Perempuan sering sekali menjadi golongan yang dinomor duakan dan mengalami beberapa beban ganda di sosial masyarakat. Tak hanya itu perempuan yang dianggap lemah dan tak berdaya sering menjadi korban dari ketidak adilan. Tak ubahnya dengan para korban kekerasan seksual, moyoritas korban merupakan perempuan yang tidak berdaya dan terkekang.
Data dari Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2019 mencapai 4.898 kasus yang terbagi menjadi dua. Yakni ranah personal sebesar 2.807 kasus dan ranah komunitas sebesar 2.091 kasus. Kasus ini jauh mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2018 yang mencapai 5.280 kasus (Komnas Perempuan, 2020).
Kasus kekerasan seksual ini juga sering terjadi di tempat-tempat yang di rasa menjadi ruang aman untuk perempuan, seperti tempat ibadah, rumah, dan lembaga pendidikan. Terlebih di perguruan tinggi, sudah banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di sana. Padahal kita tahu perguruan tinggi merupakan tempat yang dibandang paling suci dan berintegritas tinggi. Namun, hal itu tidak sebanding dengan citra baik di perguruan tinggi.
Banyak mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh para petinggi kampus dan juga senior kampus. Iya, tentunya orang-orang yang memiliki kekuasaan dan terpandang dengan mudahnya dapat melalukan hal yang tidak mencerminkan seorang civitas academica.
Keresahan ini pun membuat Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim merbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Peraturan ini dipandang sebagai suatu langkah yang progresif oleh sejumlah pihak di tengah keresahan akan tingginya kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi.
Sebelumnya terjadi kekosongan aturan yang melindungi korban kekerasan seksual, undang-undang yang dibuat ternyata belum bisa memenuhi kebutuhan dan perlindungan terhadap korban. Tindak lanjut pelaporan pun tidak jelas dan berakhir dimakan oleh waktu saja. Data Kemendikbud Ristek juga mencatat terdapat 63 persen korban tak melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya karena berbagai alasan.
Alasan-alasan itu seperti tidak tahunya korban ingin mengadu kemana, karena berbagai ancaman yang didapatkannya untuk tidak melapor dan akhirnya korban hanya bisa diam ketakutan. Belum lagi rasa takut tidak dipercaya yang dirasakan korban saat melaporkan dan victim blaming yang pasti dirasakannya. Melihat masyarakat Indonesia masih merasa hal ini tabu dan sensitif sehingga menanggapi kasus seperti ini tidak memikirkan kondisi mental korban.
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang kental akan nilai religi, memberikan anggapan bahwa peraturan dari Permendikbud tidak berjalan baik. Iya, tuduhan peraturan ini pro zina dan akan melegalkan zina di perguruan tinggi santer terdengar. Sebagai angin respon memang akan ada yang menyejukkan dan juga yang menghempaskan logika dan nurani. Tuduhan ini pasti terjadi melihat respon RUU PKS saja banyak tuduhan dan anggapan, apalagi aturan ini.
Terdapat sebuah aturan yang tidak bisa diatur oleh negara, yaitu amal sholeh seorang hamba. Karena sebuah garis dari hamba ke tuhan yang memang itu hanya bisa diatur dan dilakukan oleh hambanya. Negara hanya memberikan aturan berupa undang-undang sebagai rambu-rambu. Garis vertikal hamba kepada tuhan hanya bisa diurus dan diketahui oleh tuhan dan hamba itu sendiri.
Garis besar aturan ini adalah memberikan perlindungan dan kekuatan untuk korban kekerasan seksual dan calon korban kekerasan seksual, bukan sebagai aturan pelegalan zina di kampus. Sekali-kali kita harus merasakan menjadi korban kekerasan seksual seperti apa, untuk bisa berempati dan memberikan ruang untuk korban. Banyak karya sastra yang menceritakan korban kekerasan seksual, seperti dalam novel Hilda.
Keresahan ini tercurahkan dalam sebauh karya sastra yang berjudul Hilda karya Muyassarotul Hafidzoh. Penulis menceritakan seorang tokoh yang bernama Hilda, yang merupakan korban dari kekerasan seksual. Novel ini menggambarkan pengalaman hidup seorang korban kekeran seksual dengan beban hidup yang berat di tengah masyarakat. Terlebih budaya patriarki yang masih begitu kental di masyarakat tersebut.
Membahas isu yang masih dianggap tabu dan sensitif di masyarakat memang sangat menarik jika menggunakan karya sastra. Isu korban kekerasan seksual yang sering dilabel sebagai perempuan murahan, namun dalam novel ini Muyas menggambil sudut pandang sebagai korban. Sehingga semua anggapan dan ketimpangan yang terjadi tergambar jelas dari sisi korban.
Terlebih agama Islam yang dipandang oleh para penggiat perempuan sebagai agama yang mengekang perempuan. Karena aturan-aturan yang sangat membatasi ruang gerak perempuan. Dominasi tugas ataupun pekerjaan perempuan hanya didominasi di rumah saja. Apalagi dengan isu poligami dalam islam, membuat citra Islam sebagai agama patriarki begitu besar. Namun, dalam kenyataanya tidak demikian. Novel Hilda ini memberikan spririt femisnisme Islam dan pengalaman hidup sebagai korban kekerasan seksual.
Baca juga: Kekerasan Seksual Kian Mencuat, Regulasi Belum Berjalan Maksimal
Penulis           : Tsania Laila Magfiroh
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor            : A. A. Jagaddhita