Jika berbicara soal mahasiswa, banyak hal yang bisa kita kaitkan dengan mahasiswa. Salah satunya adalah kampus. Dewasa ini, bagi sebagian mahasiswa, kehidupan kampus tidak seindah yang dibayangkan. Sudah jelas jika kehidupan kampus adalah kehidupan yang lebih luas lingkupnya dibandingkan tingkat pendidikan yang di bawahnya. Semakin luas kehidupan itu, semakin luas juga pola pergaulan dan potensi terjadinya konflik. Salah satu konflik di kampus yang sering terjadi hingga menjamur turun-temurun adalah budaya senioritas.
Secara definisi, senioritas adalah keadaan di mana lebih tinggi dalam pangkat, pengalaman, dan usia atau dalam arti lain adalah prioritas status atau tingkatan yang diperoleh dari umur atau lamanya bekerja. Budaya senioritas itu sendiri adalah budaya peninggalan feodalisme. Di mana yang muda menghormati yang tua dan menuruti segala apa yang dikehendakinya meskipun itu bertolak belakang dengan keinginan sang junior. Ungkapan “senior tidak pernah salah” makin dipopulerkan oleh banyak orang. Singkatnya dalam hal ini, senior lebih berkuasa di atas segalanya.
Di lingkup kampus, meski dikenal sebagai lingkungan para kaum intelektual, sering terjadi konflik antara senior dan junior, antara mahasiswa semester atas dengan mahasiswa semester awal. Kebanyakan mahasiswa baru atau biasa disebut maba, masih sungkan untuk mengekspresikan perasaannya dibandingkan dengan senior ketika berada dalam satu lingkup, baik akademik maupun non akademik.
Reporter Pabelan-online.com berkesempatan mewawancarai Patmisari, Dosen dan Sekretaris Program Studi (Sekprodi) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Minggu, 5 Juni 2022.
Bagaimana tanggapan Ibu terhadap kasus senioritas yang terjadi di lingkungan kampus?
“Sering, ya, kita dengan permasalahan senioritas di kampus, apalagi di sekolah semi militer. Pernah kita dengar ada mahasiswa yang sampai kehilangan nyawa karena ada praktik senioritas dan militerisme. Di UMS misalnya, yang notabene bukan sekolah semi militer, bukan seharusnya ada senioritas, tetapi saling menghormati. Adik tingkat menghormati kakak tingkat sebagai seniornya, begitu pula senior juga menghargai adik tingkat. Sebenarnya itu yang penting dibutuhkan, saling menghormati dan menjunjung tinggi tata krama.”
Menurut Ibu sendiri mengapa praktik senioritas itu bisa terjadi?
“Budaya turun-temurun. Dahulu ketika mereka jadi junior, mungkin pernah diperlakukan dalam tanda kutip, kurang menyenangkan. Maka mereka berpikir bahwa adik tingkat juga harus merasakan hal yang sama. Bisa dibilang kasus ini semacam balas dendam.”
Bagaimana tanggapan Ibu soal senioritas yang mengatasnamakan kedisiplinan?
“Kalau diterapkan di sekolah semi militer, kedisiplinan memang penting ditegakkan. Namun, menurut saya bukan dilakukan oleh senior. Mungkin seharusnya ada tim penegak disiplin sendiri, dari mahasiswa tetapi bukan senior ke junior.”
Tindakan atau respons dari kampus jika ada kasus tersebut bagaimana, ya, Bu?
“Tentunya, ya, senioritas seharusnya dihapuskan. Namun, disiplin tetap ditegakkan melalui tim khusus yang dibentuk kampus untuk menegakkan kedisiplinan, agar ke depannya tidak lagi terjadi konflik.”
Menurut Ibu, dampak negatifnya dari kasus senioritas ini apa?
“Dampak negatif biasanya terjadi pemanfaatan status senior yang berlebihan, misalnya kayak mengatasnamakan untuk kedisiplinan. Akan tetapi, kadang muncul perilaku semena-mena yang mungkin sampai melanggar hak asasi manusia. Untuk junior, akan timbul ketakutan, tertekan terhadap perilaku senior.”
Apakah memang kasus senioritas ini terjadi di kampus saja?
“Kalau sepengetahuan saya senioritas itu identik dengan sekolah semi militer. Tidak hanya di perguruan tinggi, beberapa sekolah mungkin masih ada praktik senioritas ini. Seperti misalnya proses Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau ospek. Kalau zaman dulu, ya. Ospek itu seperti ajang yang digunakan para senior untuk diakui dan terlihat hebat serta berwibawa oleh juniornya.”
Menurut Ibu senioritas itu perlu tidak, Bu? Dan jika perlu itu baiknya yang seperti apa?
“Seperti yang saya sampaikan tadi, kalau senioritas dikarenakan gengsi, tidak mau kalah bersaing dengan junior, hanya untuk butuh pengakuan (terlihat hebat di depan junior -red) sehingga timbul perilaku yang sewenang-wenang pada junior, itu tidak diperlukan. Yang lebih penting adalah saling menghormati dan menghargai. Dalam prestasi pun juga junior memiliki hak, punya kesempatan yang sama dengan senior. Yang tidak boleh itu ketika junior tidak sopan dengan senior.”
Apa solusi yang tepat untuk memutus tradisi senioritas ini?
“Sepertinya memang sampai saat ini sulit menemukan solusi untuk memutus rantai tradisi senioritas yang sudah turun-temurun ini. Akan tetapi, mungkin perlu penguatan pendidikan karakter terutama saling menghormati dan saling menghargai perbedaan.”
Bagaimana harapan Ibu ke depannya terkait kasus senioritas yang terjadi di kampus?
“Harapan saya, baik kampus maupun individu-individu perlu keberanian untuk memutus rantai praktik senioritas. Ketika praktik senioritas telah diputus, maka dapat diganti dengan praktik lain seperti membangun lingkungan yang lebih ramah, humanis, beradab, dan mendidik sehingga berbagai kegiatan kampus, salah satunya ospek tadi, menjadi salah satu aktivitas yang menyenangkan dan menggembirakan bagi mahasiswa baru, bukan kegiatan yang ditakuti. Maka nanti yang tercipta bukan junior takut pada senior, tetapi junior yang segan kepada senior. Tidak perlu jadi senior agar ditakuti, tetapi jadilah orang yang disegani.”
Reporter : Ridhwan Nabawi
Editor : Ashari Thahira