Kelahiran Masjid Kampus
Keberadaan masjid kampus di lingkungan pendidikan tinggi, khususnya di Indonesia, ditinjau dari aspek periodesasi maupun konseptual berbeda dengan masjid madrasah. Masjid madrasah dinamakan demikian, karena awal mula kelahiran madrasah melalui perluasan fungsi pendidikan masjid dengan pembangunan ruang-ruang kelas di sekitar bangunan masjid.
Namun, demikian terbentuknya ruang madrasah tidak mengaburkan kedudukan masjid sebagai pusat secara fungsional maupun spasial, karena masjid tetap menjadi bangunan yang paling monumental di lingkungan madrasah sekaligus tetap difungsikan untuk menyelenggarakan kegiatan pendidikan yang terintegrasi dengan ruang kelas.
Indonesia dan jauh ke belakang sebelum penamaan Indonesia dikenal, tipe masjid madrasah memiliki kesamaan dengan pondok pesantren yang menurut Pijper (1984), dalam pengamatannya terhadap masjid-masjid di Jawa sejak tahun 1900 hingga 1950 adalah berawal dari keberadaan rumah Kiai dan masjid yang lambat laun membentuk ruang-ruang kelas di sekitar masjid.
Masjid kampus ditinjau dari aspek fungsional dan spasial lebih tepat dipandang sebagai salah satu fungsi pendukung kegiatan pendidikan yang berlangsung di ruang kelas. Oleh karenanya, keberadaan masjid kampus di lingkungan pendidikan tinggi secara historis tidak bersamaan dengan pembangunan kampus, tidak pula ditempatkan di posisi sentral dalam lingkungan kampus yang umumnya diperuntukkan untuk gedung rektorat maupun perpustakaan sebagai simbolisasi birokrasi pendidikan tinggi modern dan ciri khas perkembangan ilmu pengetahuan.
Melihat realitas sejarahnya, Rifa’i dan Fakhruroji (2005) membagi eksistensi masjid kampus di Indonesia menjadi tiga periode, berawal pada 1960-1977 ketika terjadi benturan ideologi antara Islam dan Komunisme di Indonesia yang memuncak pada terjadinya peristiwa G30SPKI. Pada masa inilah lahir Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai masjid kampus pertama di Indonesia, tepatnya pada 1963 ketika peletakan batu pertama dilakukan, walaupun secara struktural tidak menjadi bagian dari ITB dan secara spasial berada di luar lingkungan kampus ITB. Bukti empirik ini menunjukkan keberadaan masjid kampus di Indonesia memang jauh lebih belakangan dibandingkan kelahiran institusi pendidikan tinggi yang telah dirintis sejak masa Kolonialisme.
Sejak saat itulah tumbuh subur masjid kampus di lingkungan perguruan tinggi negeri di Indonesia. Fenomena yang berlangsung hingga hari ini memiliki perbedaan dengan kelahiran masjid kampus di lingkungan pendidikan tinggi Islam. Saya akan menyebut dua saja untuk menunjukkan perbedaannya, yakni masjid kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Universitas Islam Indonesia (UII).
Dua lingkungan pendidikaan tinggi Islam tersebut, masjid kampus menempati posisi sentral, di mana Masjid Fadlurrahman di kampus satu UMS dan Masjid Ulul Albab di kampus terpadu UII berada paling depan, seakan menjadi pintu gerbang memasuki lingkungan kampus untuk membentuk citra institusi pendidikan tinggi Islam.
Terkait Masjid Fadlurrahman, Moh. Djazman sebagai salah satu tokoh perintis UMS memang menetapkan masjid kampus berada di posisi terdepan dan dibangun terlebih dahulu dalam proses pendirian kampus untuk menarasikan kampus di dalam masjid, bukan sebaliknya, masjid di dalam kampus.
Dengan narasi demikian, diharapkan terbentuk persepsi di dalam civitas academica UMS bahwa kegiatan yang berlangsung di UMS bermula dari masjid ketika memasuki kampus dan berakhir pula di masjid saat meninggalkan kampus, sehingga seluruh kegiatan yang dilakukan di lingkungan UMS haruslah berlandaskan iman yang berpangkal di masjid.
Tampaknya, fenomena keberadaan masjid kampus di lingkungan pendidikan tinggi Islam bergerak mendekati tipe masjid madrasah, terkhusus yang terjadi dalam kesejarahan UMS. Masjid tidak sekedar ada melengkapi fasilitas pendukung pendidikan tinggi, tetapi menjadi pusat yang mengikat ruang-ruang lainnya.
Konteks kelahiran masjid kampus di Indonesia yang bermula di lingkungan pendidikan tinggi negeri memang tidak dapat dilepaskan dari suasana benturan ideologi antara Islam dan Komunisme. Imaduddin Abdulrahim (2002), salah satu tokoh Muslim sekaligus aktivis masjid kampus di ITB mengungkap kondisi masa-masa tersebut, di mana bukan saja persoalan ketersediaan masjid sebagai ruang peribadatan yang dibutuhkan civitas academica kampus, tetapi juga pengajaran agama Islam yang mampu dipahami dan diterima oleh kalangan cerdik pandai di tengah benturan ideologi yang menyebabkan berbagai kebingungan.
