(Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Pabelan Pos Edisi 119 rubrik Teropong pada tahun 2018, ditulis oleh Ummu Azka Amalia, Yusmi Dwi Putri dan ditulis ulang oleh Anisa Fitri)
Sering kali terdengar kata radikalisme yang semakin panas di Indonesia setelah adanya rangkaian aksi teror oleh para teroris. Kini, kampus juga ikut disoroti karena dianggap sebagai tempat yang mudah terpapar oleh radikalisme. Hal ini pun berdampak negatif pada dunia akademik Indonesia.
Menelisik dari kata radikalisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; serta sikap ekstrem dalam aliran politik. Wakil Rektor Bidang Akademik, Muhammad Da’i mengatakan, bahwa radikalisme saat ini sudah mempunyai penafsiran yang berbeda, konotasinya menjadi negatif, identik dengan kekerasan, ekstrem, atau tidak mau menerima perbedaan pendapat. “Radikalisme itu seharusnya mengakarkan suatu value tertentu,” ungkapnya.
Hal-hal yang seharusnya dihindari yaitu ketika radikalisme dipahami sebagai pemikiran yang terlalu ekstrem, terutama dalam ranah dakwah amar ma’ruf nahi munkar, seperti melakukan kekerasan dalam berdakwah. Sedangkan Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi keagamaan yang berlandaskan amalan pada Alquran dan sunah, menolak kekerasan dan cara yang tidak baik dalam amar ma’ruf nahi munkar.
Kampus atau perguruan tinggi sebagai pusat peradaban diharapkan dapat menjadi lingkungan yang bisa menanamkan dan membentuk peradaban damai. Namun, pada kenyataannya, kampus justru menjadi salah satu tempat berkembangnya radikalisme. Paham radikalisme menyusup di lingkungan kampus dan mengancam kalangan mahasiswa
Tolak Radikalisme dan Teroris
Dikutip dari laman cnnindonesia.com, bahwa pemerintah sudah mulai aktif bergerak ‘masuk kampus’ untuk menangkal radikalisme. Hal tersebut tak lepas dari keterangan sejumlah pihak mengenai kampus sebagai tempat menyemai benih-benih radikalisme sejak lama, serta temuan keberadaan bukti terorisme pada beberapa kampus di Indonesia.
Cara pemerintah ‘masuk kampus’ itu pun beragam, seperti penggrebekan terhadap terduga teroris oleh Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri bersenjata yang menangkap terduga teroris bersama bom siap ledak saat menggeledah Gelanggang Mahasiswa Universitas Riau pada 2 Juni November 2018. Hal ini menuai kritik dari Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Fahri Hamzah. Menurutnya, kampus sebagai pusat intelektual seharusnya steril dari keberadaan senjata.
Media sosial sebenarnya menjadi salah satu sarana yang perlu diwaspadai dan diperhatikan dalam hal penyebaran paham radikal. Selaras dengan hal itu, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir meminta para mahasiswa baru untuk mencatat akun media sosialnya pada perguruan tinggi masing-masing. Selain itu, para rektor diminta untuk memverifikasi lagi data alumni dan melakukan pengawasan ketat bagi alumni yang masih berkegiatan atau berinteraksi dengan civitas academica.
Maka dari itu, peran media kampus sangat penting dalam hal ini. Pers Mahasiwa (Persma), merupakan media kampus yang memegang peranan penting untuk menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial di lingkungan kampus. Dalam konteks menangkal radikalisme, Pers Mahasiswa bisa menjadi pengawal berbagai kegiatan dan kehidupan sosial kampus lewat liputan dan laporan jurnalistiknya.
Lewat idealisme pers dan independensinya, Pers Mahasiswa juga memiliki peluang mengungkap segala hal di lingkungan kampus tanpa intervensi atau pengaruh dari mana pun, termasuk dalam mengungkap penyebaran paham radikalisme di kalangan mahasiswa.
Menanggapi kembali, Muhammad Da’i mengganggap jika kebijakan di atas dilakukan pendataan, maka nantinya akan bersifat represif, kemudian akan timbul kecurigaan terhadap mahasiswa dan berakhir pada penindakan. Akan lebih baik, jika pemerintah lebih berfokus terhadap program-program konkret yang bisa dilakukan untuk meminimalkan ekstremisme dan kekerasan di kampus.
Da’i juga menambahkan, perihal radikalisme di kalangan mahasiswa, menurutnya mahasiswa berada dalam fase pencarian dan berusaha untuk menemukan jati dirinya melalui kegiatan keorganisasian yang dikutinya selama di kampus. “Tapi paling tidak, mahasiswa juga harus berhati-hati. Ikutilah kajian-kajian yang sepaham atau sejalan yang di gariskan oleh Alquran dan as-sunah,” tambahnya.
Menangkal paham radikalisme di kampus menjadi tanggungjawab semua pihak. Baik pimpinan kampus, para dosen, mahasiswa, dan semua elemen di dalamnya. Semua diharapkan bisa bersinergi melawan berbagai bentuk penyebaran paham radikal lewat peran dan tugas masing-masing. Jika semua pihak kompak bersatu, diharapkan bisa semakin memperkecil celah bagi kelompok radikal untuk menyebarkan pahamnya di lingkungan kampus.
Editor : Rifqah