Judul Buku : Orang-orang Biasa
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : PT Bentang Pustaka
Tahun terbit : 2019
ISBN : 978-602-291-524-9
Jumlah Halaman : 306 halaman
Sejenak menilik sebulan yang lalu, saya telah mengkhatamkan novel Orang-orang Biasa ini dan baru menyempatkan untuk membuat resensinya. Cerita yang dikemas dengan runut dan baik oleh Andrea Hirata di novel kedua ini setelah novel Guru Aini.
Menceritakan kembali tentang kisah Aini yang belum jadi atau tertunda untuk masuk universitas karena terhambat biaya daftar ulang di Fakutas Kedokteran. Uang tunai senilai Rp 80 juta bagi orang tua Aini yang hanya seorang penjual asongan sangatlah mustahil didapatkan dalam waktu cepat.
Di buku ini dikisahkan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh Dinah sebagai Ibu Aini beserta sahabat-sahabatnya agar Aini bisa membayar daftar ulang masuk di salah satu universitas terkemuka di Sumatra.
Sembilan sahabat yang sudah seperti saudara semenjak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu Handai, Tohirin, Honorun, Sobri, Rusip, Salud, dan tiga murid perempuan yaitu Nihe, Dinah, dan Junilah turut menghiasi cerita dalam buku ini. Mereka termasuk kategori murid bebal, lamban berpikir, tak punya cita-cita, penuh tekanan batin ketika pelajaran matematika, dan kompak duduk di bangku paling belakang ketika SMA. Ditambah satu orang lagi yang jenius bernama Debut Awaludin.
Debut bergabung bersama sembilan sahabat yang lain bukan karena ketololannya, tetapi karena simpati dengan sembilan siswa bebal yang sering jadi bulan-bulanan di kelas. Ia pun akhirnya bergabung dengan segerombolan sahabat ini lebih sebagai pembela mereka. Beberapa dari mereka tidak sampai lulus SMA karena berkali-kali tidak naik kelas.
Semasa SMA mereka kerap mendapatkan perundungan dari Trio Bastardin dan Duo Boron. Sampai usia dewasa pun mereka masih kompak menjaga persahabatannya walaupun nasib mereka yang berbeda-beda. Akan tetapi, tetap sama dengan kondisi kesederhanaannya.
Sepuluh orang itu yang dimaksud oleh Andrea Hirata “Orang-Orang Biasa” dalam buku ini di mana akan menceritakan masyarakat yang berlatar di Kota Belantik yang merupakan kota dari pelabuhan kecil yang masyarakat di sana tidak mengikuti kemajuan zaman yang ada seperti di kota-kota maju Indonesia lainnya. Kota tersebut teramat naif dengan minimnya angka kejahatan di masyarakat sehingga meresahkan seorang inspektur bersama Abdul Rojali yang terkena paradoks tanggung jawab.
Masyarakat Kota Belantik bisa dikatakan sangat sederhana dan hidup biasa-biasa saja. Begitu juga dengan sepuluh tokoh dalam buku ini. Mereka hidup biasa-biasa saja dengan pekerjaan kelas kaum menengah ke bawah. Sedangkan Trio Bastardin dan Duo Boron hidup berjaya dengan persengkongkolan pengusaha, politisi, dan birokrat.
Andrea Hirata menggambarkan hal-hal biasa di buku ini dengan jelas dan penuh komedi selingan sehingga tidak membuat pembacanya menjadi bosan dan jenuh.
Mengusahakan Aini dapat kuliah di Fakultas Kedokteran, sepuluh orang sahabat itu memiliki rencana, yakni sebuah rencana perampokan di Toko Batu Mulia milik Trio Bastardin. Rencana dengan strategi yang cukup ganjil tersebut dipelopori oleh Debut. Walaupun awalnya ada keraguan di hati mereka. Debut yang idealis memimpin rencana tersebut yang juga dibantu oleh Handai, seorang pengkhayal yang bercita-cita sebagai motivator.
Mereka dibagi atas dua tim dan menggunakan kendaraannya yang berbeda pula. Tim satu gagal melakukannya, sedangkan tim dua berhasil melakukan perampokan di Toko Batu Mulia dan mendapatkan uang sekitar Rp 16 miliar. Pada akhirnya kasus perampokan itu menggemparkan Kota Belantik yang naif. Beruntung kesepuluh sekawan itu tidak dapat tertangkap oleh satpam dan penjaga Toko Batu Mulia.
Namun, aksi tersebut justru menguak fakta baru bahwa Toko Batu Mulia merupakan tempat penampungan uang korupsi, sehingga inspektur Abdul Rojali dan polisi berhasil mengamankan tersangkanya yaitu Trio Bastardin. Inspektur polisi mungkin selamanya tidak akan menduga bahwa aksi perampokan yang menguak kasus tersebut dilakukan oleh “orang-orang biasa” yang kesehariannya amat sederhana.
Di lain tempat, Kwartet Mul juga berhasil ditangkap ketika melakukan aksi sebagai bagian tindak pencucian uang Toko Batu Mulia. Meski begitu, di akhir cerita, Aini, anak Dinah dapat melanjutkan pendidikan kedokteran dengan biaya yang mereka dapatkan dengan cara yang halal.
Penulis : Izzul Khaq
Mahasiswa Aktif Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor : Anisa Fitri Rahmawati