Pada masa ini pula terjadi gelombang hijrah pertama. Dapat dikatakan demikian karena berhasil menunjukkan dakwah Islam di kalangan civitas academica pendidikan tinggi. Sehingga yang pada awalnya awam agama, bahkan memusuhi agama, kini kembali menjadi bagian dari masyarakat Islam yang berpusat di masjid.
Merujuk pada periodesasi sejarah umat Islam di Indonesia yang diusulkan Kuntowijoyo (2017a), kita dapat menempatkan awal mula kelahiran masjid kampus di Indonesia dan terjadinya gelombang hijrah pertama pada fase Islam sebagai ideologi.
Pertanyaannya, pada periode masa kini, oleh Rifa’i dan Fakhruroji (2005) disebut masa pemertahanan eksistensi masjid kampus di Indonesia setelah mengalami represi sepanjang kekuasaan Orde Baru yang terbilang panjang, mencapai 30 tahun.
Apakah masih relevan mode kesadaran Islam sebagai ideologi untuk landasan dakwah Islam di lingkungan pendidikan tinggi yang berpusat di masjid kampus? Kesadaran Islam sebagai ideologi mensyaratkan diidentifikasinya paham yang bertentangan dengan Islam untuk diposisikan sebagai musuh.
Pasca tumbangnya Komunisme di Dunia Barat yang ditandai bubarnya Uni Soviet pada 1990, paham apakah yang harus diposisikan sebagai musuh? Lalu, apakah mode kesadaran ideologis dapat digunakan untuk mempertahankan eksistensi masjid kampus Indonesia di tengah berbagai tantangan kehidupan masa kini? Pertanyaan besarnya, lalu harus mengarah ke mana orientasi dan agenda masjid kampus di Indonesia?
Agenda Masjid Kampus
Kuntowijoyo (2006) telah memperingatkan bahwa tantangan terbesar kehidupan masa kini yang harus dihadapi bangsa Indonesia berasal dari industrialasi yang menyebabkan berbagai dampai buruk, karena berasaskan pada liberalisasi yang berpangkal pada paradigma ekonomi Kapitalisme. Alih-alih bertahan pada mode kesadaran Islam sebagai ideologi, Kuntowijoyo mendorong umat Islam di Indonesia untuk meningkatkan kesadaran dengan beralih pada mode Islam sebagai ilmu.
Industrialisasi di Dunia Barat yang diawali dengan berbagai revolusi dan mendapatkan momentum ketika terjadinya revolusi industri, pada hakikatnya merupakan perubahan kehidupan ekonomi melalui penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) modern dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan bertahan pada mode kesadaran ideologis, maka akan menjadikan umat Islam membuta tuli menyerang industrialisasi sebagai musuh yang harus dijauhi dan diperangi, sehingga justru akan menyebabkan keterbelakangan pada bangsa Indonesia.
Untuk menghadapi industrialisasi dengan cara mengantisipasi dampak buruk dan mengganti landasan paradigmanya, bagi Kuntowijoyo (2017b), harus menempatkan industri sebagai fenomena IPTEK modern yang hanya dapat dihadapi dengan mode kesadaran Islam sebagai ilmu.
Dalam rangka menghadapi tantangan industrialisasi itu pula, orientasi dan agenda masjid kampus di Indonesia harus dilandasi kesadaran Islam sebagai ilmu dalam merealisasikan perannya sebagai masjid, sebagaimana dijelaskan oleh Rifa’i dan Fakhruroji (2005) yang terdiri dari peran (1) ijtimaiyyah; (2) risalah; dan (3) khidmat.
Merujuk kepada Kuntowijoyo (2001), peran ijtimaiyyah masjid kampus di Indonesia yang bertujuan membentuk masyarakat Islam di lingkup civitas academica mendapatkan tantangan besar sebab kelahiran generasi baru umat Islam yang diberinya nama generasi Muslim tanpa masjid, yakni generasi yang tidak memiliki ikatan psikologis, sosiologis, maupun intelektual dengan masjid.
Generasi ini lahir dan tumbuh besar di kota-kota industri dari keluarga awam agama, sehingga sejak kecil tidak memiliki pengalaman berinteraksi dengan masjid dan tidak pernah mendapatkan pendidikan di masjid. Karenanya, generasi ini merasa bukan bagian dari masyarakat Islam yang berpusat di masjid.
Kuntowijoyo (2001) mengamati, generasi Muslim tanpa masjid cenderung mengalami titik balik dalam kehidupan keagamaannya di lingkungan pendidikan tinggi melalui aktivitas dakwah kampus. Dengan demikian, penting sekali dalam merealisasikan peran ijtimaiyyah-nya, masjid kampus mampu merangkul kalangan civitas academica yang awam agama, baik dari mahasiswa, dosen, maupun tenaga kependidikan untuk menjadi bagian dari jamaah kampus.
