Mahasiswa merupakan tumpuan kelanjutan hidup bangsa dan negara. Kegiatan aktivisme mahasiswa berangkat dari realitas bahwa mahasiswa adalah barisan bersama, yang tergabung secara bersangkutan dari masyarakat. Hanya saja mahasiswa relatif sedikit lebih unggul ketimbang masyarakat umum, sebab mahasiswa pada dasarnya adalah segolongan cendekiawan muda, yang memiliki posisi lebih tinggi daya tawarnya terhadap masyarakat.
Mahasiswa juga merupakan salah satu kelompok sosial yang secara aktif turut menunjukkan keterlibatannya dalam alur sejarah politik bangsa. Siapa yang tak lupa di ingatan, bahwa bagaimana melalui kekuatan mahasiswalah yang turut andil dalam Gerakan Mei 1998 kala itu, yang menemui puncak momentumnya dan melengserkan kekuatan rezim otoriter orde baru yang diduduki Soeharto.
Mereka bukan orang-orang yang menjelma menjadi pahlawan super dengan membawa-bawa megafon dan meneriakan jargon atas nama kesadaran kelas. Mereka adalah generasi yang dididik dalam optimisme. Mereka adalah generasi yang dibius oleh semangat pembaharuan setelah masa chaos berlalu.
Akan tetapi, generasi inilah yang mengalami kehancuran cita-cita itu semuanya. Demoralisasi (kemerosotan akhlak –red) dalam segala bidang dan yang paling parah ialah mahasiswa kini tunduk pada sistem “Bapak-Anak” yang paling baru.
Tidak sedikit mahasiswa yang mendapat atau mencari stempel “aktivis” di wilayah kampus, usia mereka berkisar antara 17 hingga 22 tahun jika menurut pada sistem pendidikan negeri kita saat ini.
Kata “aktivis” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam kategori politik dan pemerintahan berarti seseorang yang menggerakkan (demonstrasi dan sebagainya). Sedangkan aktivisme secara kasar dapat diartikan sebagai kegiatan daripada (para) aktivis itu sendiri.
Gerakan mahasiswa mengalami pasang surut dari periode satu ke periode lainnya. Aktivisme mahasiswa mendapat dukungan, tetapi lebih banyak kecaman dari rezim yang ada saat itu.
Jika flashback ke belakang pada 2021 lalu, kita dikejutkan dengan adanya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dinilai hanya menguntungkan sebelah pihak saja.
Pada saat itu mahasiswa berbondong-bondong menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Mahasiswa bergerak atas kemauan dan biaya sendiri. Tidak ada sokongan dana dari manapun, semua iuran bahkan kegiatan dikerjakan bersama. Mulai dari mengurus demo, mengatur massa, membuat spanduk, materi orasi, sampai kebutuhan makan dan minum.
Sebelum turun ke jalan, ribuan mahasiswa tersebut berkonsolidasi baik di kampus masing-masing maupun antar kampus. Mereka diskusi bersama-sama untuk menyuarakan keresahan yang ditangkap dari suara masyarakat yaitu tentang RUU KUHP.
Benang merah bisa ditarik bahwa gerakan mahasiswa ini menjadi salah satu pilar penting artikulasi suara politik kaum muda, terutama mahasiswa dalam menyikapi berbagai permasalahan bangsa.
Keberadaannya perlu terus dipertahankan demi menciptakan mahasiswa yang tidak saja berkubang dalam intelektualitas, tetapi juga peduli dengan persoalan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Bagaimanapun, perlu diberi perhatian secara khusus dalam segi kualitas suara yang diaspirasikan oleh mahasiswa.
Penulis: Ridhwan Nabawi
Mahasiswa Aktif Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Kholisa Nur Hidayah