Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) merupakan suatu momen penting sebagai ajang aktualisasi diri bagi mahasiswa dalam pembelajaran panggung demokrasi. Pemilwa juga membentuk implementasi nyata praktik demokrasi di lingkungan kampus. Namun, dalam praktik pelaksanaannya, sering kali ditemukan fenomena munculnya kandidat calon tunggal yang bersanding melawan kotak kosong.
Beberapa saat lalu, pelaksanaan pemilwa di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN) Malang menjadi sorotan karena kandidat calon tunggal yang bersanding dengan kotak kosong yang bukan hanya sekali atau dua kali. Dapat dikatakan fenomena ini telah menjadi budaya dan menimbulkan pro dan kontra di kalangan mahasiswa.
Pada Senin, 18 April 2022 kemarin, reporter Pabelan˗online.com berkesempatan melakukan wawancara dengan Irham Bashori Hasba seorang Dosen Program Studi (Prodi) Hukum Tata Negara (HTN) yang berfokus pada bidang keilmuan Hukum Pemilu dan Partai Politik di UIN Malang untuk mengetahui pandangannya terkait fenomena calon tunggal ini.
Bagaimana pendapat Bapak terkait pemilwa di UIN Malang 2022 ini?
“Saya cukup intens mengikuti alur pemilwa di UIN Malang 2022 ini, karena mungkin ini memiliki kesinambungan dengan bidang keilmuan dan mata kuliah yang saya ampu, yaitu Hukum Pemilu dan Partai Politik di Prodi HTN Fakultas Syariah. Untuk tahun ini sendiri, pelaksanaan pemilwa di UIN Malang belum ada perubahan yang menonjol dan terkesan tertutup. Tidak banyak sosialisasi yang dilakukan, barangkali juga karena suasana online.”
Bagaimana tanggapan Bapak terkait calon tunggal dalam pemilwa?
“Pemilwa ini merupakan pendidikan politik dan juga implementasi nyata praktik demokrasi terutama bagi mahasiswa terlebih di lingkup perguruan tinggi. Namun, sangat disayangkan apabila hal seperti ini (calon tunggal –red) terus terjadi. Artinya tidak ada partai politik (Parpol) yang berkontestasi dalam pemilwa.
Melihat hal ini tentu ke depannya tidak hanya menutup ruang bagi kelompok, golongan, atau organisasi mahasiswa (ormawa) tertentu, tetapi juga berdampak kepada kelompok, golongan, ormawa yang selama ini berkuasa. Karena dapat menciptakan iklim politik internal rezim penguasa yang tidak stabil dan terkesan menjadi sistem kepemimpinan yang oligarki.”
Menurut Bapak, apa sisi positif dan negatif dari pemilihan calon tunggal ini?
“Untuk sisi positif sendiri menurut saya tidak berdampak terlalu banyak. Akan tetapi, untuk sisi negatif tentunya hal ini akan menutup ruang dan berdampak buruk bagi kelompok, golongan, ormawa tertentu, karena terciptanya iklim politik yang terkesan tidak sehat. Akan terjadi kerapuhan solidaritas mereka dan tentunya menurunnya minat serta kepercayaan mahasiswa terhadap ormawa itu sendiri.”
Apakah calon tunggal dalam pemilwa ini dapat dinormalisasikan? Jika iya, mengapa?
“Kalau dilihat dari setting politik yang ada, sebenarnya fenomena seperti ini sering terjadi tidak hanya di pemilwa saja, melainkan di pemilihan-pemilihan lainnya. Dalam konteks ini bisa dikatakan normal. Terkadang juga munculnya kandidat calon tunggal ini karena adanya iklim politik yang disebabkan budaya politik di wilayah tersebut memang seperti itu. Hal seperti ini juga masih bisa dikatakan normal.
Atau bisa juga kandidat calon tunggal ini muncul dikarenakan adanya aktivitas politik yang tidak sehat dan cenderung monopolistik atau oligarki yang akan berujung pada sistem kekuasaan absolut. Hal seperti inilah yang tidak dapat dinormalisasikan karena tidak baik dan kurang mendidik. Kembali lagi, penyebabnya apa hingga menjadikan hal ini bisa dinormalisasikan atau tidak.”
Menurut Bapak, bagaimana dampak dari pemilwa yang hanya ada calon tunggal?
“Jika sistem ini terus berlanjut dan berjalan lama, maka akan mungkin sekali terjadi ketidakpercayaan mahasiswa terhadap pemilwa ke depannya. Pemilwa hanya akan digambarkan sebatas pesta demokrasi bagi kelompok tertentu saja. Terlebih dengan terjadinya fenomena ini, maka kekuasaan absolut dengan kepemimpinan oligarki sangat mungkin terjadi.”
Kira-kira apa yang menjadi alasan pemilihan dengan calon tunggal ini masih terus diterapkan?
“Kemungkinan besar dikarenakan tidak ada kontestan yang berani mencalonkan diri melawan calon tunggal itu, atau bisa juga karena kurangnya minat terhadap hal-hal seperti ini. Hal ini juga bisa disebabkan oleh iklim politik, sebab budaya politik suatu wilayah yang memang seperti itu. Atau mungkin karena aktivitas politik yang kurang sehat di dalam kontestasi pemilwa ini. Misalnya kurang fair, cenderung monopolistik atau oligarki, dan mempertahankan status quo.”
Dengan adanya calon tunggal dalam pemilihan, apakah ini menandakan kemunduran laku politik, khususnya di UIN Malang?
“Di satu sisi, fenomena ini menjadi menarik karena calon peserta harus memiliki pengalaman yang mumpuni. Di sisi lain menjadi berat bagi kelompok, golongan, ormawa tertentu yang sebelumnya tidak berkontestasi karena dapat tertutup oleh beberapa kelompok tadi yang ingin mempertahankan status quonya. Pada tahap ini, mungkin dapat saya kategorikan sebagai aktivitas politik yang kurang sehat.”
Untuk itu apa yang harus dibenahi dalam pelaksanaan pemilwa ini?
“Sebenarnya yang seharusnya dibenahi itu seluruh sistem politik kampus yang lebih tertata dan terbuka bagi semua kalangan. Seperti yang sudah saya bilang, bahwa pemilwa ini (di UIN Malang –red) terkesan tertutup dan tanpa regulasi yang transparan.”
Apa pesan dan harapan Bapak terkait sistem pemilwa dalam keberlangsungan student government di lingkup kampus?
“Ke depannya demi pendidikan politik bagi mahasiswa, hal-hal seperti ini harus segera dibenahi dengan baik tentunya. Mengatur regulasi terkait pemilwa yang lebih transparan bagi semua kalangan. Regulasi tentang pemilwa sudah seharusnya dirumuskan dalam agenda Musema (Musyawarah Mahasiswa). Maka dalam hal ini, seharusnya lembaga pers mahasiswa agar dapat menyuarakan hal ini dengan kritis dan lantang. Selain itu, seluruh mahasiswa juga dapat bergerak bersama turut hadir dan ambil peran terkait pemilwa di Musema agar mengubah regulasi yang ada.”
Reporter : Widyawati Dian Putri Utami
Editor : Anisa Fitri Rahmawati