Demokarasi kampus merupakan tindakan kritik terhadap suatu kebijakan yang dianggap tidak menguntungkan bagi mahasiswa demi keadilan bersama. Hal ini dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya yakni dengan melakukan aksi unjuk rasa di depan otoritas rektorat dengan harapan bahwa berbagai kritik yang disampaikan mampu memberikan jawaban dan solusi terhadap kebijakan tersebut.
Namun, sering kali respons yang diberikan dari pihak otoritas malah mengancam mahasiswa dengan adanya tindakan represi. Kemudian pihak kampus malah membentuk komite dispilin mahasiswa, yang memperkuat sikap anti kritiknya. Salah satunya adalah tindakan kasus sembilan mahasiswa Universitas Bangka Belitung yang diskorsing oleh pihak rektorat, karena memperjuangkan demokrasi kampus.
Reporter Pabelan-online.com berkesempatan mewawancarai Eko Prasetyo, dosen sekaligus Aktivis tahun ’98 yang kini aktif sebagai pengamat pendidikan di Indonesia pada Rabu, 26 Oktober 2022.
Bagaimana pandangan Anda tentang represifitas kampus saat ini?
“Saya berpendapat situasi kampus sekarang ini penuh tekanan. Tekanan itu muncul dalam situasi di mana kampus dituntut untuk saling berkompetisi dalam merebut mahasiswa, berkompetisi dalam peningkatan peringkat akreditasi hingga berkompetisi dalam merias bangunan fisik. Suasana kompetitif antar kampus itulah yang membuat suasana di lingkungan kampus menjadi makin represif. Kampus kemudian menuntut mahasiswa hingga dosennya untuk berkompetisi juga. Situasi itulah yang memberi tekanan yang membuat suasana represif dominan di kampus.”
Mengapa bisa muncul adanya tindakan represifitas kampus?
“Suasana represif di kampus muncul karena iklim kompetisi yang membuat kampus terlibat dalam berbagai usaha untuk meningkatkan perfomanya. Misalnya, kampus mulai mendisplinkan dosen dan mahasiswanya melalui berbagai aturan yang bertujuan untuk peningkatan stabilitas di kampus, sekaligus untuk memastikan kehidupan kampus sesuai dengan nilai-nilai yang tercakup dalam akreditasi.”
Apa saja bentuk represifitas di kampus itu?
“Ada tiga pola kebijakan kampus yang represif. Pertama, pendisiplinan dengan membuat berbagai aturan yang membatasi hak dan kebebasan mahasiswa. Misalnya, larangan berambut panjang hingga bagaimana tata cara berkomunikasi lewat WhatsApp antara mahasiswa dengan dosen. Kedua, pemasungan dengan melakukan pemberedelan hingga penutupan paksa organisas imahasiswa. Misalnya, dengan memberedel pers mahasiswa yang liputannya dianggap tidak sesuai dengan kebijakan kampus. Bahkan, ada kampus yang membubarkan acara penerimaan mahasiswa baru, karena mahasiswa baru protes atas kenaikan uang kuliah kampus. Ketiga, kriminalisasi dengan membawa mahasiswa ke ranah hukum karena dianggap memcemarkan nama baik kampus atau menjatuhkan sanksi drop out pada mahasiswa yang protes pada kebijakan kampus.”
Apakah ada perbedaan antara tindakan represifitas saat ini dengan represifitas kampus di tahun 1998 kala itu?
“Sangat berbeda. Malah di tahun 90-an kampus jauh lebih demokratis, kuliah batas waktunya panjang, demonstrasi malah didukung bahkan kampus membebaskan mahasiswa dalam soal penampilan. Di tahun 90-an, yang represif adalah penguasa. Sekarang situasinya kampus represif dan penguasanya juga represif. Jadi jauh lebih buruk. Dahulu buat acara politik masih diberi kebebasan, tetapi tentara bisa setiap saat masuk untuk membubarkan. Sekarang sudah acara susah izinnya, malah kadang diserbu oleh organisasi masyarakat segala.”
Bagaimana usaha yang dapat dilakukan untuk melawan represifitas itu?
“Kita musti melawan represifitas dalam segala bentuknya. Sekarang senjata anak muda adalah media sosial. Saat kita ditekan kebebasannya, maka semua orang perlu diberitahu keadaannya. Seperti kasus pelecehan seksual di kampus yang diangkat ramai, itu membuat pihak kampus mau tidak mau harus mengusutnya. Sekarang kampus sangat khawatir dengan nama baik atau reputasi, sehingga mereka berusaha sejauh mungkin untuk menjaga itu semua. Di samping media sosial, kita juga harus mendorong solidaritas yang lebih luas, saat ada mahasiswa yang menjadi korban represifitas. Solidaritas itu wujudnya bisa beragam tetapi dengan cara itu bentuk-bentuk penghukuman bisa dihindari.”
