UMS, pabelan-online.com – Aksi unjuk rasa mahasiswa pada 1 April lalu yang menuntut penolakan penundaan pemilu serta perpanjangan masa jabatan presiden Joko Widodo, terungkap adanya peretasan nomor WhatssApp yang dialami enam mahasiswa peserta unjuk rasa. Peretasan tersebut berlangsung beberapa hari sebelum aksi unjuk rasa digelar. Adanya peretasan ini menunjukkan pencederaan kebebasan dalam demokrasi yang ada.
Mohammad Indra Bangsawan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Muhamadiyah Jawa Tengah mengungkapkan kasus peretasan ini merupakan tindak pidana atau kejahatan mayantara (cyber crime) yang merugikan, sehingga pelaku kejahatan harus ditindak sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
“Kita tidak tahu pasti siapa subjek pelaku yang melakukan kejahatan ini, yang jelas motif dari pelaku untuk mengetahui arus informasi atau pembatasan akses komunikasi terhadap mahasiswa. Bisa juga sebagai upaya penggembosan terhadap demo yang akan dilakukan oleh para mahasiswa,” tuturnya, Minggu (10/4/2022).
Lebih lanjut Indra menjelaskan jika pembatasan kebebasan berpendapat terhadap mahasiswa merupakan sikap inkonstitusional, karena sejatinya hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 ayat E dan F. Lanjutnya, terdapat peraturan turunannya seperti ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam bagian kelima dan keenam, yakni hak atas kebebasan pribadi dan hak atas rasa aman. Ia menyayangkan adanya praktik pembatasan atas kebebasan berpendapat seperti kasus ini.
Indra menambahkan, ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana peretasan termaktub dalam pasal 30 ayat satu, dua, dan tiga Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal ini, ujarnya, menjelaskan bahwa setiap orang yang mencoba masuk atau mengakses sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun, dengan sengaja, dan tanpa hak, berarti melawan hukum. Pasal ini berkaitan langsung dengan pasal 46 ayat satu, dua, dan tiga UU ITE yang mengatur mengenai sanksi pidana atas pelanggaran yang tercantum dalam pasal 30 tersebut.
Ia menambahkan LBH sebagai institusi yang berupaya memberikan perlindungan kepada setiap anak bangsa. Sebagai tanggung jawab institusi yang bergerak di bidang hukum, Indra mengungkapkan pihaknya selalu siap mendampingi jika dibutuhkan.
Menurutnya, pemerintah wajib melakukan segala perintah UU sebagai lembaga eksekutorial, begitupun mahasiswa yang berfungsi sebagai eksponen mahasiswa (stabilitator dan dinamisator) untuk menjaga hak setiap warga negara. Ia beranggapan jika pemerintah tidak perlu takut terhadap kritik para mahasiswa atau warga negara selama bertujuan untuk perbaikan dan kebaikan negara.
“Harapan saya tidak perlu ada kejahatan mayantara karena setiap anak bangsa wajib dilindungi setiap haknya,”tutupnya.
Abdul Kholiq selaku Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa (KM) Universitas Negeri Semarang (UNNES) mengungkapkan tindakan peretasan yang terjadi merupakan upaya penggembosan dan menunjukkan hak keamanan digital belum ada. Ia berpendapat, hak untuk bersuara dan elemennya yang meliputi pra-aksi, ketika aksi, dan pasca aksi harus dijamin oleh negara.
“Cukup meresahkan karena ada penggembosan di tiap daerah, kawan di Bandung dan Malang melaporkan hal yang sama. Ini buruk sekali untuk demokrasi,” ungkapnya, Senin (11/4/2022).
Abdul mengungkapkan perlunya mempelajari security digital, terutama untuk mahasiswa aktivis karena semua orang dapat menjadi korban.
“Di samping itu negara wajib untuk menjamin kebebasan demokrasi dan keamanan kita,” tutupnya.
Reporter : Azhari Thahira
Editor : Anisa Fitri Rahmawati