UMS, pabelan-online.com – Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus terhadap mahasiswi kembali terjadi di Universitas Palangka Raya (UPR). Kali ini terduga pelaku merupakan dosen dari Fakultas Teknik UPR. Kini kasus tersebut telah dilaporkan ke Polisi Daerah (Polda) Kalimantan Tengah.
Sebelumnya pada tahun 2019 lalu, kasus serupa telah terjadi di kampus UPR, di mana korban adalah mahasiswi dan pelaku adalah dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UPR. Kemudian pelaku dijatuhi hukuman selama 18 bulan kurungan penjara. Baru-baru ini, kasus kekerasan seksual di UPR terulang kembali dengan terduga pelaku ialah dosen dari Fakultas Teknik UPR.
Aryo selaku Narahubung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya belum dapat memastikan secara langsung kronologi kejadian, karena terdapat kendala perihal komunikasi dengan korban.
Akan tetapi, berdasarkan pemberitaan yang beredar terdapat dugaan ancaman nilai yang dilakukan oleh terduga pelaku kepada korban. Ia mengatakan, jika LBH Palangka Raya tidak secara langsung mendampingi korban dikarenakan korban telah didampingi oleh penasihat hukum dan psikolog.
Adanya kasus ini merupakan tanda bahwa UPR gagal melaksanakan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Gagalnya pelaksanaan Permendikbudristek tersebut diperkuat dengan belum terbentuknya Tim Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di UPR.
“Sepertinya korban dalam kasus ini tidak hanya berjumlah satu saja, tetapi masih ada korban lainnya yang belum bersuara,” curiga Aryo, Senin (17/10/2022),
LBH Palangka Raya menyatakan akan selalu mengawal kasus kekerasan seksual seperti ini untuk memperjuangkan hak-hak korban yang harus berhadapan dengan hukum. Dan apabila benar terdapat korban lainnya, kata Aryo, pihaknya siap untuk mendampingi para korban.
Aryo menegaskan jika Kemendikbud perlu untuk melakukan evaluasi terhadap UPR. Salah satu sanksi dari tidak terlaksananya Permendikbud Nomor 3 Tahun 2021 ini ialah pencabutan akreditasi kampus.
Ia berharap agar UPR tidak mencoba menutupi kasus kekerasan seksual ini dan harus menjadi garda terdepan dalam menuntaskan kasus tersebut.
Menurutnya, pencegahan yang seharusnya dilakukan yaitu dengan membentuk Tim Satgas PPKS di UPR secepatnya, melakukan evaluasi terhadap kode etik dosen, dan memperketat aturan di kode etik dosen.
Selain itu, Aryo menegaskan kalau pihak kampus agar berani memberikan sanksi tegas terhadap terduga pelaku kekerasan seksual dan tidak lagi melindungi pelaku dengan dalih menjaga nama baik kampus.
“Kami berharap kasus ini bisa diproses secara profesional serta tetap mengedepankan dan mengutamakan hak korban,” harapnya.
Imam Basar, Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPR menyayangkan adanya kasus kekerasan seksual yang kembali terjadi di UPR.
Ia mengatakan, bahwa BEM UPR telah mengawal kasus dengan melakukan beberapa upaya yang mendorong agar kasus segera dituntaskan.
Ia menambahkan kalau pihaknya telah melaksanakan audiensi antara BEM, mahasiswa, dan Rektor UPR mengenai pembahasan penuntasan kasus dan hak-hak yang harus diterima oleh korban, baik hak pendidikan maupun hak hukum agar dapat segera dipenuhi.
Tim Satgas PPKS di UPR, kata Imam, sempat akan terbentuk. Namun, karena terkendala dalam hal teknis, keberadaan tim tersebut belum jadi terbentuk.
Saat ini, katanya, tim penyusun Satgas PPKS tengah dipersiapkan agar dapat memenuhi Permendikbudristek Nomor 3 Tahun 2021.
“Harapan saya sendiri bagaimana universitas ini dapat memberikan ruang aman dan nyaman yang jauh dari kekerasan seksual,”” harap Imam, Selasa (18/10/2022).
Ia juga berharap supaya proses pemenuhan hak-hak korban maupun pelaku dapat dilakukan secara adil di mata hukum, agar kasus kekerasan seksual tidak terulang kembali di UPR.
Reporter : Wahyu Agustina Nur Cahyani
Editor : Kholisa Nur Hidayah