Persoalan ini menjadi tantangan yang tidak mudah untuk diselesaikan, karena membutuhkan strategi yang mampu menarik keterlibatan generasi awam agama untuk berkegiatan di masjid sebagai bagian dari komunitas umat Islam. Kuntowijoyo (2001) menawarkan dibentuknya berbagai komunitas yang berpusat di masjid kampus untuk menarik minat kalangan awam agama, yakni meliputi komunitas seni, IPTEK, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan masing-masing lingkungan pendidikan tinggi.
Tantangan kedua bagi masjid kampus membentuk masyarakat Islam di lingkup pendidikan tinggi, ialah pengerasan identitas lembaga dakwah kampus maupun organisasi Islam yang tidak dapat dipungkiri seringkali menyulut terjadinya benturan dan konflik di internal aktivis dakwah.
Masalah tersebut dapat diselesaikan dengan strategi posharokah (Gerakan –red), sebagaimana diusulkan dan digagas oleh Arif Wibowo (2017), melalui tiga agenda. Pertama, pengakuan terhadap lingkup dan otoritas masing-masing lembaga dakwah kampus maupun organisasi Islam. Kedua, ditingkatkannya komunikasi keilmuan antar lembaga dakwah kampus maupun organisasi Islam, agar dapat terjalin kerjasama dan dapat tersusunnya rencana bersama yang memberikan peran kepada masing-masing pihak sesuai dengan otoritas yang dimiliki. Ketiga, inklusivitas kaderisasi lembaga dakwah kampus maupun organisasi Islam dengan membaurkan kader masing-masing pihak dalam kegiatan dan agenda bersama.
Bersamaan dengan pembentukan jamaah kampus yang terdiri dari berbagai kalangan civitas academica, direalisasikan pula peran risalah yang menempatkan masjid kampus sebagai pusat pengkajian ilmu-ilmu keislaman.
Kuntowijoyo (2001) menggarisbawahi, dalam konteks menghadapi tantangan industrialisasi, pengkajian ilmu-ilmu keislaman di masjid kampus harus terintegrasi dengan IPTEK modern yang berorientasi merumuskan paradigma alternatif bagi umat Islam, pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya untuk terlibat dan menguasai industrialisasi.
Satu sisi, realisasi peran risalah masjid kampus tersebut dapat menarik minat kalangan civitas academica awam agama yang membutuhkan penjelasan Islam secara rasional dan terintegrasi dengan bidang IPTEK yang digeluti, sebagaimana diungkap oleh Imaduddin Abdulrahim di atas yang akrab dipanggil bang Imad. Di sisi lain, realisasi peran risalah masjid kampus akan menyediakan landasan intelektual dan keilmuan untuk digunakan umat Islam terlibat dalam proses industrialisasi yang sedang berlangsung di Indonesia.
Peran yang pertama bertujuan untuk menyediakan modal sosial masjid kampus, sementara peran yang kedua bertujuan merumuskan paradigma industrialisasi yang berasaskan Islam sebagai jalan alternatif terwujudnya industri. Dengan terpenuhinya dua peran tersebut, masjid kampus dapat melakukan peran ketiga, yakni peran khidmat yang berorientasi pada amal untuk mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Kuntowijoyo (2006) merinci dampak buruk industrialisasi yang seharusnya menjadi agenda amal masjid kampus, meliputi krisis (1) identitas akibat universalisme kultural yang berujung pada globalisasi; (2) makna hidup akibat orientasi serba ekonomi; (3) dehumanisasi akibat dominannya sistem birokrasi dan dominannya peran teknologi; (4) kesenjangan kelas akibat tertutupnya kelas ekonomi atas; dan (5) lingkungan akibat eksploitasi untuk menghasilkan produk industri maupun dampak dari penggunaan produk industri.
Kuntowijoyo (2017a) berkeyakinan dengan kesadaran Islam sebagai ilmu, maka umat Islam dapat terlibat aktif dalam industrialisasi dengan mengusung dua agenda prioritas. Pertama, agenda emansipasi, yakni pembelaan terhadap kalangan yang tertindas atau tersingkir dalam proses industrialisasi yang sedang berlangsung. Kedua, agenda transformasi, dengan mewujudkan industri yang humanis, bebas dari segala struktur yang merusak, dan lekat dengan nilai-nilai ketuhanan.
Upaya mengusung dua agenda prioritas tersebut dimungkinkan jika masjid kampus dapat merealisasikan perannya menyediakan sumber daya Muslim dan modal IPTEK yang dibutuhkan untuk terlibat pada setiap jenis industri. Industri berat atau industri menengah, industri skala negara atau industri rakyat, industri barang atau industri jasa, industri mekanik atau industri digital.
Maka sudah seharusnya kita sebagai umat Islam dan sebagai bagian dari bangsa Indonesia bersikap optimis, akan mampu mewujudkan kehidupan yang baik di dunia sebagai amanah dari Tuhan. Untuk itu, terlebih dahulu mutlak harus dilakukan reorientasi terhadap kepengelolaan masjid kampus agar tidak mengalami kebingungan harus ke mana?
Penulis : Andika Saputra
Dosen Program Studi Arsitektur Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
Editor : Rifqah