UMS, pabelan-online.com – Koalisi Masyarakat Pejuang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Komphein) yang terdiri atas banyak perorangan dari kalangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IMM, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (BEM UMS) ikut melakukan pengawalan khusus kasus hologramisasi pita cukai rokok. Komphein mengawal pihak Feybe Fince Goni, selaku penggugat pada PT. Pura Nusapersada pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Semarang.
Mario Prakoso sebagai koordinator Komphein dari DPD IMM Jawa Tengah, memaparkan bahwa kasus ini sudah terjadi selama 26 tahun. Pelanggaran hak cipta dilakukan oleh PT. Pura Nusapersada, perusahaan yang khusus mencetak hologram di Indonesia. Mereka mengklaim hologram pita cukai rokok sebagai hak ciptanya.
Mario menilai kasus ini menarik, karena memiliki tendensi untuk terjadinya pelanggaran hak cipta dan kezaliman perusahaan besar pada perorangan. Hal itu pula yang mendasari dirinya turut serta untuk melakukan pengawalan atas kasus tersebut.
Ia mengatakan, kasus ini berupa pelanggaran hak cipta, di mana terdapat kewajiban dari perokok yang harusnya diberikan pada pemegang hak cipta. Namun, diambil alih oleh perusahaan swasta berkaitan selama puluhan tahun. Alasan lain dirinya melakukan pengawalan ialah pemilik hak cipta adalah seorang perempuan yang berjuang seorang diri, yaitu Feybe Fince Goni.
“Maka tanpa adanya tekanan dari civil society dan masyarakat yang mengawal, hak-hak tersebut tidak akan terpenuhi,” ungkap Mario, Selasa (01/03/2022).
Hingga saat ini, perkembangan kasus telah sampai pada sidang saksi ahli dan saksi akademis. Kesaksian saksi ahli berasal dari pihak tergugat yaitu PT. Pura Persada, pada hari Rabu. Sedangkan yang selanjutnya adalah kesimpulan dari kasus persidangan.
Meski begitu, ia meyakini bahwa sidang tersebut bukanlah akhir, gerakan Komphein akan terus menggencarkan kasus ini di media sosial, di forum-forum diskusi umum, kolom opini, dan konferensi pers dengan rekan media.
Mario berharap dengan solidaritas masyarakat, tujuan untuk memenangkan kasus ini akan tercapai. Selain itu juga dapat memberikan edukasi dan pemahaman bagi masyarakat di era 4.0, bahwa selain masyarakat yang bergelut di dunia akademis juga harus mengetahui pemahaman akan hukum. Agar hak cipta tidak ditaruh dalam persoalan hukum yang eksklusif dan baru. Sehingga, katanya, masyarakat lebih peduli akan persoalan ini dan terlindungi haknya.
Ia berharap kasus ini akan berhasil dimenangkan dan gerakan ini bisa menjadi gerakan nasional. “Saya berharap agar ke depannya masyarakat bisa membentuk koalisi-koalisi dan organisasi-organisasi masyarakat yang berbasis intelektual, tidak hanya berdiri atau local standing tetapi berbicara tentang sosialisasi, kampanye, dan pencerdasan,” tutupnya.
Rizka, sebagai Dosen Fakultas Hukum UMS memaparkan, bahwa pada dasarnya hak paten dan hak cipta itu sama, merupakan hal eksklusif atas sebuah ciptaan yang didaftarkan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI). Dan atas hak tersebut, pencipta paten dan cipta bisa menuntut jika produk yang diciptakan dipakai orang lain tanpa seizinnya.
Ia menambahkan, pentingnya hak kekayaan intelektual karena di zaman sekarang banyak barang palsu dan peniruan yang luar biasa. Masyarakat harus terbiasa untuk menghargai ciptaan orang lain. Juga untuk menghindari barang palsu, ilegal, dan tidak berkualitas, sehingga menjatuhkan merek aslinya yang memiliki HAKI.
Ia menjelaskan mengenai sengketa hak cipta, terdapat dua cara penyelesaian sengketa, yaitu melalui litigasi (pengadilan) dan non litigasi (luar pengadilan). Dalam proses penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan sarana terakhir (ultimum remidium) bagi para pihak yang bersengketa setelah proses penyelesaian melalui non litigasi tidak membuahkan hasil.
Rizka berpendapat pada kasus pelanggaran HAKI tentu saja yang salah adalah pihak yang melanggar. Namun, dalam beberapa hal, banyak terjadi akibat faktor ketidaktahuan dan kurangnya sosialisasi. Juga malas untuk mendaftarkan ciptaan, merek, dan paten ke Dirjen HAKI. Ia berharap ke depannya proses hukum harus lebih tegas, karena menyangkut hak seseorang yg sudah menciptakan suatu merek atau produk.
“Sebuah perusahaan harus belajar banyak tentang HAKI, jangan sampai terjebak dalam barang ilegal, palsu, dan melanggar HAKI orang lain,” tutupnya, Selasa (01/03/2022).
Reporter : Aliffia Khoirinnisa dan Kholisa Nur Hidayah
Editor : Gardena Dika Muharomi