UMS, pabelan-online.com – Kekerasan seksual saat ini sedang marak terjadi di dunia pendidikan, terutama di lingkungan kampus. Banyak kasus kekerasan seksual yang disembunyikan oleh pihak kampus demi nama baik institusi, sehingga regulasi penanganan kekerasan seksual belum berjalan maksimal.
Tindak kekerasan seksual bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, tak terkecuali di lingkungan kampus. Kampus yang sejatinya menjadi ruang untuk mempelajari nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban, justru menjadi ajang terjadinya berbagai kasus kekerasan seksual.
Berdasarkan survei yang dilakukan Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) tahun 2020, 77 persen dosen menyatakan kasus kekerasan seksual pernah terjadi di lingkungan kampus. Namun, sebanyak 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasusnya. Para korban lebih memilih untuk bungkam lantaran tidak adanya keseriusan pihak kampus dalam menanganinya.
Selama ini, kasus pelecehan seksual di kampus seringkali belum diusut secara tuntas. Kampus seolah-olah tak berani untuk mengungkapkannya demi menjaga nama baik institusi.
Sangat disayangkan ketika perguruan tinggi cenderung menutup diri, lebih berpihak pada pelaku dengan meredam atau menyembunyikan terjadinya kasus demi sebuah nama baik. Ketidaktegasan kampus dalam menangani kasus kekerasan seksual menggambarkan adanya toleransi civitas academica bagi yang melakukan perbuatan tersebut.
Trisna, mahasiswa dari Divisi Advokasi Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Jember (UNEJ) mengatakan, berdasarkan data-data yang terhimpun, kekerasan seksual di kampus merupakan praktik yang sudah terjadi sejak lama. Namun, sangat disayangkan masih minimnya aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
“Kasus kekerasan seksual memang harus dikawal secara bersama-sama, karena ternyata masih banyak kampus yang menyembunyikan kasus kekerasan seksual,” tuturnya, Rabu (24/11/2021).
Ia mengatakan bahwa pengetahuan mengenai kekerasan seksual masih minim di kalangan civitas academica. Hal tersebut menjadi faktor pendorong terjadinya kekerasan seksual. Ketika pengetahuan kekerasan seksual tidak tertransformasi dengan baik, maka seseorang akan menganggap bahwa kekerasan seksual sebagai suatu hal yang wajar.
Pembentukan Pusat Studi Gender (PSG) di Universitas Jember (UNEJ) berawal saat munculnya kasus kekerasan seksual pertama kali di tahun 2018/2019. Pada waktu itu, terjadi kekerasan seksual antara seorang dosen dan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya.
Adanya kasus tersebut kemudian menimbulkan banyak tuntutan dari mahasiswa untuk segera menyelesaikannya dengan mekanisme yang jelas. “Dari kasus tersebut, maka dibentuklah PSG UNEJ dalam upaya perlindungan mahasiswa dan seluruh civitas academica,” imbuh Trisna.
Trisna mengatakan semua mahasiswa harus mengawal terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.
“Adanya peraturan mengenai kekerasan seksual ini memang sangat perlu untuk diimplementasikan dan satu hal yang harus dikawal bersama, yakni mengenai pembentukan peraturan rektor dan memastikan bahwa aturan yang diterbitkan rektor nantinya memang benar-benar berasal dari Permendikbud Ristek ini,” ujarnya.
Menurutnya, yang harus dikawal juga terkait Permendikbud Ristek ini adalah pasal yang hanya mencantumkan sanksi-sanksi administratif saja. Dengan demikian, tidak ada payung hukum yang memang mengungkapkan kekerasan seksual sebagai tindakan pidana.
“Ketika kita menjadi mahasiswa mungkin kita terlindungi dengan aturan ini, tetapi setelah kita lulus nanti ketika tidak dinyatakan sebagai sebuah tindakan pidana, maka orang tidak akan takut (untuk melakukan kekerasan seksual karena tidak ada payung hukum-red). Untuk itu, kita perlu mengawal adanya RUU PPKS,” jelasnya.
Terkait adanya pro-kontra terkait poin yang menyatakan tanpa persetujuan korban, Trisna mengungkapkan bahwa secara formil, peraturan ini memang tidak masalah dan tetap sah dilaksanakan. Dalam hukum dinyatakan bahwa korban adalah orang yang mendapatkan kerugian secara langsung. Jadi, terkait tidak adanya persetujuan korban, dalam hukum memang itu normal dan jangan dianggap sebagai sebuah legalisasi.
Senada dengan Trisna, Muhammad Rizki Fadillah selaku Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan, mendukung adanya antisipasi kekerasan seksual salah satunya dengan diterbitkannya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.
“Dengan banyaknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, maka kita mendukung regulasi dari Permendikbud Ristek untuk segera mengaktualisasikan satgas kekerasan seksual di lingkungan kampus,” tuturnya, Kamis (25/11/2021).
Ia juga menjelaskan bahwa kekerasan seksual juga pernah terjadi di USU. Tepatnya pada 2018 silam, terjadi kekerasan seksual yang dilakukan seorang dosen kepada mahasiswa. Namun, sanksi yang diberikan pihak kampus kepada dosen tersebut hanya berupa skors selama satu tahun.
Dengan adanya kasus kekerasan seksual di kampusnya, maka ia juga setuju dengan adanya peraturan yang diterbitkan Nadiem Makarim tersebut. Namun, ia sendiri kurang sepakat dengan beberapa poin yang terkandung di dalamnya seperti kalimat tanpa persetujuan korban.
Kalimat tersebut menurutnya bersifat ambigu, sehingga menimbulkan perbedaan pandangan setiap orang. “Kita mendukung peraturan tersebut dengan catatan poin-poin yang bersifat ambigu bisa direvisi, sehingga tidak menimbulkan multitafsir terhadap peraturan tersebut,” sahutnya.
Reporter : Akhdan Muhammad Alfawaz dan Jannah Arruum Sari
Editor : M. Sukma Aji