UMS, pabelan-online.com – Budaya senioritas yang ada pastilah memiliki tujuan dapat menghasilkan generasi-generasi yang mengerti akan kesopanan dan kedisiplinan, ketika diterapkan dengan cara yang masih dalam tahap normal, tetapi banyak juga yang masih menerapkan senioritas dengan kekerasan fisik. Namun, praktik budaya senioritas pada zaman sekarang ini mungkin sedikit berbeda karena bertujuan untuk kepentingan kepuasan senior kepada junior atau ajang balas dendam.
Budaya senioritas yang sudah tidak asing lagi di lingkungan pendidikan Indonesia ini masih cukup ramai diperbincangkan, karena terkadang budaya senioritas disalahgunakan oleh senior kepada junior, bahkan parahnya sampai berujung pada bullying. Hal tersebut tentunya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Budaya senioritas tak jarang yang melibatkan secara fisik maupun verbal, semata-mata hanya untuk memuaskan keinginan senior kepada junior.
Namun, tak menutup kemungkinan juga jika senioritas yang ada dan diterapkan itu bertujuan untuk mendidik, karena tidak semua senioritas itu buruk. Budaya senioritas yang diterapkan haruslah bersifat mendidik dan bertujuan untuk hal-hal positif, agar junior yang dididik tersebut dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan bisa mengerti cara menghormati satu sama lain.
Tidak melulu menekankan pada ajang balas dendam kepada junior-junior yang lainnya. Lantaran, kebanyakan budaya senioritas yang berjalan terdapat kekerasan fisik maupun verbal dan hal itu hanya bertujuan untuk balas dendam karena dulunya mereka (senior –red) juga pernah merasakannya, maka dari itu senior-senior itu juga ingin juniornya merasakan hal yang sama. Lantas apakah praktik senioritas di lingkungan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) masih menjadi acuan dan dibudayakan atau justru telah lama ditinggalkan.
Mengenai hal tersebut, Ahmat Khoirudin, Ketua Malimpa menjelaskan jika senioritas yang ada di kampus memang masih ada. Namun, senioritas tersebut bukan untuk semena-mena atau seenaknya dengan junior. Jika kelewatan, tentu hal tersebut sangat diharamkan. Senioritas yang ada harus mempunyai tujuan dulu, bukan atas dasar ego senior ke junior. Tujuannya yaitu mengajarkan sopan santun, bagaimana cara bergaul. Hanya sebatas itu.
“Senioritas yang berjalan adalah kedewasaan. Kedewasaan dari senior itu sendiri untuk memahami tujuan dari senioritas itu sendiri apa dan bukan untuk memuaskan ego seniornya,” ungkap Ahmat, Kamis (25/11/2021).
Ahmat menambahkan, ketika ada kegiatan, proses berjalannya pendidikan tersebut yang ditekankan bukan senioritas di dalam pendidikannya, tetapi sikap pendidik terhadap junior. Harus ada batasan-batasan, Standar Operasional Prosedur (SOP) berjalan yang diatur dan ditelaah berdasarkan evaluasi-evaluasi sebelumnya.
Rizki Ihsan, Ketua Unit Seni dan Film (USF) juga turut memberikan tanggapan mengenai senioritas di kampus. Ia berpendapat jika senioritas yang ada, terutama jika menyangkut fisik sudah tidak ada. “Tapi kalau di saya (USF –red) sih, mentok-mentok itu paling hanya sekadar bentakan. Kita pakai ketika kita butuhkan saja,” akuinya, Kamis (25/11/2021).
Menurut Rizki, lebih baik sudah tidak pakai budaya senioritas lagi. Masih banyak cara lain, tidak harus menggunakan senioritas atau kekerasan.
Muhammad Yusuf Effendi, selaku Ketua Racana memberikan penjelasannya mengenai dinamika senioritas yang ada di Racana sendiri. Menurut penuturannya, Racana sudah tidak menggunakan sistem senioritas sebagai aturan pengaderan. Kesetaraan antaranggota menjadi hal yang penting ditanamkan oleh tiap anggotanya. Racana juga punya sistem yang diberi nama Among, yang berarti tanpa paksaan atau sukarela.
“Dari pendahulu saya sudah ditekankan untuk saling menghormati, nggak peduli apakah lebih tua atau muda, dan Racana menggunakan sistem Among, jadi tak ada kata senioritas,” ungkapnya, Senin (06/12/2021).
Yusuf juga menjabarkan, mengenai aturan yang harus diikuti dalam melakukan diklat kepada anggota baru. Dalam proses pembuatan konsep diklat, pembina ikut andil dalam melakukan pemantauan untuk memastikan secara ketat terkait kejelasan maksud dan tujuannya, serta memastikan jika tidak ada bentuk kekerasan selama kegiatan yang dapat menimbulkan masalah dan mengawasi jalannya kegiatan yang diadakan Racana. Pembina juga menyempatkan melakukan pengawasan ketika Racana mengadakan kegiatan. Jika tidak dapat hadir tetap, maka tetap mengawasi secara online.
Reporter : Rifqah dan Munasifah Rahmawati
Editor : Jannah Arruum