkah ke lima bongkahan batu besar menghantam kepalanya. Darah pun mengalir di bawah telapak kaki tiga monster yang sudah berdiri di hadapannya.
“Bunuh saja. Sini biar sekali lagi kutembak kepalanya,” hardik salah satu di antara mereka setelah berhasil mengikat tangan ibu Rimba.
“Ini biang kerok yang suka merusak tanaman kita,” sahutnya yang lainnya.
Melihat ibunya tertangkap dan terluka parah, Rimba menangis dan berlari kemudian memeluknya erat. Tangis pun pecah. “Ibu Rimba takut. Ibu Rimba takut.”
Ibunya tak menjawab. Yang bisa dilakukan hanyalah memeluk anaknya dengan kakinya. “Ibu Rimba takut,” ujarnya lagi.
“Oh, ini anaknya.”
“Kita jual saja anaknya.”
“Jangan kita bakar sambil minum arak nanti malam. Ah, pasti mantap.”
Begitulah para monster bersilang pendapat sebelum satu di antara mereka langsung menarik lengan ibu Rimba, sedangkan yang lainnya menggondol Rimba yang meronta. Ibu Rimba masih berusaha sekuat tenaga menolak para monster memisahkan dirinya dengan anaknya.
“Ibu Rimba takut,” hanya itu yang terus menerus diteriakkannya. Setelah Rimba terlepas dari peluknya, barulah ibunya diseret sepanjang jalan.
Sudah dua jam Rimba dan ibunya menjadi tontonan. Rimba dikerangkeng, sementara ibunya di gantung. Tidak cukup sampai di situ, berulang kali pukulan mendarat di tubuhnya. Darah mengucur dari hidung dan telinganya. Tapi tidak ada tanda-tanda kematian akan segera tiba. Napasnya kembang kempis: naik-turun.
Entah karena kesal atau karena sudah tak ada belas kasihan di hatinya, salah satu dari monster itu melemparkan ibu Rimba ke kubangan air yang cukup dalam. Berulang kali ibu Rimba ditenggelamkan. Tak ada ronta, tangis, atau kata, kecuali tangisan Rimba yang terdengar di telinga ibunya.
Setelah puas monster itu melemparkan ibu Rimba ke tanah. Dalam kerangkeng Rimba terus menerus meronta sebelum akhirnya dilepas untuk terakhir kali memeluk ibunya. Dengan cepat Rimba meraih tubuh ibunya yang lemah. Sambil menangis Rimba berusaha melepaskan tali yang mengikat tangan ibunya penuh dengan keputusasaan.
“Ibu jangan tinggalkan Rimba. Ibu Rimba takut.”
Kini apa yang ditanyakan anaknya ketika dalam perjalanan, yang ditakuti ibunya menjadi kenyataan. Tampak ibunya sangat lemah. Napasnya sudah di tenggorokan karena banyaknya air yang masuk ke paru-parunya. Dengan satu tarikan napas ibunya berujar, “Inilah yang terjadi jika monster menangkap kita, Nak. Dan kalian wahai manusia siapa yang lebih binatang di antara kita?” itu kalimat terakhir yang diucapkan ibunya sebelum memejamkan matanya dan tak mengetahui apa yang akan terjadi pada anaknya setelah ini.
Baca Juga: Persiapan Kuliah Luring, DPM FAI UMS Buka Ruang Aspirasi Mahasiswa
Penulis : Ade Mulyono
Mahasiswa Aktif Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Editor : Mulyani Adi Astutiatmaja