Setelah ramai dengan aksi demonstrasi mahasiswa, kini dunia politik di Indonesia diramaikan dengan kehadiran partai atas nama mahasiswa yang bernama Partai Mahasiswa Indonesia (PMI). Di mana kehadiran partai iniĀ masih menjadi pro dan kontra di kalangan mahasiswa.
PMI didirikan pada 21 Januari 2022, setelah megubah nama Partai Kristen Indonesia 1945 (Parkindo 45). Partai ini mendapatkan legalitas badan hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-5.AH.11.01 Tahun 2022.
Nama partai ini juga terdaftar dalam Surat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Nomor M.HH-AH.11.04-09 tentang Penyampaian Data Partai politik yang Telah Berbadan Hukum.
Pada surat tersebut tercatat jajaran pengurus PMI dengan Eko Pratama sebagai Ketua Umum. Eko sendiri juga dikenal sebagai Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara yang saat ini terbelah menjadi dua kubu dengan salah satu kubu berada di bawah kepemimpinan Koordinator Pusat BEM Nusantara, Dimas Prayoga.
Selanjutnya, ada Mohammad Al Hafiz sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend) dan Muhammad Akmal Mauludin sebagai Bendahara Umum. Serta Ketua Mahkamah, Teguh Stiawan dengan anggota Mahkamah, Davistha dan Rican.
Meskipun mendirikan suatu partai politik, berserikat, dan berkumpul adalah hak warga negara dalam sistem demokrasi dan dijamin oleh negara. Namun demikian, perlu diingat posisi mahasiswa ialah sebagai pengawal jalannya pemerintahan, yaitu stabilisator dan dinamisator.
Adanya PMI ini dikhawatirkan akan Ā mengancam gerakan mahasiswa dan berpotensi memecah kosentrasiĀ mahasiswa yang sedang melawan pemerintah. Pembentukan partai ini bisa disebut bentuk dari penghianatan kepada perjuangan mahasiswa di tengah rentetan aksi yang digelar oleh mahasiswa.
Terkait hal ini, Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Ristek, Nizam mengatakan kalau mahasiswa terjuan di dunia politik praktis tidak ada larangan. Namun, dia menegaskan mahasiswa tersebut.
Meskipun demikian, terdapat beberapa poin yang kiranya harus kita pikirkan dalam menyikapi adanya partai mahasiswa ini. Yang pertama, parpol membutuhkan dana operasional yang sangat besar, terlebih pada masa pemilu. Kedua, PMI dinilai tidak mewakili gerakan dan suara mahasiswa, dilihat dari aliansi BEM SI maupun BEM Nusantara yang mengaku tidak berafiliasi dengan terbentuknya PMI. Ketiga, mahasiswa berpotensi kehilangan independensi.
Selain itu, jika mulanya partai ini dibuat berdasarkan politik di dalam kampus yang biasanya idealis, maka saat partai dibentuk politik idealis akan cenderung berubah menjadi pragmatis. Hal ini yang menyebabkan pergeseran prinsip yang akan mejadi masalah apabila tidak dikaji dengan baik.
Disaat mahasiswa ini sibuk dengan kepentingan politiknya kemungkinan kedepannya tidak ada mahasiswa yang turun jalan untuk melawan pemerintah yang bermasalah.
Apalagi kewajiban mereka tetap harus di akademiknya, sudah dapat dipastikan hal itu akan menganggu kegiatan belajar mereka. Selain itu, sebagai civitas academica, mahasiswa tentunya dilarang melakukan aktivitas politiknya di dalam kampus. Hal ini sebagai upaya Ā menjaga marwah kampus sebagai lembaga ilmiah pencari kebenaran.
ApalagiĀ partai politik di Indonesia memiliki budaya yang berbeda dengan kultur gerakan mahasiswa, di mana dalam kultur politik di Indonesia cenderung memperjuangkan diri sendiri ketimbang kepentingan publik. Mahasiswa adalah ikon gerakan moral, bukan untuk berkuasa, tetapi memperbaiki kekuasaan.
Untuk menjadi agen perubahan dan memperbaiki kebijakan yang kurang tepat tidak harus bergabung menjadi sebuah kelompok partai politik. Dengan kita menyatukan satu suara dan tujuan, tentu akan memudahkan para mahasiswa untuk bertindak dan mengambil keputusan dalam permasalahan yang ada.
Kita sebagai mahasiswa perlu menjaga independensi, baik dari politik praktis atau kepentingan partai politik (parpol). Seharusnya kita sebagai mahasiswa bertanggungjawab untuk mengoreksi pemerintahan yangs sedang berkuasa bukan malah memperebutkan kekuasaan melalui parpol.