Hasrat yang Berkabung
Ke mana hilangnya tekad?
Padahal pemujaan rutin dilakukan
Doa adalah pengantar, keteguhan terkuat
Melangkah ragu, keniscayaan binasa
Izin dulu, siapa yang berkuasa?
Remang-remang menjerat lalu menjerit
Rapalan segala puji-pujian, terbakar panasnya diri
Akui kesalahan, pasrahkan
Bahwa memang tak mampu
Sudahi, kau tahu maknanya bukan demikian
Tapi mengapa kau membiarkan
Sementara pada yang lain kau kaburkan
Buta akan tersesat dalam dosa
Tulikah dirimu?
Bukti adalah persaksian yang Esa
Setiap titik salah akan membuat lubang,
Kemudian menghitam dan menghalangi jalan
Semesta tahu kapan waktunya bersua
Sekeras dia menolak, bila Tuhan ikut serta
Dia bisa apa?
Doa adalah bahasa rindu
Tiap dari kita berhak
Sebanyak apa pun
Sedikitnya lima waktu sehari
Menenanglah,
Dia mendengar lebih dari yang kau katakan
Dia memberi lebih dari yang diminta
Lalu, ke mana tempat sujudmu selama ini?
Pada Esa siapa?
Pada Esa yang mana?
Kau hanya datang mengebu-gebu, sebab ada mau
Lalu lagi-lagi dunia mengelabuimu
Dan kau pun kembali menangis tersedu
Seperti Maumu
Bagaimana saya bisa menjelaskan bahwa tiap dari kata adalah suaramu yang saya rekam dalam memoar terdalam?
Bagaimana saya harus mengungkap bahwa nyawa aksara kidung adalah jejak-jejak yang rapuh tapi saya paksa kuat?
Saya jumawa, kemudian ciut saat tak sengaja mengingatmu
Saya bintang, kemudian debu saat malam menyelimuti pagi
Saya dekap, kemudian renggang saat mengukur culasnya diri
Bagaimana bisa mencintai dan membenci di saat bersamaan?
Kamu adalah hal berharga dalam hidup saya
Ribuan puisi, sajak, cerita adalah dirimu
Tapi sekarang, penjelasan tiap aksara berubah angkara
Tak enak dibaca
Tak menusuk dalam kalbu
Bagaimana saya harus menerima, sementara kata coba belum termulai?
Kamu teka-teki yang coba saya pecahkan
Hingga dinginmu terasa hangat dalam lupa
Bagaimana saya harus mengganti selainmu?
Ribuan rayuan yang kamu acuhkan adalah jelasnya
Saya yang buta akan lakumu
Kita terpaut ego masing-masing
Hingga lahir jarak yang membentangi
Namun bagaimana saya harus menangis?
Bila kamu pergi atas saya
Dan saya tak bisa menahannya
Bagaimana saya harus menyerah?
Saat bendera putih teracung menang
Penulis : Pratiwi Yulia Saputri
Mahasiswa Aktif Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor : Aliffia Khoirinnisa