UMS, pabelan-online.com – Salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Komisi X Fraksi Gerindra, Djohar Arifin Husin, mengusulkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nadiem Makarim mengenai pemberhentian kewajiban bagi peneliti atau guru besar di suatu perguruan tinggi untuk memublikasikan penelitiannya di jurnal internasional yang terindeks Scopus.
Dilansir dari portal berita pikiranrakyat.com, Djohar Arifin Husin selaku anggota DPR RI Komisi X Fraksi Gerindra mengusulkan untuk menghentikan kewajiban bagi guru besar untuk memublikasikan jurnalnya di Scopus. Namun, hal tersebut sangat bertentangan dengan Agus Ulinuha, Ketua LPPM UMS.
Kepada reporter Pabelan-online.com, Agus menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan yang dilontarkan anggota Komisi X tersebut. Menurutnya, hal ini sangat disayangkan, di mana pemublikasian tersebut menjadi salah satu syarat atau aturan untuk kenaikan pangkat bagi calon guru besar.
Perlu diketahui, bahwa guru besar atau professor dengan gelar akademik dan jabatan fungsional tertinggi merupakan puncak dari kapasitas keilmuan seseorang. Sehingga, saat seseorang dinyatakan menjadi guru besar, artinya memang dia memiliki kualifikasi kapasitas keilmuan yang cukup.
Dapat dikatakan memiliki kapasitas keilmuan yang cukup ketika seseorang melakukan proses pendidikan, riset, dan verifikasi. Di mana nantinya ada recognition (pengakuan –red) dan kemampuan baginya, jika memang kapasitas akademik ini cukup memadai untuk menjadi seorang guru besar.
Agus berpendapat, bahwa memang syarat menjadi seorang guru besar harus mampu memublikasikan penelitiannya ke jurnal yang terindeks Scopus. Di mana publikasi ini adalah suatu proses diseminasi (penyebaran ide –red) atau proses seseorang mengkomunikasikan apa yang diperoleh melalui aktivitas keilmuan, sehingga masyarakat menjadi tahu.
Untuk saat ini, jurnal yang terindeks Scopus telah cukup mendapatkan pengakuan secara internasional. Selain itu, level pengindeksan menunjukkan kualitas jurnal tersebut. Ada beberapa kriteria terkait dengan pengindeksan,yaitu sitasi (kutipan –red) dan impact factor yang menunjukkan banyaknya karya yang dipelajari.
Proses publikasi inilah yang menjadikan produk keilmuan dipajang di jurnal, sehingga orang lain dapat mengetahui, membaca, bahkan menjadikannya acuan untuk risetnya.
“Jadi, kita tidak bisa menyederhanakan proses publikasi ini sekadar yang penting bisa masuk sana, tetapi proses di jurnal itu yang kemudian mengantarkan seorang ilmuwan atau akademisi dapat berkontribusi pada masyarakat,” ujarnya, Jumat (11/3/2022).
Agus menambahkan, bahwa publikasi melalui jurnal terindeks Scopus ini adalah proses akademik yang perlu diapresiasi. Ketika seseorang itu ingin meraih predikat guru besar, maka proses publikasi di jurnal dengan level- level yang baik ini menjadi sangat dibutuhkan.
Hal tersebut menjadi sebuah kultur atau budaya yang baik agar profesor di Indonesia memiliki taraf intelektualitas dan akademik yang setara dengan profesor di luar negeri.
“Saya kurang setuju atas pernyataan anggota Komisi X tersebut, jika persyaratan publikasi penelitian terindeks Scopus bagi calon guru besar dieliminasi, maka kita akan berada pada sebuah keadaan di mana seorang guru besar tidak mendapatkan pengakuan bahwa dia dalam taraf yang cukup untuk menjadi profesor,” ujarnya.
Hal ini memang sulit karena menunjukkan taraf yang perlu diraih, sehingga perlu didorong agar bisa memenuhi kualifikasi tersebut. Misalnya, dari iklim riset yang diperbaiki, kemampuan dari para periset yang ditingkatkan, sehingga dapat dicapai dan bukan malah standarnya yang diturunkan.
Agus berharap agar usulan penghentian publikasi penelitian di jurnal terindeks Scopus ini tidak dihapuskan, karena tidak melihat alasan yang cukup. Akan menjadi lebih efektif jika meningkatkan kemampuan, sehingga calon guru besar ini dapat publikasi penelitian di jurnal terindeks Scopus. Jika dihentikan, menurutnya akan menjadi guru besar yang tidak dalam kapasitas dan tidak cukup produktif atau kompeten.
Reporter : Budi Rahayu
Editor : Rifqah