Pandemi Covid-19 yang kurang lebih dua tahun singgah di bumi, masih menyisakan masalah-masalah yang tak kunjung usai. Masalah-masalah tersebut merambat dihampir setiap aspek kehidupan, baik itu dari aspek kesehatan, ekonomi, maupun ranah pendidikan.
Mahasiswa sebagai bagian dari civitas academica tentu tak luput dari pengaruh ini. Mahasiswa dalam mengenyam pendidikan di sektor perguruan tinggi memerlukan sarana dan prasarana dalam proses pembelajaran.
Seperti dalam pepatah Jawa “Jer basuki, mawa beya”, yang artinya bahwa untuk segala pencapaian pasti memerlukan pengorbanan, baik berupa material maupun non material. Dalam hal ini, tak berbeda jauh dengan keadaan yang menimpa banyak mahasiswa Indonesia saat ini.
Untuk dapat meneruskan pembelajaran di tengah kondisi pandemi ini, mereka harus terus merogoh kocek yang sayangnya tak banyak berbeda dengan situasi normal sebelumnya.
Pada 28 Februari 2022 lalu, sebuah diskusi publik yang diselenggarakan oleh komunitas Bandung for Justice (BFJ) menyuarakan kabar mahasiswa utamanya di Kota Bandung yang terancam putus kuliah. Hal ini tak lain disebabkan oleh kondisi ekonomi yang kurang sehat, tetapi terpaksa harus memerah keringat agar uang kuliah terpenuhi.
Beberapa kali Kota Bandung menyaksikan aksi demonstrasi mahasiswa. Setidaknya dalam kurun waktu Juni hingga Desember 2021 kemarin. Namun, kegiatan aspirasi tersebut justru malah membuat beberapa mahasiswa mendapat skorsing dari pihak kampus.
Aksi demonstrasi tersebut bukannya mengurai benang, tetapi seakan menambah rumit persoalan. Para mahasiswa terancam drop out (DO) atau terpaksa cuti dalam perkuliahannya.
Jika melihat aturan yang ada, Indonesia sudah memiliki peraturan soal keringanan biaya kuliah selama pandemi. Hal itu tertuang dalam Permendikbud Nomor 25 tahun 2020 tentang Keringanan Pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa yang terdampak pandemi. Keringanan tersebut berupa pemotongan pembayaran serta bantuan UKT.
Berkaitan dengan Permendikbud Nomor 25 tahun 2020, terdapat penerapan kebijakan UKT yang berbeda-beda di tiap kampus. Dengan ini seharusnya pemerintah agar dapat mendorong pihak kampus, baik negeri maupun swasta untuk mengikuti aturan yang telah dikeluarkan oleh negara.
Meski di beberapa kampus lain di Indonesia telah mengupayakan adanya pengurangan dan penundaan uang kuliah, tetapi dalam pelaksanaannya kadangkala tak sesuai harapan mahasiswa.
Rasanya hal ini perlu ditinjau ulang, bahwa aspirasi mahasiswa yang sesuai prosedur seharusnya menjadi pandangan lain dan saran yang patut untuk dipertimbangkan. Bahwa demonstrasi merupakan bagian pembelajaran mahasiswa dalam berperan dan menentukan sikapnya ketika menghadapi suatu situasi.
Bagaimanapun mahasiswa adalah penerus bangsa yang harus dibimbing dan dibentuk untuk mempersiapkan diri mengambil roda kepemimpinan di masa depan.