Judul : The Batman
Sutradara : Matt Reeves
Produser : DC Films
Durasi : 176 menit
Tanggal Rilis : 1 Maret 2022
Nyata. Itulah kesan saya sepanjang menikmati film The Batman. Matt Reeves selaku sutradara berhasil menyuguhkan cerita dengan angle yang berbeda. Robert Pattinson berhasil meniupkan nyawa baru pada sosok Batman dibandingkan aktor-aktor sebelumnya.
Bagi para pencinta serial DC, The Batman tentunya menjadi angin segar melihat beberapa tahun belakangan, pamornya kalah jauh jika dibandingkan dengan film superhero garapan Marvel Cinematic Universe (MCU). Hal itu juga terlihat dari usaha DC untuk membawakan beberapa film yang mengikuti gaya MCU: penuh warna cerah, makna-makna positif kehidupan, dan terkesan membahagiakan dengan banyaknya humor yang diselipkan. Melalui The Batman yang rilis awal Maret lalu, DC akhirnya menegaskan lagi untuk kembali pada ciri khasnya sendiri.
Dalam seri ini, Batman digambarkan sebagai pemuda yang belum stabil secara mental. Seluruh harta warisan keluarga Wayne tak lebih dari alat yang digunakan untuk membunuh rasa penasarannya. Ia benar-benar terjebak di masa lalu—sesuatu yang sama sekali tidak bisa ia kendalikan. Jika boleh menggunakan istilah psikologi, sejauh pemahaman penulis, maka “topeng Batman” adalah alter ego yang digunakan untuk menyalurkan ambisi, amarah, serta perlawanan seorang Bruce Wayne terhadap apa yang terjadi dilingkaran keluarganya.
Mestinya, butuh kesabaran ekstra untuk mengikuti jalannya film yang cukup menguras pikiran ini, tetapi penataan plot yang penuh teka-teki membuat durasi yang hampir genap tiga jam terlewat begitu saja. Keseluruhan alur cerita seolah-olah dituliskan sendiri oleh The Riddler (antagonis yang diperankan oleh Paul Dano) dengan Batman berlaku sebagai detektif bertopeng. Berbekal petunjuk yang diberikan The Riddler alias “pembuat teka-teki”, Batman akan menuntun penonton mencari-cari mata rantai dari berbagai konflik yang terjadi, berbekal kemampuan fisik di atas rata-rata, intelektualitas jempolan, dan—tentu saja—kaya raya.
Konflik yang disajikan dalam The Batman pun begitu mengena. Di balik topeng Batman, bersamaan dengan usahanya berdamai dengan masa lalu, Bruce Wayne mesti meladeni berbagai macam ancaman—yang tak dihiraukannya—sebelum akhirnya bertemu dengan The Riddler. Hal yang menarik adalah, antara Batman dan The Riddler punya banyak kemiripan. Disadari atau tidak, pertarungan antara keduanya tidak benar-benar didasari keinginan saling membunuh, melainkan pada konflik batin dan rasa takut yang dilampiaskan sesuai narasi pembuka film bahwa “fear is a tool” (rasa takut adalah alat).
The Riddler memang penjahat, tetapi tidak sepenuhnya jahat. Ia adalah refleksi buruk, lebih gelap, dan tersesat dari Batman akibat kejamnya masa lalu. Ia kurang beruntung saja soal itu dan faktanya, The Riddler-lah sejatinya yang “membasmi seluruh tikus-tikus berdasi”. Sebuah ironi yang cukup adil pun terjadi: Batman dibantu Catwoman (pelayan bar tangguh yang diperankan Zoe Kravitz) dan Letnan Jim Gordon (oknum polisi waras yang diperankan Jeffrey Wright) berusaha menangkap The Riddle yang meneror Kota Gotham, sedangkan The Riddle sendiri sengaja mengotori tangan untuk membersihkan kebusukan yang menggerogotinya. Hal tersebut juga menjelaskan kata-kata Batman, “Things will get worse before it gets better” (Beberapa hal akan menjadi lebih buruk sebelum menjadi lebih baik).
Sosok Batman sendiri yang begitu melekat pada Kota Gotham yang sangat mendukung keseluruhan plot dan pembangunan karakter para tokoh. Penyelundupan obat, korupsi, serta pembunuhan berencana demi melanggengkan jabatan memenuhi sejarah kota yang suram dan selalu diguyur hujan tersebut. Lebih jauh lagi, narasi film yang tak jarang disampaikan menggunakan sudut pandang kota juga sukses membawa penonton bersimpati pada penduduknya sekaligus mengutuk para penjahat; mereka berharap, masa depan Kota Gotham yang ditawarkan Batman akan menjadi lebih baik di akhir cerita.
Adapun adegan aksi di film ini memang cenderung lamban dan kurang memukau (scene mobil saya kecualikan). Jika harus mengemukakan kekurangan film ini, maka itu—bagi sebagian orang, termasuk saya—justru adalah kelebihannya, seperti Batman yang “lemah” tidak cocok menjadi superhero, atau adegan filmnya yang “lambat” dan “terlalu gelap”. Kondisi personal (selera, usia, emosi, dsb.) cukup menentukan di sini. Karenanya, sekadar catatan tambahan, penting untuk mempertimbangkan hal-hal teknis dan nonteknis sebelum menikmati film semacam ini untuk menghindari trauma.
Satu hal yang perlu dipastikan sebelum menonton The Batman: jangan mengharapkan humor renyah layaknya film superhero besutan MCU. Batman milik DC dan Ia hidup sendiri. Batman di film ini bisa dibilang masih “anak kemarin sore”, jauh dari pengakuan publik atau gemerlapnya popularitas. Bagi penduduk Kota Gotham, ia hanyalah vigilante (orang yang suka main hakim sendiri), sehingga lebih layak dicurigai daripada dianggap sebagai pahlawan. Namun, Batman dalam The Batman, terlepas dari hegemoni makna yang menghantui layar kaca saat ini, adalah “superhero” yang akan mengembalikan kita pada realita kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Terakhir, kutipan favorit dalam film ini sayangnya harus datang dari The Riddler: What does a liar do when he’s dead? He lies still (Apa yang dilakukan pembohong ketika ia mati? Ia tetap berbohong).
Penulis : Akhdan Muhammad Alfawwaz
Mahasiswa Aktif Program Studi Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor : Anisa Fitri Rahmawati