Adakah lembaga yang berwenang menangani represifitas di kampus ini?
“Kalau ada kekerasan, misalnya pelecehan seksual, ya, mesti dilaporkan. Begitu pula saat ada penjatuhan sanksi drop out kita bisa menggugatnya. Artinya tak ada lembaga spesifik yang melindungi dari represifitas. Namun, kalau kita jadi korban, misalnya kekerasan pastilah kita lapor polisi dan jika itu bersangkut paut dengan keputusan administratif bisa digugat ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Contohnya ada mahasiswa yang menggugat transparansi dengan mengajukan ke Komisi Informasi Publik (KIP). Jadi semua tergantung pada kasus dan apa yang dilawan.”
Menurut Anda, bagaimana cara mencegah represifitas di lingkungan kampus ini?
“Terus mendorong kampus untuk menciptakan iklim demokratis. Misalnya, kampus memberi kebebasan mahasiswa untuk menyelenggarakan kegiatan akademik dengan berbagai ekspresi, sama halnya dengan kampus memberi perlindungan pada pandangan politik mahasiswa yang berseberangan dengan penguasa. Lembaga pers mahasiswa juga perlu untuk menerbitkan tulisan atau tayangan tentang pentingnya kampus menghargai kebebasan akademik.”
Mengapa kita harus melawan represifitas kampus?
“Kita harus melawan represifitas, di manapun saja, bukan hanya di kampus. Pertama, karena represi itu bertentangan dengan nilai dan martabat kemanusiaan. Saat kita membiarkan tindakan represif itu berlangsung, kita akan sama seperti mereka. Kedua, dalam lingkungan pendidikan kekerasan itu bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Bukan lembaga pendidikan namanya jika masih ada kekerasan. Dalam kampus yang dikembangkan adalah budaya intelektual yang memberikan kebebasan menyatakan pandangan, berdialog dengan pandangan yang berbeda sekaligus mendengarkan opini yang berlawanan sekalipun. Ketiga, represifitas kampus adalah cerminan bagaimana buruknya kultur intelektual. Singkatnya kita perlu melawan segala bentuk represi karena itu adalah cerminan dari sikap seorang penindas.”
Apa dampak dari represifitas terhadap demokrasi mahasiswa?
“Akibatnya mahasiswa akan selalu ketakutan jika punya pandangan yang berbeda. Mahasiswa jadi khawatir jika akan mengemukakan pandangan yang berani. Malah yang lebih bahaya lagi, kehidupan kampus jadi tidak egaliter karena kekerasan itu mengabsahkan relasi hubungan yang tidak setara. Bahkan lebih bahaya lagi mahasiswa kemudian akan berpikir pragmatis karena lebih baik mengikuti aturan ketimbang mencoba mempertanyakan apalagi menyangsikannya. Lebih jauh lagi represifitas akan mendidik mahasiswa untuk tidak suka diskusi, beda pendapat, apalagi punya pendapat yang berbeda. Represifitas akan menciptakan mental budak dan pegawai pada mahasiswa. Karena mereka terbiasa semuanya serba diinstruksikan dan kekerasan menjadi strategi untuk membangun kepatuhan.”
Lalu, bagaimana cara menumbuhkan sikap demokratis mahasiswa?
“Mahasiswa perlu dilatih untuk berani protes, menentang otoritas hingga mengemukakan pandangan yang berbeda. Salah satunya adalah melatih keberanian pada mahasiswa untuk terlibat dalam organisasi gerakan, melakukan pembelaan pada mereka yang lemah hingga mampu untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Tentu untuk membangun budaya demokratis di kampus memang tidak mudah, tetapi dibutuhkan keberanian untuk mengawalinya. Saya rasa dengan memusatkan isu pada pemenuhan Tridarma Perguruan Tinggi itu sudah memberi kemampuan mahasiswa untuk berani menyatakan pandangan-pandangan alternatifnya.”
Apa harapan Anda terhadap represifitas yang terjadi di kampus ini?
“Saya harap kampus mulai mengubah cara pandang pada mahasiswa. Mereka adalah anak muda, bukan kumpulan preman yang musti ditertibkan. Mereka adalah anak muda yang punya imajinasi, energi hingga kreativitas yang jika diberi ruang akan tumbuh secara produktif. Jika ada masalah cobalah kampus menyelesaikannya dengan dialog ketimbang mengancam, apalagi langsung memberi hukuman. Kampus sepatutnya menjauhkan diri dari berbagai praktik kekerasan, baik itu simbolik maupun fisik.”
Reporter : Nurrahman Assa’adah
Editor : Novali Panji Nugroho