UMS, pabelan-online.com – Kabar mengenai penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) dan perpanjangan masa jabatan Presiden mencuat di publik beberapa waktu lalu. Hal tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan termasuk civitas academica.
Gagasan penundaan Pemilu 2024 berawal sejak Januari 2022. Hal ini pertama kali diungkapkan Menteri Investasi, Bahlil Lahaladia. Selanjutnya dari Muhaimin Iskandar, orang nomor satu di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengklaim bahwa banyak pihak setuju dengan hal tersebut.
Berikutnya datang dari Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar), Airlangga Hartarto yang mengusulkan hal yang sama. Begitu pun dengan pimpinan Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan. Dan yang terbaru, wacana penundaan Pemilu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Mereka berdalih pemilu diundur agar momentum perbaikan ekonomi akibat pandemi tidak hilang dan mengakibatkan sektor ekonomi mengalami penurunan karena terganggu oleh hajatan politik pemilu. Analisis big data pun disematkan para politisi untuk menguatkan argumen penundaan. Padahal sejatinya, pemilu merupakan hal yang sakral dan bukti bahwa demokrasi di Indonesia benar-benar ditegakkan.
Lukman Fahmi Djarwono, selaku Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) turut memberikan tanggapannya kepada reporter Pabelan-online.com terkait wacana penundaan pemilu yang sampai saat ini masih terus bergulir. Menurutnya, semuanya dikembalikan lagi ke hukum dan peraturan yang ada, seperti UU No 8 tahun 2012, Pasal 22 UUD 1945, dan lain sebagainya.
Jika mengacu pasal 22 UUD 1945, secara jelas tertulis bahwa Pemilu untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, dan Wakil Presiden dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
“Jadi kalau ada wacana untuk mengundur pemilu atau memperpanjang masa jabatan, saya rasa masih wacana yang jauh dari inti permasalahan juga, karena harus merevisi sejumlah pasal dalam UU, merevisi APBN, mengamandemen,” ungkapnya, Selasa (15/3/2022).
Lebih lanjut, Lukman menjelaskan jika pandemi dijadikan sebuah alasan mungkin seluruh dunia juga merasakan pandemi. Pada 2020 juga berlangsung pilkada di tengah wabah pandemi. Jadi, kata Lukman, tidak ada masalah jika tetap menggelar pemilu di tengah wabah pandemi.
Dirinya menyebut wacana tersebut mungkin digunakan untuk cek ombak. Mereka ingin cek ombak dengan melempar wacana bahwa akan ada penundaan atau perpanjangan periode presiden. Dengan demikian, akan kelihatan apakah suaranya masih bisa bertahan di pemilu selanjutnya atau tidak.
“Mungkin kalau anak sekarang bilangnya cek ombak. Biasanya kalau nggak ada pandemi sebelum pemilu mereka survei dan kampanye. Dari survei dan kampanye mereka bisa melihat angka kasar calon pemilih. Tetapi, saat pandemi kampanye tidak bisa dilakukan. Mereka ingin cek ombak dengan melempar wacana bahwa akan ada penundaan atau perpanjangan periode presiden, dengan begitu akan kelihatan siapa yang pro pemilu ditunda dengan siapa yang pro pemilu tetap dilaksanakan,” ujarnya.
Lukman juga menanggapi terkait adanya beberapa mahasiswa yang mulai terjun ke dunia politik. Ia menuturkan bahwa tidak masalah, tetapi sangat disayangkan sekali jika elemen atau komunitas mahasiswa ikut masuk ke dalam politik praktis.
Fase kampus adalah fase di mana mahasiwa bisa berpikir bebas tanpa adanya konflik kepentingan. Sebenarnya, elemen atau komunitas mahasiswa menjadi penetral dan monitoring terhadap pemerintahan yang berkuasa.
“Sudah pasti mahasiswa yang ketarik tersebut tidak netral lagi, tidak bisa monitoring secara objektif lagi. Mahasiswa juga harus bisa menyaring berita hoaks yang beredar,” imbuhnya.
Rahmat Rusma Pratama, salah seorang mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah (HES) mengatakan bahwa sebagai seorang mahasiswa dirinya tidak setuju dengan adanya penundaan Pemilu 2024. Penundaan pemilu menurutnya melanggar konstitusi negara. Dalam konstitusi sangat jelas bahwa periode pemerintahan diatur lima tahun sekali, dan untuk masa jabatan presiden maksimal hanya dua periode.
Menurutnya, yang menjadi motif penundaan pemilu yaitu para pengusung Presiden saat ini tidak mau meninggalkan posisinya sebagai pejabat pemerintahan dan ada banyak misi atau agenda kerja yang belum terselesaikan. Selain itu ada kaitan penuh antara penundaan Pemilu 2024 dengan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru.
“Yang paling penting dilakukan mahasiswa per hari ini ialah tidak terburu-buru mengambil langkah kampanye, lebih baik mengamati terlebih dahulu siapa yang akan maju menjadi calon presiden,” tuturnya, Kamis (10/3/2022).
Reporter : Jannah Arum Sari
Editor : Tsania Laila Magfiroh