Kekerasan seksual di kampus kerap terjadi pada dekade kali ini. Permasalahan kekerasan seksual telah menjamur dari zaman dahulu, entah siapa pencetusnya. Dari pihak kampus pun terlihat lamban dalam penanganan, serta menutup-nutupi kasus kekerasan seksual demi nama baik institusi.
Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, telah terjadi sebanyak 35 kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Tak heran apabila hal tersebut menjadikan kampus sebagai lingkungan pendidikan yang paling banyak memiliki kasus kekerasan seksual. Angka yang terbilang tidak sedikit, apalagi kekerasan seksual yang terjadi di dalam ekosistem pendidikan terutama kampus. Lantas, apakah memang sebobrok itu ekosistem yang diciptakan dalam lingkungan kampus?
Ditambah lagi dengan adanya survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2020 lalu. Sebanyak 77% dosen mengakui bahwa di kampusnya telah terjadi kekerasan seksual dan sebanyak 63% kasus pelecehan seksual di kampus tidak pernah dilaporkan.
Sebuah angka yang fantastis, menggambarkan kebusukan serta kebobrokan yang terjadi dalam ekosistem kampus. Relasi kuasa, demi nama baik hingga ancaman-ancaman seperti drop out menghiasi fenomena yang ada. Tak khayal banyak dari korban terpaksa berjabat tangan dengan pelaku kekerasan seksual ketimbang melaporkanya ke pihak yang berwenang.
Ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban merupakan kerentanan yang sering kali dimanfaatkan. Dengan mempunyai relasi kuasa yang kuat, pelaku membuat dirinya seakan-akan superior. Kemudian, dengan paradigma masyakarat yang beranggapan bahwa seseorang yang memiliki otoritas keilmuan dan keagamaan lebih dapat dipercaya ketimbang korban. Hal-hal tersebut yang membuat korban takut dan merasa tabu untuk mengungkapkannya.
Dengan adanya relasi kuasa yang kuat dan minimnya pengaduan, serta tidak adanya akses pemulihan membuat penanganan kekerasan seksual di dalam kampus menjadi sangat sulit. Maka, dapat diartikan bahwa tidak ada penegakkan keadilan, di mana pelaku masih bebas berkeliaran. Bahkan pelaku masih bisa memanfaatkan relasi kuasa untuk menekan korban.
Ditambah lagi, dengan adanya sikap kampus yang sengaja menutupi kasus kekerasan seksual demi mempertahankan reputasi yang dimiliki. Sikap seperti itu telah mencoreng Tridarma Perguruan Tinggi. Serta memposisikan kampus pada pihak pelaku ketimbang melindungi dan memberikan support maksimal kepada korban pelecehan seksual. Maka, tidak menutup kemungkinan dari pihak kampus dengan sengaja mencari jalan yang katanya damai dari kasus pelecehan seksual, tanpa memikirkan apa yang telah dialami oleh korban.
Sikap yang hanya memikirkan kepentingan sepihak, tak layak diambil oleh kampus. Karena reputasi yang dimiliki kampus sekarang bukan dihasilkan oleh pihak dosen saja, tetapi para mahasiswa juga memiliki peranan penting dalam citra reputasi kampus. Maka, tak pantas apabila dengan dalih menjaga reputasi, solusi yang diambil pihak kampus berupa menutup-nutupi kasus kekerasan seksual dan memaksa korban untuk berjabat tangan dengan pelaku.
Kampus sebagai lembaga pendidikan seharusnya bisa bersikap lebih objektif dalam menghadapi kasus pelecehan seksual. Kemudian bisa menciptakan ekosistem yang adil dan bermartabat bagi setiap civitas academica. Menciptakan ruang-ruang akademik yang sarat keilmuan, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Bukan malah menjadikan kampus sebagai ruang-ruang kekerasan seksual, serta memberi wadah bagi para pelaku kekerasan seksual dengan relasi kuasa yang dimilikinya.
Dengan adanya regulasi dari Kemendikbudristek berupa Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Pelecehan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, telah memberikan sebuah harapan untuk pencegahan dan penanganan yang lebih baik. Dengan begitu aturan yang secara spesifik menangani persoalan pelecehan seksual di lingkungan kampus diharapkan dapat memberikan payung hukum yang kuat bagi korban, guna melawan pelaku kekerasan seksual dalam ekosistem kampus.
Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan kampus, juga diharapkan dapat mendorong setiap civitas academica untuk meningkatkan keamanan diri dan lingkungan kampus agar terlindung dari perilaku kekerasan seksual. Serta dapat mengawasi dan mendorong pihak kampus untuk dapat bersikap objektif dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Dengan pembentukan Satgas PPKS, juga memberikan wadah kepada korban untuk pengaduan dan membantu dalam upaya pemulihan diri dari trauma yang dialami.
Maka dengan adanya regulasi dan pembentukan Satgas PPKS, membuat Kemendikbudristek selaku yang berwenang dan bertanggung jawab dapat memastikan setiap penyelenggara pendidikan dan peserta didiknya menjalankan fungsi Tridarma Perguruan Tinggi dengan baik dan benar. Selain itu, dapat lebih mudah mengetahui dan menangani kasus kekerasan seksual di dalam kampus.
Kekerasan seksual di lingkungan kampus telah mencoreng citra kampus sebagai lembaga pendidikan yang di dalamnya diisi oleh orang-orang yang terbilang memiliki kredibilitas keilmuan yang memumpuni. Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus juga teramat sulit untuk ditangani karena banyaknya hambatan, mulai dari relasi kuasa pelaku, kampus yang dengan sengaja menutup-nutupi, serta ketidakberdayaan atas tekanan yang diberikan kepada pihak korban dan membuat permasalahan semakin rumit.
Besar harapannya dengan adanya regulasi dari Kemendikbudristek dan pembentukan Satgas PPKS dapat meminimalisir, bahkan mungkin bisa menghilangkan kekerasan seksual di ruang-ruang akademik. Tak cukup dengan itu saja, perlu adanya kesadaran tinggi dari mahasiswa dan pihak kampus terkait kasus kekerasan seksual. Setiap mahasiswa memiliki hak untuk menyelesaikan pendidikan dengan aman, nyaman, dan tenteram.
Penulis: Bagas Pangestu
Mahasiswa Aktif Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surakarta
Â
Editor: Ashari Thahira