Beberapa perguruan tinggi di Indonesia saat ini telah mulai memasuki tahun ajaran barunya, baik itu perguruan tinggi negeri maupun swasta. Ratusan ribu siswa-siswi penjuru negeri pun turut antusias mencari informasi terkait perguruan tinggi yang ingin ditujunya.
Beragam cara dapat dilakukan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ada yang melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), Seleksi Prestasi Akademik Nasional Perguruan Tinggi (SPAN), atau berbagai jalur beasiswa yang juga menjadi incaran dari para siswa lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) tersebut.
Hingga bulan Juni kemarin, setidaknya terdapat 758.300 siswa tercatat siswa telah mendaftar Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah untuk tahun ini. Dari data tersebut bisa kita saksikan antusias yang begitu tinggi dari para siswa tamatan SMA/sederajat yang hendak melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Bahkan, hampir di setiap daerah pasti ada siswa yang rela mengambil gap year (menunda tahun perkuliahan –red) demi bisa menembus perguruan tinggi impiannya. Ada calon mahasiswa yang berusaha keras mencari beasiswa sana sini demi bisa berkuliah, ada pula yang sudah membanting tulang demi bisa membiayai kuliahnya nanti.
Namun, terlepas dari hal tersebut, tingginya naluri akan mencicipi bangku perkuliahan itu juga menjadi sebuah pertanyaan. Sebab, mungkin telah sama-sama kita ketahui, bahwa setiap tahunnya Indonesia sudah banyak melahirkan sarjana-sarjana baru yang memiliki bekal pada kompetensinya masing-masing.
Dan itu rasanya tidak seimbang dengan lapangan pekerjaan yang disediakan. Sehingga bisa dikatakan, per hari ini gelar sarjana yang diperoleh mahasiswa–baik dengan tiga setengah tahun, empat tahun, atau bahkan lebih dari itu–tidak bisa menjamin mereka mendapatkan pekerjaan yang relevan dengan gelar yang terpampang di bagian akhir nama.
Dari fenomena demikian sebenarnya bisa menjadi bahan refleksi kembali bagi para mahasiswa, khususnya mahasiswa baru yang pada akhirnya memilih melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Mungkin di setiap kampus saya rasa keberagaman jenis mahasiswanya hampir sama.
Ada mahasiswa yang biasa disebut dengan mahasiswa kupu-kupu alias kuliah pulang-kuliah pulang. Mahasiswa yang demikian biasanya hanya kuliah sekadar untuk mendapatkan gelar, atau mindset-nya terhadap bangku perkuliahan itu sebagai jalan mendapatkan pekerjaan dengan mudah.
Selain itu ada juga yang memang karena tuntutan dari keluarga atau orang tua, sehingga dalam perkuliahan pun tak ada niat lain kecuali hanya pergi ke kampus saja.
Ada pula tipikal mahasiswa yang memang tidak benar-benar berniat berkuliah–karena berbagai faktor–sehingga biasanya ia lebih cenderung menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang memang memuaskan gairah masa mudanya saja. Entah itu banyak nongkrong sana sini, main game tak kenal waktu, atau memang ia lebih fokus tuk memilih bekerja dibanding fokus akan perkuliahannya.
Yang pada gilirannya tak sedikit dari mahasiswa tipikal ini yang tak lulus tepat waktu. Walaupun, masih ada faktor-faktor lainnya juga yang bisa membuat mahasiswa itu tidak lulus pada waktu sewajarnya. Terkait dengan lambatnya mahasiswa menyelesaikan pendidikan sarjananya, mungkin sebagian orang, khususnya mahasiswa itu sendiri, beranggapan bahwa salah satu faktor penyebabnya ialah karena hyperaktive dalam berorganisasi.
Sebagian mungkin setuju, lainnya mungkin tidak. Dan itu lagi-lagi tergantung pada pandangan pembaca masing-masing yang melihat fenomena tersebut. Namun, menurut saya, fenomena itu bukanlah menjadi sebuah hal yang kemudian kita sebagai mahasiswa harus anti akan organisasi.
Malahan, agaknya mencicipi bangku perkuliahan tanpa dibarengi dengan aktif berorganisasi bagaikan makan nasi tanpa kerupuk. Terlebih bagi mereka-mereka yang semasa sekolahnya minim akan berorganisasi, sepertinya masa perkuliahan ini merupakan salah satu waktu yang tepat untuk berekplorasi di organisasi.
Di sisi lain, sebagaimana telah disampaikan di awal perihal daya saing pekerjaan yang tinggi, dengan memiliki pengalaman berorganisasi, itu akan menjadi nilai lebih yang kita miliki setelah lulus nantinya.
Melatih kepemimpinan, belajar keadministrasian organisasi atau kelompok, bekerja dalam tim, disiplin waktu, menjaga sebuah amanah, menumbuhkan sikap bertanggung jawab, meningkatkan soft skill, berani public speaking, dan banyak hal lagi bisa kita dapatkan lewat keikutsertaan di organisasi.
Merupakan sedikit dari beberapa manfaat dan juga nilai lebih dari kita mengikuti sebuah organisasi. Selain daripada itu, pengalaman juga menjadi satu hal yang menurut saya sangat penting dan juga berharga untuk kehidupan.
Dibanding memilih menjadi mahasiswa kupu-kupu, yang bisa jadi hanya akan memiliki minim pengalaman selama masa perkuliahan, organisasi-organisasi ataupun unit kegiatan mahasiswa telah menyodorkannya kepada kita lewat perantara kampus.
Tinggal bagaimana kita bisa masuk dalam wadah tersebut, memaksimalkannya, dan berkontribusi di dalamnya. Karena setiap individu dari kita tentunya punya potensi basic skill atau kelebihan masing-masing yang sebenarnya masih bisa dikembangkan dan diasah lagi. Dan menurut saya setiap kampus telah menyediakan wadah pengembangan diri tersebut.
Sayang jika potensi-potensi kemampuan yang kita miliki sejak dahulu, harus kandas atau terpendam dalam diri kita ketika lebih memilih mengejar gelar dengan harapan kemudahan dalam memperoleh pekerjaan. Memang itu tak salah, tetapi di tengah daya saing kerja zaman sekarang ini, terkadang kemampuan soft skill bisa menjadi kunci bagi diri kita memperoleh apa yang diinginkan.
Nah, sekarang tinggal bagaimana kita sebagai mahasiswa bisa menyeimbangkan antara jam perkuliahan dan juga keorganisasian. Karena kedua hal itu sangatlah penting dan akan menjadi rugi jika kita harus mengorbankan satu di antara keduanya.
Penulis           : Alfin Nur Ridwan
Mahasiswa Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surakarta
Â
Editor            : Aliffia Khoirinnisa