“Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka imamnya adalah setan.”– Imam Abu Yazid Al Busthami, seorang ulama tasawuf.
Kalimat yang diucapkan oleh Imam Abu Yazid sering kali terdengar manakala seseorang mencoba belajar mandiri. Kalimat tersebut biasanya datang dari seseorang dan mengguncang pembelajar sehingga takut untuk belajar secara mandiri. Kalimat dengan makna hampir serupa bahkan juga dilantunkan oleh beberapa ulama, seperti Isma’il Haqqi Al-Hanafi, Syeikh Ali bin Wafa, dan Syeikh Abdurrahman bin Yazid bin Jabir. Pada dasarnya, kalimat tersebut bermakna bahwa ketika seseorang belajar tanpa guru, maka jalan yang ia tempuh tidak tepat dan ilmu yang diperoleh tidak bisa dibenarkan.
Sebagai salah seorang pelajar, saya ragu dengan pendapat tersebut dan mencoba mencari tahu sumber yang lebih tinggi berkaitan dengan boleh atau tidaknya mencari ilmu meskipun tanpa sesosok guru. Karena fenomena yang terjadi saat ini dalam skema pendidikan formal, pelajar ataupun mahasiswa lebih banyak dituntut belajar secara mandiri. Hal ini sangat terlihat saat pandemi Covid-19 kemarin yang begitu mewabah di negara kita.
Dasar keraguan itu muncul dari pemahaman bahwa ketika Nabi Muhammad mendapatkan wahyu adalah dengan cara menyendiri di Gua Hira selama berhari-hari tanpa seorang guru. Rasulullah menyendiri untuk menenangkan diri dan memikirkan kondisi umat yang telah melenceng dari agama tauhid. Apa yang didapatkan oleh Rasulullah? Allah SWT menurunkan guru terbaik bagi Rasulullah SAW yakni Malaikat Jibril. Rasulullah tidak digurui oleh setan dan tidak pula tersesat dalam jalan yang salah. Rasulullah justru mendapatkan petunjuk dan cahaya kebenaran (Alquran –red) yang menerangi gelapnya situasi keilmuan dan kepercayaan pada saat itu. Bahkan cahaya kebenaran yang disampaikan melalui Rasulullah dijaga oleh Allah SWT hingga hari kiamat. Seperti dalam firman Allah Surah Al Hijrayat ayat 9 yang berbunyi, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya”.
Selanjutnya, saat ini sebagian besar sistem pendidikan formal telah terikat dengan sistem komersial. Seorang pencari ilmu harus membayar biaya pendidikan di awal sebelum ia mendapatkan pembelajaran di pendidikan formal. Padahal dalam sistem pendidikan formal, tidak mesti pelajar atau mahasiswa menyerap seluruh pembelajaran yang disampaikan oleh gurunya. Ketika pelajar lulus dari bangku pendidikan, kemudian ditanya oleh seseorang dengan pertanyaan, “Apa yang kamu pelajari di sana?”, banyak yang tidak bisa menjawab dengan pasti apa yang telah ia pelajari.
Bagaimana Menyikapinya?
Keadaan setiap orang berbeda antara satu dan lainnya. Masih ada banyak orang yang belum berkesempatan memiliki seorang guru yang selalu membimbingnya. Bahkan meski memiliki guru, belum tentu guru akan membimbing dengan cara yang benar. Apalagi bidang minat setiap orang berbeda-beda. Sehingga banyak ilmu yang tidak terserap oleh pembelajar.
Berada dalam posisi pelajar yang mengalami masa belajar dengan guru dan belajar sendiri tentu memberikan saya kesadaran bahwa tidak semua orang yang tidak memiliki guru akan digurui setan. Namun, ketika menjadi seorang pelajar (dengan dan atau tanpa guru) maka harus tetap mencari dasar dan sumber ilmu yang diperoleh. Jangan sampai mendalami ilmu-ilmu yang dasar metologinya saja sudah rancu serta meragukan.
Dewasa ini memang sangat mudah mendapatkan pengetahuan dari internet. Prinsip kehati-hatian perlu dikuatkan dengan menyaring pengetahuan yang perlu dan tidak perlu untuk diketahui.
Pelajar harus siap menerima saran dan masukan dari orang lain terkait dengan apa yang dipelajarinya. Saran dan masukan tersebut yang nantinya dapat menjadi bahan introspeksi dan muhasabah diri, apakah ilmu yang diperoleh sudah benar atau tidak.
Hal yang paling penting adalah perlu ditekankan bahwa seorang pelajar harus memperbaiki dan meluruskan niatnya dalam mencari ilmu, agar tidak disesatkan oleh setan. Sama seperti niat Nabi Muhammad yang bertekad untuk kebaikan umat, maka Allah memberikan Nabi Muhammad pertolongan dengan mengutus Malaikat Jibril. Wallahu’alambishawwab.
Penulis : Firman Hardianto
Mahasiswa Aktif Pendidikan Fisika Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Editor : Novali Panji Nugroho