UMS, pabelan-online.com – Di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlanjut, mahasiswa diambang dilema dalam perkuliahannya. Mulai dari kurang efektifnya pembelajaran daring, sampai ancaman putus kuliah. Di beberapa Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta di Kota Bandung misalnya. Aksi demonstrasi untuk menuntut pemotongan uang kuliah beberapa kali terjadi, hingga kasus represifitas menjadi mimpi buruk mahasiswa yang menyampaikan aspirasinya.
Menanggapi kejadian itu membuat Komunitas Bandung For Justice merasa perlu mengambil langkah. Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan diskusi publik bertajuk Bandung di Tengah Wabah Putus Kuliah pada Senin, 28 Februari 2022 lewat Zoom.
Dalam salah satu sesi diskusi, Muhammad Ari sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Ekonomi Indonesia Membangun (STIE INABA) Bandung yang di-drop out (DO) mengatakan, yang melatarbelakangi dilakukannya aksi demonstrasi ialah tidak adanya kebijakan dari kampus terkait untuk meringankan atau pemotongan biaya kuliah.
Namun, kata Ari, ketika mahasiswa melakukan demonstrasi kampus justru memberikan ganjaran berupa sanksi akademik, seperti skorsing atau bahkan di-DO.
“Di Kota Bandung, aksi demonstrasi soal uang kuliah sudah berlangsung selama lima kali dari bulan Juni hingga Desember 2021. Di bulan Desember, ada 20 dari 40 mahasiswa yang ikut aksi demonstrasi terkena skorsing dari kampus,” kata Ari kepada peserta diskusi, Senin (28/2/2022).
Selain aksi demonstrasi STIE INABA, aksi serupa terjadi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Tercatat puluhan mahasiswa yang terancam di-DO atau dipaksa cuti karena tidak mampu membayar Uang Kuliah Tetap (UKT). Bahkan aksi demonstrasi tersebut dianggap tidak mendapat penyelesaian.
Muhammad Pebriansyah, salah satu mahasiswa UPI mengungkapkan, sebenarnya sudah terdapat sejumlah keringanan yang diatur dalam Permendikbud Nomor 25 tahun 2020 tentang keringanan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) bagi mahasiswa yang terdampak. Keringanan tersebut berupa pemotongan pembayaran serta bantuan UKT. Namun, kata Pebriansyah, yang dilakukakan UPI hanya memberikan kebijakan menyicil.
Lebih lanjut, Pebriansyah mengatakan, pihak UPI telah mengeluarkan Peraturan Rektor Nomor 14 tahun 2021, yaitu mahasiswa wajib mendaftarkan cuti kuliah dengan jangka waktu paling lambat 60 hari kerja. Jika tidak, secara otomatis dianggap mahasiswa tersebut dianggap mengundurkan diri.
“Pihak kampus hanya mengeluarkan SK Rektor tadi, yang mengharuskan mahasiswa melakukan cuti,” ungkap Pebriansyah (28/2/2022).
Melihat fenomena ini, Lembaga Badan Hukum (LBH) Bandung, Rangga Rizki memberikan tanggapannya. Berkaitan dengan Kemendikbud Nomor 25 tahun 2020, ia melihat ada penerapan kebijakan UKT yang berbeda-beda di tiap kampus. Rangga menjelaskan, seharusnya pemerintah bisa menekan kampus, baik negeri maupun swasta untuk mengikuti aturan yang telah dikeluarkan oleh negara.
Perwakilan dari Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Hani Yulindrasari dalam forum diskusi ini mengungkapkan kalau seharusnya pemerintah perlu mengambil alih mahasiswa yang tidak bisa membayar UKT-nya untuk diberi beasiswa selama pandemi berlangsung.
Pembicara yang lain, Deni Rismansyah dari Pengamat Kebijakan Publik mengungkapkan, di dalam Pembukaan Dasar Undang-Undang (UU) 1945 jelas tertulis bahwa tugas pemerintah adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ada pun di dalam Pasal 28 C ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah hak dari warga negara, sehingga pemerintah wajib memenuhi hak tersebut.
“Mengeluarkan mahasiswa karena tidak bisa membayar UKT-nya merupakan sebagai pelanggaran konstitusi. Sudah jelas bahwa konstitusi Indonesia adalah hak untuk mendapatkan pendidikan,” tegas Deni dalam kesempatan yang sama.
Reporter : Kholisa Nur Hidayah
Editor : Novali Panji Nugroho